Tunjangan Perumahan, Sudahkah Mewakili Rakyat?

Goresan Pena Dakwah
0




Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Beritanusaindo.my.id--OPINI, Sejak resmi terbitnya Surat Nomor B/733/RT.01/09/2024 oleh Sekretariat Jenderal DPR pada 25 September 2024, maka resmi pula anggota DPR RI periode 2024-2029 yang baru saja dilantik tidak mendapatkan Rumah Jabatan Anggota (RJA) tapi diganti dengan tunjangan.


Sekjen DPR RI, Indra Iskandar, mengatakan kebijakan ini mengakomodasi fleksibilitas bagi anggota dewan dalam mengelola dan memilih rumah dinasnya sendiri. Karena rumah lama ditarik semua dan dikembalikan ke Kemensetneg.


Indra juga berkata, pemeliharaan rumah dinas DPR yang sudah tua dianggap lebih mahal ketimbang memberikan uang tunjangan perumahan. Manfaat pemberian tunjangan juga dinilai lebih banyak memberikan manfaat.


Uang tunjangan hanya berlaku untuk anggota dewan. Sedangkan, pimpinan DPR RI tak akan menerima tunjangan sewa rumah bulanan karena mereka tetap menempati rumah dinas yang terletak di Kawasan Widya Chandra dan Kuningan, Jakarta Selatan.

Baca juga: 

Rancu Halal Haram, Koyak Rasa Aman


Uang tunjangan perumahan akan dimasukan dalam komponen gaji, sehingga diberikan setiap bulan kepada para anggota DPR RI, dengan cara ditransfer langsung ke rekening pribadinya. Pengaturan ini merupakan hak para anggota dewan. “Mau sewa, mau beli, dia punya uang mukanya dari sendiri, atau dia punya rumah di seputar Jabodetabek, itu kan hak masing-masing,” tutup Indra (tirto.id, 12-10-2024).


Kritisi Fasilitas Menjadi Anggota Dewan


Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara mengatakan pengalihan RJA DPR RI periode 2024-2029 ke tunjangan perumahan akan menimbulkan kesulitan pengawasan. Karena ditransfer secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan


Jika pengawasan lemah, akan berdampak pada pemborosan anggaran sekaligus berpotensi penyalahgunaan. ICW menduga bahwa upaya pengalihan itu tidak memiliki perencanaan, sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik.


Apalagi, tunjangan rumah dinas ini berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak masyarakat. Dengan total berkisar dari Rp1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. ICW memandang aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya memiliki urgensi yang lebih penting dibanding sekadar fleksibilitas sebagaimana diargumentasikan oleh Sekjen DPR itu.

Baca juga: 

Produk Halal atau Haram, Kog Sama?


ICW mendesak Sekretaris Jenderal DPR untuk mencabut surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 dan meminta agar anggota DPR tetap menggunakan RJA tanpa adanya pemberian tunjangan perumahan dan mendorong melakukan perbaikan terhadap rumah yang rusak disertai dengan proses pengadaan yang transparan dan akuntabel (kompas.com, 11-10-2024).


Rumah dinas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan ditiadakan sebenarnya masih dalam keadaan layak huni meski ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki seperti sebagian plafon di area kamar dan garasi bocor sehingga ada bercak berwarna kekuningan, cat dinding yang mulai terkelupas, serta tercium aroma tidak sedap dari hama tikus di kamar utama akibat sudah tidak ditinggali.


Tunjangan Perumahan, Sudahkah Mewakili Rakyat?


Seolah pohon kelapa dari akar hingga daun memberikan manfaat, keanggotan DPR ini selain surat keputusan (SK) jabatannya bisa untuk jaminan pinjaman di Bank atau lembaga keuangan lainnya kemudian, masih mendapatkan tunjangan rumah dinas anggota DPR. Fasilitas demi fasilitas yang diterima semakin menambah panjang daftar fasilitas yang dterima anggota dewan. Bagaimana dengan rakyat, apakah kenikmatan ini sudah mampu mewakili rakyat dengan sebenar-benarnya? Menjadi penyambung aspirasi umat?


Pasalnya, tunjangan ini tentu diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Namun melihat realita sebelumnya, dan realita anggota Dewan periode ini, mungkinkah harapan rakyat dapat terwujud? Optimalkah kerja mereka?


Apalagi, dengan adanya rumah jabatan anggota, tunjangan ini bisa menjadi satu pemborosan anggaran negara. Belum lagi persoalan lain yang muncul, seperti mempersulit pengawasan penggunaan dana tsb. Terlebih dana ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan. Wajar jika ada anggapan tunjangan ini hanya memperkaya mereka. 


Baca juga: 

Solusi Paripurna untuk Palestina


Di sisi lain, tunjangan tersebut ironis jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini, yang masih kesulitan memiliki rumah, bahkan ada ‘beban’ iuran Tapera bagi pekerja. Makin ironis ketika keputusan anggota dewan justru membuat rakyat makin susah hidupnya.


Anggota dewan yang terhormat, ternyata juga lebih loyal kepada pengusaha, terbukti telah berani mengangkangi kewenangan MK dan mengubah peraturan syarat pemilihan calon presiden dan kepala daerah dan walikota. Demokrasi masyarakat tak terelakkan, mereka bilang demokrasi telah mati karena ulah para wakil rakyat ini.


Padahal, demokrasi secara alamiah akan memunculkan kerusakan ini. Demokrasi pula yang akan melahirkan pemimpin culas, hanya memanfaatkan suara rakyat saat mereka hendak dipilih, setelahnya, rakyat diabaikan bahkan semakin terus terang dianggap sebagai beban negara. Urusan perut sendiri mereka sangat rakus, hingga muncul anekdot di masyarakat bahwa tanah kusewa, air kubeli sebab tanah air sudah bukan milik sendiri.


Negaralah yang bernafsu menjajakan negeri ini kepada kafir, dari mulai sumber daya alam, tanah, air, dan semua yang bisa diuangkan. Semestinya DPRlah yang memerankan dirinya menjadi sebenar-benarnya penyambung lidah umat, dan mengadakan koreksi kepada penguasa yang telah menyimpang jauh dari peraturan.


Islam Solusi Hakiki Problematika Umat


Sangatlah fatal jika fungsi dewan perwakilan rakyat tak berjalan sebagaimana mestinya. Kembali rakyatlah yang menjadi korban. Dalam Islam, ada Majelis Ummah, yang merupakan wakil rakyat, namun berbeda peran dan fungsi dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi.


Anggota majelis ummat murni mewakili umat, atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara.


Majelis ummat juga bukan tempat mencari nafkah atau memperkaya diri, kroni, partai dan lainnya. Apalagi Islam juga memiliki aturan terkait dengan harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya. Kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan akan dijamin pemenuhannya oleh negara.


Maka, belum sampaikah fakta ini kepada kita dan membuka mata, perhatian negara kepada umat memang hanya sekadar pencitraan? Mati hati menjadi gaya hidup para pejabatnya, maka sudah selayaknya kita menjawab pertanyaan Allah ini,”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” (TQS; Al-Hadid : 16). Wallahualam bissawab. [ry].


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)