Indonesia Peserta COP 29, Ujungnya Dimana?

Goresan Pena Dakwah
0
Ilustrasi kredit karbon, Solum.id


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Beritanusaindo.my.id--OPINI, Menteri Lingkungan Hidup (LH) dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan Indonesia terus mengambil langkah tegas dalam mewujudkan target-target Kesepakatan Paris 2015 yang telah diratifikasi pada 2019.


Pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties/COP29), Indonesia mengidentifikasi 19 inisiatif penting, terdiri dari 14 aspek negosiasi dan lima bentuk kerja sama platform, untuk meraih target emisi yang lebih ambisius.


Keikutsertaan Indonesia di COP29 ini ditandai dengan tekad yang kuat untuk tidak tergantung pada bantuan atau hibah, tetapi berfokus pada kemitraan yang saling menguntungkan, metodologi, dan kerja sama dalam konteks penurunan emisi gas rumah kaca ujar Hanif (republika.co.id, 15/11/2024).


Bentuk kerjasama bilateral itu, salah satunya melalui perdagangan karbon yang transparan. Sebagaimana yang tercantum dalam artikel enam dari Paris Agreement, khususnya mengenai perdagangan kredit karbon. Dan Indoneisa sudah bekerja sama dengan Jepang melalui mekanisme Mutual Recognition Arrangement (MRA) untuk pelaksanaan kerjasama perdagangan karbon.


Ketegasan Indonesia dan Jebakan Kapitalisme


Perdagangan karbon adalah sistem jual-beli izin untuk menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilakukan antar negara atau perusahaan. Perdagangan karbon juga dikenal dengan istilah perdagangan emisi atau cap-and-trade.


Baca juga:

Peringatan Hari Anak Dunia, Bagaimana Nasib Anak Palestina?


Sertifikasi atau izin pelepasan karbon itu disebut juga kredit karbon (carbon credit) atau kuota emisi karbon (allowance). Satu kredit karbon setara dengan pengurangan atau penurunan emisi sebesar satu ton CO2.


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah merilis Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon) yang disusul dengan penerbitan Surat Edaran (SE) Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon pada 6 September 2023 lalu ( VOA Indonesia.com, 12-9-2023).


Pembeli kredit karbon atau allowance adalah industri, negara atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tinggi karena menggunakan bahan bakar fosil atau mengkonsumsi energi dalam jumlah besar. Misalnya, pabrik baja, pembangkit listrik batu bara (PLTU) atau pembangkit listrik gas, pusat data (data center) dan sektor transportasi.


Sedang penjual kredit karbon adalah perusahaan atau negara yang kegiatannya mampu menyerap emisi CO2 atau yang menghasilkan sedikit sekali CO2. Contohnya antara lain, perusahaan konservasi hutan; pembangkit energi terbarukan – pembangkit tenaga surya PLTS, pembangkit tenaga bayu (PLTB), atau kegiatan pengolahan sampah organik.


Kredit karbon tidak serta-merta bisa diperjualbelikan melainkan harus disertifikasi oleh badan sertifikasi internasional terlebih dahulu, seperti Verra dan Gold Standard.


Baca juga:

Inflasi Ulama Dipuji, Terorisme Ulama Dibuli


Riza Suarga, Ketua Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia (APERKARIA), menjelaskan tujuan sertifikasi adalah untuk memastikan penjual kredit karbon berkomitmen pada pengurangan emisi dari hasil penjualan. Misalnya, perusahaan konservasi hutan tidak menggunakan dana hasil penjualan kredit karbon untuk mengubah lahan hutan menjadi perkebunan sawit yang justru menghasilkan emisi CO2.


Mekanisme perdagangan karbon adalah satu dari tiga cara penurunan emisi yang ditetapkan oleh perjanjian iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Protokol Kyoto, pada 11 Desember 1997. Terlihat rumit dan benarkah bisa menjadi solusi bagi perubahan iklim yang lebih baik.


Sebab jika menggali lebih dalam, penetapan perjanjian dan berikut transaksinya tak lebih dari akal-akalan kapitalisme dalam menjebak negara miskin dan berkembang agar ikut memikirkan perubahan iklim serius akibat keserakahan mereka sendiri. Sehingga muncul “ perdagangan” ghaib dengan komoditasnya karbon, atau buangan emosi hasil industri berbahan fosil.


Di sisi lain perdagangan karbon adalah proyek raksasa dunia industri barat untuk menerapkan energi terbarukan yang lebih rendah emisi. Meski Indonesia secara tegas menyatakan tidak mencari hibah tapi membina kemitraan tetap saja posisinya sebagai kacung bagi tuan besarnya, negara industri besar yang justru masih memanfaatkan bahan bakar fosil untuk mendapatkan biaya produksi yang jauh lebih murah. Ironi, justru inilah praktik lempar batu sembunyi tangan. Siapa berbuat siapa pula yang bertanggungjawab.


Islam Wujudkan Keseimbangan Industri dan Lingkungan


Muamalah aneh namun dipaksakan masuk logika hanya ada dalam sistem Kapitalisme. Sistem ini asasnya manfaat, jika sesuatu itu bisa menghasilkan manfaat materi, sekalipun ghaib tetap akan diambil.


Baca juga: 

Kejar Pajak, Negara Pemalak Rakyat?


Padahal, perubahan iklim ini juga akibat sistem Kapitalisme yang rakus, mengeksploitasi kekayaan alam di negara-negara berkembang secara membabi buta namun ketika ada konsekwensi kerusakan lingkungan hingga perubahan iklim ekstrim dilimpahkan kepada negara lain, sungguh tidak adil.


Namun secara jujur bisa dikatakan, keadilan itu tak akan terwujud dalam sistem Kapitalisme melainkan Islam. Dalam pandangan Islam , industrialisasi adalah sebuah keniscayaan, sebab ada perintah untuk mengelola berbagai sumber kekayaan alam yang menjadi kepemilikan umum dan negara untuk mewujudkan kesejahteraan.


Kewajiban itu jatuh di pundak negara. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, rumput dan api, dan harganya adalah haram”. (HR. Ibnu Majah). Haram dikelola swasta, baik perorangan maupun perusahaan. Sebab hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, sang pemilik hakiki, baik dalam bentuk zatnya maupun keuntungan yang didapat setelah transaksi jual beli dengan negara lain, digunakan untuk pembiayaan fasilitas umum rakyat.


Maka, tidak bisa mekanisme ini diwujudkan tanpa Khilafah, sebuah sistem kepemimpinan umum bagi kaum Muslim, dengan Khalifah sebagai kepala negaranya dan dasar negaranya adalah syariat. Bukan yang lain.


Khilafah tidak anti teknologi, bahkan akan terus mendorong pengembangan teknologi energi terbarukan yang tidak berbahan fosil pun akan dikembangkan kepada para ahli yang dimiliki negara. Tentu dengan memperhatikan keseimbangan alam, tidak mengeksploitasi di sisi lainnya.


Khilafah tak butuh konferensi ataupun konsensus global lainnya, sebab keduanya hanyalah jebakan negara kapitalis untuk terus menjajah negeri-negeri muslim yang kaya raya. Menghilangkan tak hanya potensi kekayaannya bahkan hingga kedaulatannya.


Maka kita harus waspada, dan bersegera meninggalkan sistem batil ini dan menggantinya dengan syariat, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS Al -Maidah : 50). [ RY].


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)