Rasio Utang Dianggap Aman, Negara di Ambang Kehancuran

Admin Beritanusaindo
0

 



Utang sering diperhalus dengan istilah investasi, rakyat dipaksa mempercayainya sebagai modal untuk menstimulus ekonomi. Namun pada akhirnya bisa menjadi alat politik bagi negara adidaya untuk menjerat negara-negara kecil. Mereka bahkan menyebutnya sebagai ide pemulihan bagi perekonomian, yang sejatinya hanyalah jebakan berkedok bantuan.




Oleh Irma Faryanti 

pegiat Literasi 




Beritanusaindo.my.id - OPINI - Entah apa yang ada dalam benak petinggi negeri ini, yang begitu bersemangat menjadikan pajak sebagai pemasukan negara. Bahkan target yang ditetapkan untuk tahun yang akan datang menembus Rp2.000 triliun. Sebuah angka fantastis yang menjadi pertama dalam sejarah.


Usulan perencanaan itu disampaikan Presiden RI Joko Widodo pada pidato penyampaian RUU APBN di gedung DPR MPR beberapa waktu lalu. Berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025 ditunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia akan mengalami kenaikan menjadi Rp2.189,3 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp1.988,9 triliun (2024). Selanjutnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan pun diperkirakan akan ikut naik, masing-masing menjadi Rp945,1 triliun dan Rp1.209,3 triliun. (CNBC Indonesia, Jumat 16 Agustus 2024)


Kenaikan pajak tidak bisa dilepaskan dari besarnya utang negara yang mengalami peningkatan per akhir Juli 2024 yang mencapai Rp8.502,69 triliun. Kemenkeu menyatakan bahwa rasio yang tercatat masih dibawah batas aman 60% PDB, sesuai UU No 17 Tahun 2023. Pemerintah pun mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan pengelolaan portofolionya pun dilakukan secara aktif.


Baca jugaSistem Islam Solusi untuk Palestina


Utang pemerintah didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang berkontribusi sekitar 87,76%. Tercatat penerbitan SBN pada akhir Juli 2024 mencapai Rp7.642,25. Sementara 12,24 persen lainnya berupa pinjaman baik dalam negeri (Rp39,95 triliun) dan dari luar negara (Rp1000,49 triliun). Sebuah jumlah yang fantastis, namun sayangnya disikapi ringan oleh presiden Jokowi. 


Menurutnya rasio utang Indonesia masih paling rendah dibanding negara-negara anggota G-20 dan ASEAN lainnya. Di mana umumnya beban yang ditanggung negara tersebut lebih besar dibanding ikutan ekonominya. Kondisi ini dapat mengurangi kepercayaan investor yang akhirnya menaikkan pinjaman karena dianggap beresiko. Dan negeri ini masih dianggap aman selama masih di bawah 60%.


Dalam acara yang sama, Ketua DPR Puan Maharani menyebut bahwa dalam lima tahun ini pemerintah telah melakukan penarikan utang yang sangat besar akibat kondisi perekonomian yang sempat mengalami guncangan, sementara APBN menjadi salah satu instrumen strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Adanya penurunan dalam penerimaan perpajakan, besarnya kebutuhan belanja serta subsidi yang meningkat, menjadi pertimbangan untuk menarik utang yang sangat besar.


Baca juga: Mewujudkan Ketahanan Pangan, Antara Harapan dan Kenyataan


Inilah realita rusaknya perekonomian dalam negara yang menganut kapitalisme. Pajak dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi dan menjadi instrumen fiskal yang membantu perekonomian negara. Parahnya, pembayarannya dianggap bentuk kepatuhan rakyat terhadap negara. Padahal hal itu semakin mencekik dan mempersulit kehidupan mereka. Di tengah himpitan biaya hidup yang semakin mahal, masyarakat masih harus dibebani pajak yang memberatkan.


