![]() |
| Ilustrasi pemimpin dalam demokrasi (pinterest) |
Beritanusaindo.my.id -OPINI -Nama Abdul Gani Kasuba, Eks Gubernur Maluku Utara sekaligus politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah didakwa jaksa melakukan tindak pidana korupsi dengan penerimaan suap senilai Rp5 Miliar dan USD60 ribu disertai penerimaan gratifikasi senilai Rp99,8 Miliar dan USD30 ribu.
Jaksa pun mendakwa Abdul Gani Kasuba karena melanggar, pertama, Pasal 12 huruf a atau huruf b; dan kedua, Pasal 11 juncto Pasal 18; ketiga, Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) KUHP (liputan6.com, 21/7/2024).
Menariknya, kasus korupsi Abdul Gani ini menguak fakta tak elok dilakukan oleh seorang negarawan apalagi dari partai berbasis Islam. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Ternate pada Kamis (18/7/2024), Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menghadirkan anggota DPRD Kabupaten Halmahera Selatan, Eliya Gabrina Bachmid sebagai saksi.
Eliya adalah politisi asal Partai Gerindra. Keduanya diketahui masih memiliki hubungan kekerabatan. Eliya mengungkapkan Eks Gubernur Malut telah habiskan Rp 3 M untuk pesan Wanita, Sekali Kencan Rp 10 – 50 Juta, Eliya sendiri yang mengantar pesanan ke hotel tempat Abdul Gani berada, di Jakarta atau Ternate.
‘Hobi jajan cewek’ dari Abdul Gani dimanfaatkan dengan harapan, agar pencairan proyek yang ‘dimainkan’ bersama Abdul Gani berjalan lancar. Abdul Gani bisa menyewa wanita tiga kali sehari, hingga kasus ini terkuat sudah puluhan wanita yang disewa untuk memuaskan nafsunya.
Baca juga:
Pecundang Selalu Ada Dekat Ujung Kemenangan
Pemimpin Harus Memiliki Sifat Negarawan
Seorang pemimpin atau yang di pundaknya ada amanah sebagai pemimpin, tentu tak pantas melakukan kecurangan bahkan memperturutkan hawa nafsunya bak hewan. Namun, hal ini adalah sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme-demokrasi. Dimana asasnya adalah sekulerisme. Agama dipisahkan dari pengaturan individu, masyarakat dan negara.
Tentu saja yang dihasilkan adalah kerusakan,sebab manusia terbatas, lemah dan tak mampu mewujudkan maslahat bagi dirinya. Dibolehkannya manusia membuat aturan sendiri sebagaimana dalam demokrasi jelas terlarang, setiap hukum pasti sarat kepentingan. Dan kepentingan ini berdiri atas asas nafsu, harga diri dan keinginan menguasai.
Demokrasi hanya dipandang sebagai cara memilih pemimpin. Padahal lebih dari itu, sistem yang memiliki jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sejatinya wadah bagi manusia yang diberi kebebasan untuk membuat hukum. Apa yang jelas haram menjadi halal, sebaliknya apa yang halal menjadi haram.
Bagaimana bisa berharap dari tipe pemimpin demikian? Dalam benaknya hanya ada bagaimana menyelamatkan dirinya, kroninya, pemodalnya dan lain sebagainya. Itulah sebabnya korupsi, zina, seks bebas, judi dan kriminal lainnya tak pernah bisa diberantas. Bahkan para pemimpin itu sendiri pelakunya.
Bagaimana dengan hukum? Setali tiga uang dengan perangai pemimpinnya. Bisa ditawar bahkan bisa dibeli. Siapa berkuasa maka dialah pemilik hukum. Sistem demokrasi selamanya hanya akan melahirkan para pemimpin hipokrit. Mereka hanya baik dalam pencitraan, tetapi buruk dalam kenyataan, apalagi jika diukur dengan standar Al-Qur’an.
Islam Melahirkan Pemimpin Sekaligus Negarawan
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthaniyyah menyebutkan tugas utama pemimpin adalah hirasatuddin wa siyasatuddunya (menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama).
Maka, pemimpin negara dalam Islam termasuk para pejabat negara di bawahnya, idealnya adalah para ulama. Merekalah orang-orang yang paling banyak membaca, memahami, dan menguasai Al-Qur’an. Merekalah orang-orang yang paling fakih dalam ilmu-ilmu agama. Merekalah yang diharapkan bisa mengurus negara dan umat berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Dengan kata lain, yang mesti menjadi pemimpin umat sejatinya adalah penguasa yang ulama. Negarawan sejati.
Baca juga:
Harganas, Keluarga Penentu dan Kunci Kemajuan Negara?
Dari Abu Dzar ra., ia berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengangkatku menjadi wakilmu?" Kemudian, beliau saw. menepuk-nepuk pundakku dengan kedua tangannya seraya berkata, "Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, padahal kekuasaan itu adalah amanah. Kelak pada hari kiamat, kekuasaan itu akan menjadi kehinaan dan kesedihan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan kebenaran dan menunaikan segala kewajibannya." (HR Muslim).
Inilah yang menjadi alasan tak asal tenar kemudian bisa menjadi pemimpin. Namun ia harus memiliki kemampuan dan ketakwaan lebih baik dari lainnya. Pemimpin seperti ini tak akan lahir dari sistem bobrok, seperti kapitalisme-demokrasi. Maka harus menjadi kewajiban kita sebagai muslim untuk menghadirkan sosok pemimpin terbaik yang dengan kesadaran melayani seluruh urusan umat. Yang hanya takut kepada Allah azza wa jala. Dan itu hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam secara Kafah. Wallahualam bissawab.

