Oleh: Silvy Anggra M.M
Beritanusaindo.my.id--OPINI, Tidak hanya masalah nasional namun sudah menjadi masalah global yang terus-menerus terjadi. Kemiskinan adalah tantangan paling mendesak yang dihadapi dunia saat ini. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya, lebih dari 1,1 miliar orang di seluruh dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem (Bank Dunia, 2022).
Kemiskinan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin melebar, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, sistem perekonomian yang ada, khususnya kapitalisme, seringkali dianggap sebagai biang keladinya, karena sistem ini cenderung menguntungkan kelompok elite dan mengabaikan mayoritas masyarakat (Ravallion, 2016).
Memperingati Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional
Menjadi sebuah renungan setiap tahun pada tanggal 17 Oktober, dunia merayakan Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional. Tujuan dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan masalah kemiskinan yang masih melanda banyak negara, termasuk Indonesia.
Baca juga:
Nasib Miris Petani di Negara Agraris
Sejak didirikan oleh PBB pada tahun 1992, peringatan ini menjadi pengingat penting bahwa upaya pengentasan kemiskinan memerlukan keterlibatan tulus dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Ini adalah sebuah peluang. Namun, meskipun terdapat seruan untuk mengambil tindakan dan komitmen dari berbagai organisasi internasional, kemiskinan masih merupakan masalah yang kompleks dan sulit untuk diatasi. Refleksi Hari Pengentasan Kemiskinan hendaknya mendorong kita tidak hanya berbicara mengenai solusi namun juga mempertanyakan sistem yang ada.
Apakah upaya yang dilakukan selama ini benar-benar efektif? Mengapa kesejahteraan global masih jauh dari harapan, meskipun banyak program dan inisiatif telah dilakukan ? Menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP) "Global Multidimensional Poverty Index 2021." (2021), upaya kesejahteraan yang ada saat ini tidak mencerminkan situasi masyarakat yang sebenarnya kritis.
Peringatan ini harus menjadi seruan untuk menilai kembali pendekatan kita dalam memerangi kemiskinan dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan. Jurnal Alkire dan Foster (2011) menunjukkan bahwa pengukuran kemiskinan multidimensi lebih efektif dalam mengatasi masalah ini dibandingkan hanya mengandalkan pengukuran berbasis pendapatan.
Baca juga:
"Celometan" Calon Pemimpin, Beri Harapan Baru?
Menggali lebih dalam akar masalah menunjukkan bahwa mencapai tujuan pengentasan kemiskinan global mungkin memerlukan reformasi struktural yang signifikan, termasuk mengganti atau memperbaiki sistem yang ada.
Upaya Pengentasan Kemiskinan dan Kegagalan Sistem Kapitalisme
Berbagai inisiatif dan program telah diusulkan oleh organisasi internasional untuk mengatasi masalah kemiskinan yang terus melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, meskipun ada seruan untuk aksi nyata, banyak dari inisiatif ini gagal mencapai tujuan yang diharapkan.
Sistem kapitalismelah penyebab utama kegagalan ini. Kapitalisme cenderung menguntungkan kelompok elit, menciptakan oligarki yang kaya sementara rakyat biasa menderita. Hal ini menyebabkan kesejahteraan yang dihasilkan tidak merata dan menjadikan kemiskinan sebagai suatu keniscayaan dalam masyarakat.
Satu anggapan yang sering muncul adalah bahwa perubahan pemimpin atau pemberdayaan perempuan dapat menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan. Meskipun perubahan kepemimpinan dan peningkatan peran perempuan dalam ekonomi penting, mereka bukanlah solusi jangka panjang untuk masalah yang lebih kompleks.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan perempuan dapat memberikan kontribusi positif, tetapi tanpa reformasi yang lebih mendalam dalam sistem ekonomi, dampaknya akan terbatas.
Selain itu, terdapat pandangan bahwa pendidikan di luar negeri bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Sebuah studi yang diterbitkan dalam International Journal of Educational Research menunjukkan bahwa lulusan yang kembali ke negara asal setelah belajar di luar negeri dapat berkontribusi pada pengurangan kemiskinan.
