Ilustrasi Pinterest
Oleh Tsaqifa Farhana
Insiden bullying kembali mencoreng dunia pendidikan di Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir, seorang santri di Aceh Besar membakar asrama pesantren, lantaran sakit hati setelah menjadi target bullying. Kebakaran ini telah menghancurkan seluruh bangunan dan mengakibatkan satu santri kehilangan nyawa (Berita Satu,2025). Kejadian serupa terjadi di Jakarta, di mana seorang siswa SMAN 72 diduga mengalami bullying yang memicu ledakan di area sekolah (Kumparan, 2025).
Serangkaian kejadian ini tidak hanya merupakan insiden yang terpisah di lokasi tertentu. Masalah yang muncul mencerminkan luka mendalam yang telah lama diabaikan. Kini, bullying menjadi sebuah fenomena yang seakan “normal” di dunia pendidikan kita. Di berbagai daerah, pola yang sama terus terulang.
Ada pelaku yang bertindak, terdapat korban yang mengalami penderitaan, tapi sistem pendidikan gagal memberikan perlindungan yang seharusnya.
Indikator Kegagalan
Tingginya angka perundungan menunjukkan kegagalan pendidikan dalam melaksanakan tugas utamanya. Tugas tersebut adalah membentuk individu yang beradab dan bermoral. Saat ini, sekolah lebih fokus pada akreditasi, peringkat, dan hasil ujian.
Di sisi lain, pengembangan akhlak dan rasa empati sering kali diabaikan. Sistem pendidikan yang berlandaskan kapitalisme dan sekularisme menjadikan nilai akademik sebagai tolok ukur utama kesuksesan. Nilai-nilai spiritual dan moralitas terpinggirkan dari ruang kelas sehari-hari.
Media sosial memperburuk situasi ini. Banyak pelaku bullying melihat tindakan mereka sebagai lelucon atau konten hiburan. Algoritma platform yang lebih menyukai sensasi menjadikan ejekan dan kekerasan psikologis tampak menarik dan terkenal.
Fenomena ini mencerminkan krisis adab yang parah. Rasa malu, empati, dan tanggung jawab sosial tampak menghilang di kalangan siswa.
Korban bullying yang tidak mendapatkan dukungan emosional sering kali mencari pelarian di media sosial.
Alih-alih menemukan solusi yang tepat, mereka justru terpapar pengaruh negatif. Seperti membalas dengan kekerasan atau bahkan memilih jalan bunuh diri.
Ruang digital yang seharusnya menjadi sumber pendidikan kini bertransformasi menjadi arena balas dendam yang berbahaya.
Akar dari semua masalah ini terletak pada sekularisme dalam sistem pendidikan. Pendekatan yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari melahirkan generasi yang pintar secara intelektual namun rendah secara spiritual. Nilai-nilai moral tidak lagi menjadi pondasi utama, melainkan hanya menjadi tambahan formal dalam kurikulum.
Sistem Pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak hanya sekadar transfer ilmu atau ta'lim. Namun, pendidikan juga mencakup pengembangan kepribadian atau at-tatsqif yang berlandaskan akidah yang akan mewujudkan syaksiyah islam (kepribadian Islam).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menguraikan hal ini dalam bukunya Nizham al-Ta lim fi al-Islam menekankan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah membangun kepribadian Muslim.
Cara berpikir dan sikap seseorang terikat pada prinsip Islam dalam semua aktivitas.
Pendidikan Islam tidak hanya berfokus pada aspek kognitif. Proses ini mengintegrasikan pengembangan aqliyah atau cara berpikir Islami dengan nafsiyah atau sikap Islami.
Ilmu disampaikan untuk memperdalam pemahaman manusia terhadap realitas dan menghubungkannya dengan hukum syariah. Setiap pengetahuan harus mendorong ketaatan, bukan hanya demi karir semata.
Pembinaan atau tatsqif dilakukan secara terstruktur dan intensif. Pembinaan ini harus dimulai sejak dini agar kepribadian Islam terbentuk sempurna di jenjang sekolah dan makin kuat di tingkat perguruan tinggi.
Pendidikan Islam menempatkan tsaqafah Islam yakni pengetahuan yang berakar pada akidah Islam sebagai inti pembelajaran.
Tsaqafah inilah yang membentuk pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) Islami pada individu.
Negara Islam berkewajiban menjaga tsaqafah ini melalui kurikulum, literatur, dan kebijakan publik yang berlandaskan wahyu. Sistem pendidikan bukan sekadar sarana mencetak tenaga kerja, tetapi alat untuk menjaga identitas peradaban Islam.
Pendidikan tinggi dalam Islam juga bertujuan melahirkan pemimpin dan intelektual yang siap menghadapi qadhiyah mashiriyah permasalahan hidup yang menentukan nasib umat. Dengan keberanian dan keteguhan iman. Mereka bukan hanya memantau persoalan umat, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya, bahkan dengan risiko hidup dan mati.
Ini dilakukan baik di dalam keluarga, di lingkungan sekolah, maupun di masyarakat.
Kurikulum pendidikan Islam berfokus pada akidah, menjadikan adab sebagai dasar setiap pelajaran yang diajarkan. Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Pendidikan semacam ini dapat menciptakan generasi yang kuat dalam menghadapi tantangan hidup. Generasi yang tidak mudah runtuh oleh tekanan sosial.
Menghidupkan Kembali Semangat Pendidikan
Masalah seperti bullying, kekerasan, dan krisis mental di sekolah tidak bisa dianggap hanya sebagai isu psikologis. Ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan yang bersifat sekuler dan kapitalis.
Selama pendidikan masih diukur dari segi materi, gelar, dan pencapaian duniawi, generasi akan terus kehilangan arah dan tujuan hidup.
Saatnya untuk kembali kepada sistem pendidikan Islam yang menumbuhkan akidah, akhlak, dan adab. Pendidikan yang membentuk individu dengan kepribadian Islam. Mereka akan berpikir jernih, memiliki jiwa luhur, serta tangguh menghadapi ujian kehidupan.
Hanyalah melalui pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, generasi yang dilahirkan tidak hanya akan cerdas dalam ilmu alat. Mereka juga akan memiliki iman yang kokoh. Generasi yang akan melihat tekanan bukan sebagai alasan untuk menyerah atau bahkan berbuat kerusakan, tetapi sebagai kesempatan untuk beramal demi meraih ridha Allah.

