Ilustrasi Pinterest
Oleh Aulia Rizki Safitri
Beritakan.my.id, Opini_ Di tengah modernisasi zaman ini banyak anak muda yang takut untuk menikah, fenomena banyaknya generasi yang takut menikah semakin nyata dan kian meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Takut menikah disini bukan sekadar soal belum siap mental atau belum siapnya berkomitmen, akan tetapi dari fakta saat ini ketakutan menikah terlahir dari kondisi ekonomi yang makin berat juga standar hidup generasi sekarang yang mahal. Tak heran jika generasi muda saat ini malah lebih takut miskin daripada tidak menikah.
Unggahan di media sosial Threads yang menyatakan bahwa generasi muda saat ini lebih takut miskin daripada tidak menikah tengah menjadi perbincangan hangat publik.
Dosen Sosiologi Universitas Indonesia (UI), Dr. Ida Ruwaida, menilai pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Ia menjelaskan bahwa banyak anak muda justru terjebak dalam perilaku konsumtif dan gaya hidup FOMO (fear of missing out). (beritabanten.com, 13/11/2025).
Kekhawatiran anak muda untuk tidak menikah dilandasi karena adanya ketidakstabilan finansial dan makin tingginya biaya hidup juga beranggapan kehidupan setelah pernikahan akan menjadi beban serta tanggung jawab yang besar sehingga banyak anak muda menilai kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah.
Hal ini terjadi karena dipengaruhi kondisi ekonomi yang saat ini tidak pasti, sehingga anak muda akan cenderung memprioritaskan mengembangkan karier dan menstabilkan ekonominya terlebih dahulu. Melihat realita saat ini anak muda harus siap dihadapkan mengenai lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian yang kian mahal, serta ketatnya persaingan kerja menjadi alasan utama para generasi muda takut untuk menikah.
Sehingga di kalangan generasi muda muncul narasi "marriage is scary", di sini bukan pernikahannya yg menakutkan tetapi kondisi hidup yang membuatnya tampak menakutkan. Pemicu terjadinya narasi ini dikarenakan hidup di era sekarang membuat pernikahan tampak sulit dan karena adanya faktor yang mempengaruhinya, seperti anak muda sekarang belum memiliki kestabilan ekonomi tetapi tuntutan ekonomi makin besar, adanya trauma masa lalu yang membuat khawatir akan mengulangi kembali kegagalan, serta menganggap menikah akan mengekang kebebasan dan malah menambah tanggung jawab. Alasan ini yang makin memperkuat ketakutan akan pernikahan dan memilih menunda atau bahkan tidak menikah.
Hal ini tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan bahwa pada 2024, sekitar 69,75% pemuda berusia 16–30 tahun belum menikah, sementara hanya 29,10% yang sudah menikah. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas generasi muda memilih untuk tetap lajang — sebuah perubahan gaya hidup dibandingkan generasi sebelumnya. (rri.co.id, 02/12/2025).
Fenomena takut menikah ini tidak datang tiba-tiba, akan tetapi dihasilkan dari luka ekonomi yang lahir dari sistem kapitalisme yang membuat biaya hidup makin tinggi, pekerjaan dipersulit, bahkan upah yang terima rendah. Hakikatnya logika dalam sistem ini segala kebutuhan dasar dianggap sebagai komoditas yang menguntungkan dan pernikahan menjadi proyek finansial yang mahal sesuai standar ekonomi saat ini jauh tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima.
Sistem kapitalis memaksa para generasi muda bekerja keras untuk memenuhi standar kehidupannya, sehingga mengesampingkan pemikiran untuk menikah. Ditambah di era sekarang gaya hidup materialis dan hedon tumbuh dari pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal, adanya pergeseran nilai sosial ini sehingga menempatkan kepuasan dan kebebasan individu menjadi prioritas utama juga menganggap kepuasan pribadi lebih penting diutamakan terlebih dulu. Berbanding terbalik apabila telah menikah, mereka beranggapan komitmen menikah akan mengekang kebebasan dan makin bertambahnya beban finansial dan tanggung jawab dalam pernikahan.
Kapitalisme menekan generasi muda sampai kehilangan keyakinan terhadap masa depan setelah pernikahan. Bahkan pernikahan dipandang beban, bukan sebagai ladang kebaikan dan jalan melanjutkan keturunan. Ketakutan menikah ini merupakan cermin kegagalan sistem kapitalis yang tidak berpihak terhadap rakyat, masalah ini membutuhkan perubahan cara pandang dalam pernikahan dan mengatasi dari akar permasalahannya, selama kondisi sistem ekonomi terus menekan maka pernikahan pun akan terus dianggap sebagai beban bagi generasi muda.
Peran negara yang seharusnya menjadi regulator cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat, sehingga beban hidup harus dipikul masing-masing individu. Padahal menyembuhkan luka ini bukan tugas individu semata melainkan tugas negara untuk memberikan solusi komprehensif untuk menjaga kesejahteraan rakyatnya, negara harus mengatasi dari akar permasalahannya hingga tuntas karena selama kondisi ekonomi terus menekan dan standar sistem berpacu pada sistem kapitalis maka anak muda akan terus merasa tidak mampu dan takut pada resiko dalam kehidupan pernikahan.
Namun dalam sistem Islam, Islam memandang pernikahan merupakan ibadah yang memberi ketenangan dan ketentraman bukan malah ketakutan. Sistem Islam akan menempatkan negara sebagai penjamin kesejahteraan rakyat agar bisa memenuhi kebutuhan dasar rakyat dari mulai sandang, pangan, papan, pendidikan bahkan kesehatan. Tak hanya itu negara akan membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam sehingga rakyat tidak berjuang sendiri menanggung beban tanggung jawab dalam kehidupannya.
Dalam sistem ekonomi Islam pengelolaan milkiyyah ammah dilakukan oleh negara bukan oleh swasta/asing apalagi individu, negara bertanggung jawab mengelola dan mendistribusikan kepemilikan ini dengan adil kemudian hasilnya diserahkan kembali untuk menjaga kestabilan dan kesejahteraan masyarakat sehingga mampu menekan biaya hidup.
Selain itu Islam juga akan memberikan pendidikan berbasis aqidah untuk membentuk para generasi berkarakter dengan menanamkan keimanan yang kokoh kepada Allah juga menerapkan nilai-nilai Islam secara kafah sehingga generasi tidak mudah terjebak arus hedonisme dan materialisme. Anak muda akan memahami bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang menakutkan malah sebagai jalan yang diberkahi, ditambah penguatan institusi keluarga, dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan. Maka dengan itu mereka akan menjadi penyelamat umat dalam membangun peradaban mulia.
Sudah seharusnya kita kembali pada nilai-nilai Islam dalam memandang sebuah pernikahan, maka menikah tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Ia kembali menjadi sumber ketenangan sebagaimana yang telah Allah janjikan.
Wallahu a'lam bishshawab.