Baca juga:
Pemuda Terwarnai dengan Gaya Hidup FOMO
Namun, pendekatan ini tidak cukup untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Banyak individu yang memiliki pendidikan tinggi masih terjebak dalam kondisi ekonomi yang sulit, terutama di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Penyebab mendasar dari kemiskinan ini memang terletak pada penerapan sistem kapitalisme itu sendiri. Sistem ini menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, di mana ukuran kesejahteraan yang ada saat ini sering kali berbasis pada pendapatan per kapita tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat. Ukuran ini tidak memperhitungkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Pandangan Ulama Besar
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama dan pemikir Islam yang dikenal, menyoroti kegagalan sistem kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan yang merata. Dalam bukunya “Nidzam al-Islam”, beliau menegaskan bahwa kapitalisme adalah sistem yang rusak karena hanya menguntungkan segelintir orang kaya, sementara mayoritas rakyat tetap dalam kemiskinan.
Ia berargumen bahwa solusi untuk kemiskinan tidak dapat dicapai melalui reformasi permukaan, tetapi memerlukan perubahan mendasar dalam sistem yang ada, yaitu dengan menerapkan sistem Islam yang komprehensif.
Dalam pandangan an-Nabhani, penerapan Islam secara kafah (menyeluruh) dapat memastikan kesejahteraan rakyat. Ia menyatakan bahwa negara harus hadir dan berfungsi sebagai ra’in (pengurus) yang memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Ukuran kesejahteraan yang lebih riil, menurut beliau, adalah dengan mengacu pada pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu, bukan hanya berdasarkan pendapatan per kapita semata.
Solusi Melalui Penerapan Islam Kafah
Penerapan sistem Islam kafah dapat menjadi solusi efektif dalam mengatasi masalah kemiskinan dengan cara yang adil dan merata. Sistem ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan setiap individu dalam masyarakat, tanpa terkecuali.
Dalam sistem Islam kafah, pendekatan terhadap kemiskinan tidak hanya mengandalkan program-program bantuan yang bersifat sementara. Sebaliknya, sistem ini menekankan pada penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dan pemerataan distribusi sumber daya.
Negara berfungsi sebagai fasilitator yang menciptakan iklim ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan. Dalam buku Nizham al-Hukm fi al-Islam, Taqiyuddin An-Nabhani menekankan bahwa penerapan syariah Islam dalam pemerintahan akan menciptakan keadilan yang memadai, di mana setiap individu memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari yang baik-baik yang kamu peroleh dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu..." (TQS Al-Baqarah 2:267 ). Pemimpin dalam Islam, memiliki tanggung jawab besar sebagai ra’a'in (pengurus) yang harus mengawasi dan memenuhi kebutuhan rakyat.
Abdul Qodir Zalum menegaskan bahwa pemimpin harus memimpin dengan adil dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya" (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah SWT. berfirman yang artinya,"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..." ( TQS Ali Imran 3:159 )
Ukuran kesejahteraan dalam Islam tidak hanya terbatas pada pendapatan, tetapi juga mencakup aspek-aspek lain seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. KH Shiddiq Al Jawi menjelaskan bahwa sistem Islam kafah memberikan ukuran kesejahteraan yang lebih komprehensif, dengan fokus pada kebutuhan dasar individu.
Mengatasi kemiskinan memerlukan pendekatan yang lebih adil dan menyeluruh. Sistem Islam kafah, dengan prinsip-prinsipnya yang menekankan keadilan, tanggung jawab pemimpin, dan ukuran kesejahteraan yang komprehensif, menawarkan solusi yang lebih efektif untuk masalah kemiskinan yang terus berlangsung.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memikirkan kembali solusi yang ada dan mempertimbangkan penerapan sistem yang lebih adil, seperti yang diajarkan dalam Islam. Dalam upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera. Wallahu’alam bish-shawab. [ry].