Pengelolaan pajak sering dikaitkan dengan kondisi para pejabatnya, marak kasus korupsi ternyata berperan besar, karena nantinya akan menjadi pembanding dengan negara-negara Barat yang tinggi pajaknya namun terjamin kehidupan masyarakatnya. Dalam sistem kapitalis didapati fakta bahwa rakyat baru bisa sejahtera jika rakyat membayarkan sejumlah uang kepada negara. Hubungan keduanya tak ubahnya seperti penjual dan pembeli, masyarakat harus bertahan hidup dalam memenuhi sementara penguasa hanya berfungsi sebagai regulator. 


Peran negara dalam sistem kapitalisme sangat minim. Pemerintah hanya membuat peraturan mengenai sistem pembayaran pajak bagi rakyat. Mereka hanya diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi, mengembangkan harta seluas-luasnya untuk kemudian ditukar dengan pelayanan yang semestinya mereka dapatkan secara cuma-cuma.


Baca juga: Mungkinkah Generasi Berakhlakul Karimah Terwujud?


Utang sering diperhalus dengan istilah investasi, rakyat dipaksa mempercayainya sebagai modal untuk menstimulus ekonomi. Namun pada akhirnya bisa menjadi alat politik bagi negara adidaya untuk menjerat negara-negara kecil. Mereka bahkan menyebutnya sebagai ide pemulihan bagi perekonomian, yang sejatinya hanyalah jebakan berkedok bantuan.


Negara pemberi utang pun akhirnya memosisikan dirinya sebagai penyelamat ekonomi. Padahal Berbagai kerjasama dan perjanjian yang dibuat hakikatnya untuk menjerat negara-negara pengutang. Utang pokok berikut bunga pun semakin membengkak mengikuti fluktuasi pertukaran mata uang pihak debitur terhadap dolar, sehingga menyebabkan ketergantungan. Konsekuensinya, mereka harus mengikuti setiap arahan, tidak mempunyai daya tawar bahkan kedaulatan pun tergadai. Ujung-ujungnya aset pun harus melayang ketika abai dari pembayaran.


Berbeda dengan kapitalis, Islam menjadikan pengurusan rakyat sebagai tanggung jawab negara yang berfungsi sebagai ra’in (pengurus/penggembala). Tanggung jawab ini tidak boleh dialihkan pada pihak lain

Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Bukhari dan Muslim: “Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan ia bertanggung jawab terhadap gembalaannya.”


Dalam Islam, sumber pendapatan negara tidak dibebankan pada utang dan pajak, semua sesuai dengan standar syariat. Ada tiga sumber utama, yaitu: sektor kepemilikan individu (sedekah, hibah dan sedekah), umum (tambang, minyak bumi, gas, ekosistem hutan, dan lain sebagainya) dan negara (jizyah, kharaj, fai dan usyur).


Jika terjadi defisit anggaran, atau kas baitulmal mengalami kekosongan, kewajiban akan beralih pada kaum muslim dalam bentuk pajak dan pinjaman, namun sistemnya temporal (sementara) tidak permanen. Itupun hanya dipungut dari orang kaya dari kaum laki-laki saja, yaitu mereka yang memiliki kelebihan baik dari sisi kebutuhan primer dan sekundernya. Adapun hasil pungutan itu nantinya akan digunakan untuk pembiayaan jihad, industri militer, membantu fakir miskin, menggaji para pegawai:tentara, hakim, guru, dan juga pembiayaan mendesak lainnya seperti bencana alam dan lain sebagainya.


Baca jugaTanpa Pemimpin Islam, Umat Senantiasa Teraniaya


Adapun terkait utang, Islam memandangnya sebagai bagian dari aktivitas tolong menolong, jadi tidak boleh ada tambahan berupa riba atau apapun bentuknya. Negara boleh saja berutang jika kas baitulmal kosong sementara kaum muslim tidak mampu mengumpulkan hartanya. Hanya saja tidak boleh tunduk dan mengikuti persyaratan yang melanggar syariat.


Demikianlah konsep syariat dalam menyolusikan masalah perekonomian khususnya terkait utang. Demikian sempurna dan mampu menuntaskan permasalahan yang ada. Hanya dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam lah semua itu dapat terlaksana sempurna melalui tegaknya hukum Allah Swt. di setiap aspek kehidupan. 

Wallahu alam Bissawab. [Rens]


Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)