Ilustrasi Pinterest
Oleh : Wahyuni Mu
(Aliansi Penulis Rindu Islam)
Beritakan.my.id, Opini_ Kemenkumham Jawa Timur mendorong untuk memperkuat dua produk hukum di Gresik. Adalah Perda Ketenagakerjaan dan Perda Pengarusutamaan Gender, mengundang perhatian publik. Dalam rapat finalisasi penelaahan produk hukum daerah, kedua perda ini diminta agar benar-benar memenuhi perspektif HAM. Ini termasuk memastikan bahwa pekerja perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan memiliki akses setara terhadap kesempatan kerja, perlindungan di lingkungan kerja, serta fasilitas yang memungkinkan mereka bekerja secara layak.
Pemerintah daerah merespons positif, menyebut bahwa perbaikan regulasi ini adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas pembangunan di Gresik.
Momen ini dianggap penting karena selama bertahun-tahun, regulasi ketenagakerjaan di level daerah sering kali tertinggal dari dinamika lapangan. Banyak pekerja yang masuk ke industri manufaktur, logistik, retail, atau sektor informal tanpa perlindungan memadai. Narasi bahwa perempuan “sudah terlibat dalam pembangunan” tak jarang hanya berhenti sebagai slogan tanpa jaminan perlindungan nyata: jam kerja panjang, beban kerja ganda, hingga minimnya fasilitas pendukung seperti tempat penitipan anak atau jaminan keamanan kerja.
Akar persoalan ketenagakerjaan di Gresik tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari struktur pasar kerja yang timpang, kebutuhan industri yang besar terhadap tenaga murah, serta lemahnya pengawasan. Pekerja perempuan sering terjebak dalam posisi paling rentan: pekerjaan bernilai rendah, ancaman pemutusan kontrak, dan stereotip gender yang mempersempit ruang gerak mereka. Ditambah lagi, penyandang disabilitas masih harus berjuang keras untuk sekadar diterima sebagai pekerja karena fasilitas dan kebijakan perusahaan belum sepenuhnya siap.
Di level yang lebih dalam, masalah ini tidak bisa dilepaskan dari logika kapitalisme modern. Sistem ekonomi yang berorientasi pada keuntungan mendorong perusahaan mencari biaya serendah mungkin dan pekerjalah yang menanggung konsekuensinya. Negara yang seharusnya menjadi penyeimbang dan pelindung, sering kali hadir hanya sebagai regulator di atas kertas—bukan pelaksana yang sungguh-sungguh memastikan kesejahteraan warganya.
Dalam konteks ini, perda tentang ketenagakerjaan dan gender harus dibaca bukan hanya sebagai regulasi teknis, tetapi sebagai instrumen untuk membongkar ketidakadilan struktural yang selama ini diterima sebagai “normal”.
Islam sebenarnya menawarkan konstruksi yang jauh lebih manusiawi dan individualistik dalam hal pemenuhan kebutuhan. Prinsip keadilan (al-‘adl) dan tanggung jawab negara untuk menjamin kebutuhan dasar tiap individu ditegaskan dalam berbagai dalil. Allah memerintahkan untuk menunaikan hak pekerja sebelum keringatnya kering, melarang segala bentuk eksploitasi, dan memerintahkan penegakan keadilan ekonomi (QS. An-Nisa’: 36).
Bahkan dalam QS. Al-Ma’un, Islam mengecam keras mereka yang mengabaikan orang miskin dan lemah—menandakan bahwa pemenuhan kebutuhan bukan semata urusan moral pribadi, tetapi kewajiban sosial yang harus diinstitusionalisasi.
Dalam konstruksi Islam, negara berkewajiban aktif menyediakan lapangan kerja yang layak, menjamin akses fasilitas bagi perempuan dan penyandang disabilitas, serta memastikan bahwa setiap individu (bukan kolektif abstrak) mendapat pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan.
Zakat, baitul mal, pengaturan pasar, larangan riba, sistem upah yang adil, dan mekanisme distribusi kekayaan adalah perangkat yang secara detail menjamin kesejahteraan per individu. Dalam perspektif ini, perda tentang ketenagakerjaan dan gender semestinya menjadi bagian dari upaya melindungi individu dan memastikan kesejahteraan warga secara langsung, bukan sekadar alat administratif.
Gresik kini berada di persimpangan. Dorongan Kemenkumham memberi peluang besar untuk membangun regulasi yang lebih adil dan inklusif. Namun, keberhasilan regulasi ini sangat bergantung pada keberanian pemerintah daerah dan DPRD untuk tidak hanya memperbaiki teks perda, tetapi juga membangun mekanisme pengawasan dan implementasi yang kuat. Perjuangan keadilan tidak cukup dengan pasal-pasal hukum. Ia membutuhkan politik anggaran, keberpihakan, dan keberanian membongkar struktur eksploitasi yang masih bercokol dalam sistem ekonomi kapitalis.
Akhirnya, penting untuk ditegaskan bahwa kesejahteraan tidak mungkin lahir dari struktur ekonomi kapitalis yang sejak dasarnya berorientasi pada akumulasi keuntungan, bukan pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam kerangka kapitalisme, pekerja selalu ditempatkan sebagai biaya, bukan sebagai individu yang harus dijamin kehidupannya.
Berharap pada mekanisme pasar untuk menghadirkan keadilan hanyalah ilusi. Selama logika dasar sistem masih menuntut efisiensi dengan menekan upah, mengabaikan perlindungan, dan menyerahkan kesejahteraan pada kemampuan individu bertahan, maka ketidakadilan akan terus berulang.
Kesejahteraan sejati hanya mungkin hadir melalui sistem yang menempatkan manusia, bukan modal—sebagai pusat. Yakni negara yang menerapkan sistem Islam, negara yang benar-benar menjamin kebutuhan setiap individu secara langsung dan adil.

