Sumber ilustrasi gambar: Wikipedia
Istilah toleransi terus digaungkan di negeri ini. Seolah-olah negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini sedang diancam oleh penyakit intoleransi. Parahnya, sering kali label intoleran ini disematkan pada umat Islam.
Oleh : Dian Safitri
Aktivis Dakwah
Beritanusaindo.my.id - OPINI - Pembangunan sekolah kristen di Parepare Sulawesi Selatan, mendapat aksi penolakan dari warga dan ormas Islam. Pemerintah daerah kota Parepare Sulawesi Selatan melalui DPRD merekomendasikan penghentian pembangunan sekolah kristen tersebut. Karena sekolah itu didirikan di tengah masyarakat berpenduduk mayoritas Islam. Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Wahid Foundation Siti Kholisoh menilai aksi ini mencederai semangat toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Peristiwa yang terjadi ini adalah tindakan intoleransi yang merusak hak umat beragama lain hanya karena berbeda keyakinan (beritasatu.com, 29/09/2024).
Rasanya berlebihan mendengar pernyataan tersebut, karena faktanya mayoritas umat Islam di Indonesia dengan kemajemukannya sangat toleran terhadap umat beragama lain. Mereka dibiarkan dengan keyakinan dan tidak diganggu. Bahkan kerap mendapatkan perlakuan istimewa.
Istilah toleransi terus digaungkan di negeri ini. Seolah-olah negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini sedang diancam oleh penyakit intoleransi. Parahnya, sering kali label intoleran ini disematkan pada umat Islam. Sementara di sisi lain, perilaku intoleran banyak ditemukan yang justru menghalangi umat Islam melaksanakan ajaran agamanya, tapi para pelakunya tidak disebut intoleran. Pelarangan kerudung di Bali misalnya, atau pengrusakan masjid di Papua. Ini terjadi karena definisi toleransi mengacu kepada definisi global. Padahal, dalam Islam jelas ada definisi sendiri yang sudah dipraktekkan dengan baik ketika daulah Islamiyyah tegak dan dilanjutkan pada kekhilafan berikutnya.
Baca juga: Kementerian Makin Banyak, Bisakah Membawa Berkah?
Sungguh tidak bisa dimungkiri, persoalan ini terjadi karena negara tidak hadir sebagai pelindung rakyatnya. Negara justru membuka kran liberalisasi akidah dan membiarkan terjadinya pemurtadan secara massif. Apalagi negara justru mengacu kepada definisi global tentang toleransi. Akibatnya banyak organisasi, sekolah juga individu muslim yang taat justru dituduh radikal.
Negara sendiri juga bersikap intoleran terhadap umat Islam. Tapi sangat menormalisasi dan kebablasan toleransinya terhadap umat beragama lain. Misalnya seperti kedatangan Paus Fransiskus. Atas nama toleransi, adzan maghrib diganti jadi running teks karena bersamaan dengan Paus memimpin Misa. Tidak hanya itu, imam besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar bahkan mengatakan masjid itu bisa menjadi rumah persaudaraan dan kemanusiaan, padahal najis untuk orang nonmuslim memasuki masjid yang suci.
Baca juga: Solusi Paripurna untuk Palestina
Begitulah toleransi yang dipraktikkan oleh umat beragama hari ini. Mereka sangat lemah lembut terhadap orang kafir tetapi sangat keras perlakuannya terhadap sesama muslim. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'aala telah berfirman dalam QS Al-Fath ayat 29 yang artinya:
"Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka."
Tapi saat ini kondisi berbalik. Atas nama toleransi dengan makna global sesuai standar Barat, mereka menabrak pagar syariat. Bergandengan tangan dengan orang kafir tetapi keras perlakuannya terhadap saudaranya sesama muslim.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena negara hari ini mengemban sistem bathil kapitalisme yang menggaungkan kebebasan dan membuka celah sinkretisme dan pluralisme. Inilah ironi di negeri berpenduduk mayoritas muslim yang menerapkan sistem demokrasi kapitalisme sekuler. Sistem bathil ini telah menyudutkan kaum muslim dan mencap radikal bagi kaum muslim yang taat pada agamanya. Inilah standar ganda kebebasan dalam demokrasi.
Berbeda jauh dengan Islam. Islam memiliki definisi toleransi sesuai tuntunan Allah dan Rasulnya, dan inilah yang harus diamalkan oleh seluruh kaum muslim. Toleransi dalam Islam telah dibakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'aala dalam QS. Al-kafirun ayat 6 yang artinya: "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku."
Baca juga: Toleransi dalam Kapitalisme VS Toleransi dalam Islam
Ayat ini sudah sangat jelas memberi batasan kepada kita bahwa toleransi itu adalah membiarkan mereka dengan keyakinan mereka.Ketiadaan negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, yang akan berperan sebagai junnah (pelindung) menjadikan umat Islam menjadi sasaran musuh-musuh Islam. Umat Islam sendiri banyak yang tidak memahami tuntunan Islam ini. Oleh karena itu menjadi kebutuhan untuk menyadarkan umat akan kebutuhan tegaknya khilafah sebagai junnah.
Untuk memahamkan umat dibutuhkan adanya kelompok dakwah ideologis yang akan terus menerus mengawal umat dan berjuang bersama menegakkan Khilafah Islamiyyah ala minhaj an-Nubuwwah.
Wallahu'alam. [Rens]
Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.