Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?

Admin Beritanusaindo
0

 




Dalam sistem hari ini, wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, namun karena kekayaan atau jabatan, dalam mekanisme politik transaksional. 


 

Oleh Dewi Putri Lestari 

Pegiat Pena Banua


Beritanusaindo.my.id - OPINI - Wakil rakyat adalah mereka yang dipilih oleh masyarakat untuk membawa suara dan aspirasi ke dalam lembaga pemerintahan. Mereka memegang peran penting sebagai jembatan antara kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah. Dalam setiap pemilu, mereka mengajukan berbagai janji, seperti memperjuangkan aspirasi publik, peningkatan kesejahteraan, hingga perbaikan layanan publik, dengan harapan dapat meraih dukungan. Namun, setelah terpilih, muncul pertanyaan yang kerap diutarakan: apakah para wakil rakyat benar-benar melayani rakyat yang memilih mereka? Sering kali muncul keraguan mengenai sejauh mana para wakil rakyat bekerja demi kepentingan masyarakat atau hanya memenuhi kepentingan segelintir golongan. Masihkah mereka setia pada mandat yang telah diberikan oleh masyarakat?

Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi dilantik untuk periode 2024-2029. Selama lima tahun ke depan, anggota dewan diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan rakyat. DPR tidak boleh terpengaruh atau terikat oleh kepentingan partai politik, elite politik, atau kekuasaan eksekutif, dan tidak seharusnya memanfaatkan jabatan hanya untuk keuntungan pribadi atau keluarga. Namun, harapan ini tampaknya memerlukan usaha ekstra dan pembuktian dari DPR. Pasalnya, indikasi adanya politik dinasti masih kuat di DPR periode ini. Beberapa anggota DPR terpilih diketahui memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik, elite politik, atau sesama anggota DPR lainnya. Relasi keluarga dalam DPR 2024-2029 cukup beragam, mulai dari suami-istri, anak, hingga keponakan. Sebagian besar adalah hubungan vertikal, yaitu anak pejabat, seperti anak dari anggota DPR, mantan anggota, gubernur, bupati, atau wali kota dan lain-lain (Tirto.id, 2/10/2024).


Anggota DPR adalah perwakilan rakyat yang bertugas untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta membuat peraturan perundang-undangan. Namun, dalam kenyataannya, sering kali terjadi hubungan yang saling terkait antara anggota DPR, partai politik, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, sehingga membuka peluang bagi terjadinya konflik kepentingan. Saat ini, situasinya semakin kompleks karena hampir semua partai politik bergabung dalam koalisi pemerintahan, sehingga tidak ada oposisi yang kuat. Dengan tidak adanya oposisi yang berperan sebagai penyeimbang, sulit bagi rakyat untuk mendapatkan wakil yang benar-benar memperjuangkan kepentingan mereka. Hal ini diperparah dengan kecenderungan banyak anggota DPR yang lebih memperhatikan kepentingan oligarki atau kelompok elite tertentu, sementara kepentingan rakyat sering kali terabaikan. Akibatnya, rakyat merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau menyuarakan hak-haknya.


Dalam sistem hari ini, wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, namun karena kekayaan atau jabatan, dalam mekanisme politik transaksional. Politik transaksional tidak hanya terjadi dalam jual beli suara antar kontestan dengan pemilih, tetapi juga terjadi antar kontestan dengan pemilih. Salah satu faktor yang dapat menyuburkan politik transaksional adalah kondisi pendapatan per kapita mayoritas penduduk Indonesia yang masih rendah sehingga banyak dimanfaatkan oleh para politisi untuk membeli suara rakyat. Belum lagi politik transaksional yang rawan dalam praktik jual beli hukum oleh oknum penegak hukum. Peraturan hukum yang dibuat oleh pemesan atau terjadi praktik jual beli hukum adalah lumrah terjadi di negeri ini. Tidak mengherankan apabila para anggota dewan bekerja hanya untuk uang, fasilitas, dan tunjangan. Itu pun kalau mereka benar untuk bekerja.


Jelas hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam struktur pemerintahan Islam, ada Majelis Ummah yang beranggotakan wakil kaum muslim dalam memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi khilafah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam segala urusan. Majelis Ummah yang menjadi wakil rakyat dipilih oleh rakyat karena merupakan representasi umat. Tugasnya menyampaikan aspirasi, namun tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan. Nonmuslim yang menjadi warga khilafah boleh menjadi Majelis Ummah dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, keburukan penerapan Islam terhadap mereka, juga dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan bagi mereka, dan pengaduan yang lainnya.


Jika kita melihat realita para majelis umat pada masa peradaban Islam, sungguh fungsinya secara struktural sangat berbeda dengan parlemen dalam sistem demokrasi. Motivasi para majelis umat untuk mewakili rakyat juga sangat jauh dibandingkan para anggota dewan saat ini. Upaya untuk mengurus urusan umat begitu kuat dalam sistem Islam. Demikian halnya dalam motivasi untuk mengoreksi penguasa. Semua yang dilakukan oleh majelis umat karena landasannya adalah amar ma'ruf nahi munkar sehingga semua pihak berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan dalam pelaksanaan Islam secara menyeluruh.

Wallahu a'lam bi ash-shawwab. [Rens]


Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.




Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)