Palestina: Gencatan Senjata Bukan Kemerdekaan

Admin Beritanusaindo
0

 



Penulis: Ummu Aini | Pegiat Dakwah


Beritakan.my.id - OPINI - Hingga kini, rakyat Palestina masih belum menikmati arti sejati dari kata merdeka. Gencatan senjata yang diumumkan pada Jumat, 10 Oktober 2025, antara pihak Israel dan kelompok perlawanan Hamas, memang memberikan sedikit napas lega bagi penduduk Gaza. Namun, di balik kesepakatan yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Qatar, Mesir, dan Turki itu, tersembunyi kenyataan pahit: penjajahan atas tanah Palestina belum berakhir.


Negosiasi selama tiga hari menghasilkan janji bahwa perang akan dihentikan, dan bantuan kemanusiaan mulai mengalir kembali ke Jalur Gaza. Bulan Sabit Merah Mesir mengirim sekitar 400 truk berisi makanan, obat-obatan, dan perlengkapan darurat. PBB juga melaporkan lebih dari 170 ribu ton bantuan kemanusiaan menunggu izin masuk Namun, semua ini hanyalah penanganan darurat, bukan penyelesaian akar masalah yang telah mencekik rakyat Palestina selama puluhan tahun (www.metrotvnews.com, 14-10-2025)


Selama dua tahun terakhir, serangan militer Israel telah menghancurkan hampir seluruh wilayah Gaza. Lebih dari 90 persen bangunan—termasuk rumah sakit, sekolah, masjid, dan gereja—hancur lebur. Infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, dan jaringan komunikasi lumpuh. Lebih dari dua juta penduduk mengalami kelaparan akut, dan lebih dari 67 ribu orang tewas akibat bombardir tanpa henti. Gaza bukan hanya menjadi “penjara terbuka” terbesar di dunia, tetapi telah berubah menjadi ladang pembantaian yang mengoyak nurani kemanusiaan.


Gencatan Senjata yang Rapuh: Menyisakan Ancaman 


Meskipun kesepakatan gencatan senjata telah ditandatangani, kekerasan belum benar-benar berhenti. Beberapa jam setelah perjanjian diumumkan, pasukan Israel kembali menyerang wilayah Gaza Utara, menewaskan puluhan warga sipil. Pola pengkhianatan terhadap perjanjian seperti ini bukan hal baru; sejarah mencatat, Israel berulang kali melanggar kesepakatan internasional tanpa mendapat sanksi berarti. Ironisnya, banyak negara Arab justru terus membuka hubungan diplomatik dan kerja sama ekonomi dengan Tel Aviv, seolah menutup mata terhadap darah rakyat Palestina yang masih mengalir di Gaza.


Lebih jauh lagi, para pemimpin dunia telah menyiapkan “pemerintahan transisi” di Palestina melalui Deklarasi New York di markas PBB, September lalu. Di bawah proposal ini, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair akan memimpin otoritas sementara di Gaza. Padahal, sosok ini pernah terlibat dalam perang Irak 2003 yang menewaskan lebih dari satu juta warga sipil. Jika skema ini dijalankan, Palestina seolah hanya berpindah dari satu bentuk penjajahan ke bentuk lainnya. (www.kompas.com, 20-09-2025)


AS dan sekutunya juga tengah menyusun “Comprehensive Plan to End the Gaza Conflict” yang berisi agenda pelucutan senjata kelompok perlawanan dan pembentukan kawasan “bebas terorisme”. Istilah ini jelas bermakna ganda. Yang disebut “teroris” bukanlah pihak penjajah, tetapi justru kelompok pejuang yang mempertahankan tanah airnya. Bila rencana ini diterapkan, Hamas dan faksi-faksi perjuangan Islam lainnya akan disingkirkan, dan Gaza akan dijaga oleh pasukan internasional yang tidak berpihak kepada rakyat Palestina.


Lebih parah lagi, Otoritas Palestina justru mendukung langkah ini dengan alasan “stabilisasi keamanan”. Padahal, selama ini yang berada di garis depan melindungi rakyat Gaza adalah para pejuang perlawanan.


Pemerintah-pemerintah Arab pun tak berbuat banyak selain menyerukan perundingan dan “solusi dua negara” yang sejatinya hanya memperkuat eksistensi Israel di tanah rampasan (www.antaranews.com, 04-10-2015)


Akar Masalah Bukan Sekadar Konflik


Krisis Palestina faktanya bukanlah konflik dua pihak semata, tetapi hasil dari proyek kolonialisme modern yang dilegalkan oleh kekuatan global. Dunia Barat, melalui PBB dan negara-negara besar, berperan langsung dalam mengukuhkan batas wilayah dan status Israel sebagai negara “sah”. Sementara itu, sebagian besar pemimpin Muslim muslim justru tunduk pada tekanan politik dan ekonomi, sehingga tidak berani mengambil langkah nyata untuk membela saudaranya di Palestina.


Solusi dua negara yang terus digaungkan hanyalah jalan menuju legitimasi penjajahan. Sebab, seluruh tanah Palestina, sejak ditaklukkan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, adalah bagian dari wilayah Islam. Tidak ada satu pun bagian dari bumi itu yang halal dirampas dan diakui sebagai milik penjajah. Pengakuan terhadap “dua negara” berarti merestui perampasan dan pembunuhan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.


Islam memberikan solusi yang jelas terhadap penjajahan. Para ulama klasik seperti Ibnu Qudamah dan Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ketika wilayah muslim dijajah, wajib bagi umat Islam untuk berjuang membebaskannya. Perintah jihad dalam Al-Qur’an bukanlah sekadar seruan perang, melainkan panggilan untuk menegakkan keadilan dan melindungi kehormatan umat.


Namun, jihad dalam konteks ini membutuhkan kekuatan politik yang terorganisasi—yakni kepemimpinan yang mampu menyatukan potensi umat. Dalam sejarah, hanya khilafah Islam yang mampu melindungi kaum muslim di berbagai wilayah dari agresi asing. Maka, yang dibutuhkan umat saat ini bukan sekadar bantuan kemanusiaan, melainkan kembalinya kepemimpinan Islam global yang menolak dominasi penjajah dan menegakkan keadilan sejati bagi Palestina dan dunia Islam.


Gencatan senjata memang menghentikan dentuman bom, tetapi tidak menghentikan penjajahan. Palestina masih dijajah, Gaza masih terkepung, dan dunia masih bungkam. Jalan menuju kemerdekaan sejati bukanlah melalui kompromi politik atau perjanjian yang timpang, melainkan melalui persatuan umat dan perjuangan untuk menghapus seluruh bentuk penjajahan. Selama kezaliman dibiarkan, tidak akan ada kedamaian sejati. Dan selama umat Islam belum memiliki kepemimpinan yang kokoh, penderitaan Palestina akan terus berulang. 

 Wallahualam bissawab.


Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)