Oleh Suryani
Pegiat Literasi Islam Kafah
Beritanusaindo.my.id -OPINI - Rumah merupakan tempat untuk berlindung dari panas, hujan dan marabahaya. Keberadaannya termasuk kebutuhan primer yang dibutuhkan masyarakat. Namun faktanya saat ini tidak sedikit orang yang belum memilikinya. Pun jika ada, kondisinya tidak layak untuk dihuni.
Fenomena Rutilahu (rumah tidak layak huni) menjadi fakta tak terbantahkan dan banyak sekali ditempati masyarakat, terutama mereka yang tergolong miskin. Keberadaannya tersebar di seluruh pelosok negeri, tidak terkecuali di Kabupaten Bandung. Bupati Dadang Supriatna menyatakan bahwa sebanyak 37 Ribu rumah di wilayahnya tidak layak untuk dihuni dan memerlukan renovasi, hal ini ia ketahui semenjak dilantik dari jabatannya. Setiap tahun pihaknya mengagendakan perbaikan sebagian rumah, namun hingga kini belum semua bisa ditangani. (Jabar.tribunnews. com, Rabu 19 Juni 2024)
Baca juga: HET Minyak Goreng dan HAP Gula Naik, untuk Kepentingan Siapa?
Di samping masalah rutilahu, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki rumah sendiri. Walaupun berbagai program sudah digulirkan, masalah rumah tidak lantas berkurang, malah semakin rumit, karena harga tanah juga material bangunan naik berkali lipat. Sementara penghasilan yang didapat masyarakat tidak mampu mengejar melambungnya harga-harga. Sehingga mereka terpaksa menempati rumah yang ada walau jauh dari kata layak.
Penyebab mahalnya rumah adalah karena harga tanah yang mahal. Hal ini terjadi akibat penguasaan lahan yang luas oleh segelintir orang/korporasi yang memonopoli kepemilikan sehingga rakyat tidak bisa membelinya kecuali melalui para pengembang dengan harga yang telah mereka tentukan.
Inilah kesulitan rakyat di bawah negara yang menerapkan kapitalisme sekular. Penguasa hanya sebagai regulator yang menyerahkan pengelolaan tanah maupun penyediaan rumah kepada para pengusaha. Pengusaha orientasinya tentu saja keuntungan yang bekerja sama dengan negara. Hal inilah yang mengakibatkan hubungan rakyat dengan penguasanya seperti penjual dan pembeli, hanya sebatas kepentingan bisnis semata.
Sementara kekayaan alam melimpah juga diserahkan pengelolaannya pada swasta, akhirnya tidak bisa dinikmati oleh masyarakat. Lapangan pekerjaan menjadi sempit, upah rendah, dibebani pula dengan berbagai pungutan, kapan rakyat bisa memiliki hunian layak? Kalaupun ada program perbaikan dari pemerintah tidak sebanding dengan kebutuhan akan rumah atau rumah layak yang terus bertambah.
Baca juga: AIDS Penyakit Berbahaya, Butuh Solusi yang Paripurna
Tentu akan sangat jauh berbeda apabila negara berfungsi sebagai pengurus rakyat, para penguasanya tidak akan membiarkan rakyat hidup di rumah yang tidak layak huni, apalagi menjadi tunawisma (orang yang tidak punya tempat tinggal). Demikianlah paradigma yang ada dalam Islam, yang memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan manusia, termasuk di dalam bernegara.
Islam menetapkan bahwa setiap orang berhak memiliki rumah yang layak, karena itu dianggap sebagai salah satu hal yang dapat membahagiakan manusia, Nabi saw. bersabda:
"Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan: istri salihah, tempat tinggal yang lapang, teman atau tetangga yang baik, kendaraan yang nyaman." (HR Ibnu Hibban)
Kepemilikan hunian bisa diperoleh dengan membangun sendiri, atau bantuan dari pihak lain, bisa melalui proses jual beli, pemberian atau warisan. Seorang kepala keluarga adalah pihak pertama yang harus menyediakan tempat tinggal sebagai salah satu nafkah bagi keluarganya.
Di sisi lain, negara akan memastikan lapangan pekerjaan selalu tersedia untuk seluruh rakyatnya. Bisa juga dengan memberikan tanah mati yang tidak ada pemiliknya untuk dikelola dengan dibangun rumah atau pemanfaatan lainnya. Karena syariat Islam telah menetapkan bahwa lahan yang selama tiga tahun ditelantarkan oleh pemiliknya akan disita negara dan diberikan kepada orang yang mampu mengelolanya. Dengan begitu, dipastikan praktik monopoli dapat dihapuskan dan rakyat dapat memiliki lahan dengan mudah.
Baca juga: Tapera Tiga Persen yang Memberatkan
Hal tersebut pernah dilakukan Nabi saw., sebagai kepala negara saat itu, beliau pernah memberikan lahan di tanah al-Aqiq kepada Bilal bin al-Haris, memberi tanah kepada Wa'il bin Hujr di Hadhramaut, kepada Umar dan Ustman serta para sahabat yang lainnya. Bahkan Khalifah Umar bin Khaththab ra juga pernah memberikan bantuan dari Baitulmal untuk petani di Irak demi membantu mereka menggarap lahan pertanian, juga untuk hajat hidup mereka.
Sumber pendapatan Baitulmal itu sendiri diperoleh dari fai, kharaj, jizyah atau ghanimah, juga dari pos kepemilikan umum yakni pengelolaan sumber daya alam yang dalam Islam wajib dikelola negara dan haram diberikan kepada swasta maupun asing. Dengan begitu pemasukan yang besar akan dihasilkan dari sana.
Hal tersebut hanya bisa terwujud manakala sistem Islam diterapkan dalam menjalankan pemerintahan. Negara akan benar-benar mengurus rakyatnya karena aturan yang dijalankan sepenuhnya dari Allah Swt. Hingga bukan hanya mudah dalam memiliki rumah, namun keberkahan lain akan seutuhnya dirasakan oleh umat manusia.
Wallahu a'lam bi shawwab.
Editor: Reni Rosmawati
