Ilustrasi Pinterest
Oleh: Nadisah Khairiyah
Beritakan.my.id, Opini - Dunia menyaksikan dengan mata terbuka, tapi hati tertutup bagaimana ratusan ribu anak Palestina menangis bukan karena bom, tapi karena lapar. Tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada listrik. Bahkan rumah sakit pun sunyi dari pasokan.
Dan yang lebih menyakitkan: kelaparan ini bukan akibat bencana alam, tapi didesain secara sistematis oleh entitas penjajah yang menyebut dirinya "Zionis". Bukti bahwa Zionis itu lemah dan pengecut.
Mereka sengaja menutup jalur bantuan. Mereka membiarkan bayi meregang nyawa perlahan. Mereka tahu, tubuh yang lemah akibat kelaparan, lebih mudah dikalahkan daripada jiwa yang kuat. Maka dibuatlah kelaparan sebagai alat. Bukan sekadar untuk menyiksa, tapi untuk melenyapkan eksistensi. ltulah genosida, bukan perang. Tapi pembantaian sunyi.
Kelaparan sebagai Senjata: Bukan Taktik Perang, Tapi Kejahatan
Dalam strategi militer yang benar, musuh dilawan secara langsung, dengan kekuatan yang seimbang. Tapi Zionis memilih jalur paling hina: mematikan akses hidup. Ini bukan keberanian, ini ketakutan yang dibungkus teknologi. Mereka tahu: bila harus bertarung jiwa dengan jiwa, semangat rakyat Palestina tidak akan bisa dipadamkan. Dan mereka tahu bahwa mereka akan kalah.
Mereka bukan berani, mereka justru takut pada ruh umat Islam. Karena itulah mereka berusaha menghancurkan tubuh-tubuh kecil sebelum mereka tumbuh menjadi pemuda-pemudi yang akan melawan.
Mereka gunakan kelaparan sebagai alat genosida, karena mereka tak sanggup berhadapan dengan perlawanan hidup.
Pandangan Politik Islam: Ketika Nafas Terakhir Tak Boleh Mati Sia-sia
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir menjelaskan:
"Politik dalam Islam adalah mengurus urusan umat, berdasarkan Islam, baik dalam negeri maupun luar negeri. Adapun diam terhadap penderitaan umat, atau menyerah pada penjajahan dan kedzaliman, bukanlah politik Islam, melainkan bentuk pembiaran yang tidak dibenarkan syar’i."
Beliau menegaskan bahwa urusan umat Islam adalah urusan seluruh kaum muslimin, dan membiarkan musuh menyiksa satu bagian dari umat adalah pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinan Islam.
Beliau juga menyatakan bahwa musuh-musuh Islam akan selalu menggunakan segala cara, termasuk kelicikan dan pengkhianatan, untuk mematahkan kekuatan umat. Tapi justru dari situlah terbukti: mereka lemah secara hakiki, dan hanya bisa menang bila kita lemah secara ruhiyah dan politik.
Salah satu kelemahan kita adalah ketidaktahuan tentang janji Allah ﷻ bahwa orang kafir itu akan kalah. Banyak ayat yang menyebutkan hal ini, satu di antaranya:
قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَىٰ جَهَنَّمَ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ ﴿١٢﴾
“Katakanlah (Hai Muhammad) kepada orang-orang yang kafir itu: ‘Kalian pasti akan kalah dan pasti akan dikumpulkan ke dalam neraka Jahannam. Dan itu merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.'” (QS. Ali ‘Imran[3]: 12)
Jika kita tahu hal ini, tentunya kita tidak akan merasa lemah secara ruhiyah maupun politik. Namun sayang bahkan saat tahu pun (yang tidak dibarengi dengan keimanan yang kuat) tidak memunculkan kekuatan dan keberanian politik.
Zionis bukan kuat. Mereka hanya diuntungkan karena umat ini tercerai-berai. Sebagai akibat kelemahan ruhiyah dan politik, seperti disebutkan di atas. Tidak adanya satu perisai, satu komando, satu kepemimpinan Islam itulah peluang yang mereka gunakan.
Umat Islam: Wajib Bersuara, Tapi Jangan Berhenti di Suara
Kita boleh dan harus menangis. Tapi tangisan tanpa langkah adalah kelemahan. Kita boleh dan harus mengutuk. Tapi kutukan tanpa gerakan adalah kesia-siaan. Kita jadikan tangisan merasakan penderitaan saudara kita, dan kutukan terhadap kebiadaban Zionis, sebagai energi untuk bergerak bersama. Bergerak dalam satu komando menghancurkan musuh kaum muslimin. Musuh yang sedang menghancurkan Palestina. Palestina butuh solidaritas nyata dan sistemik.
Kita butuh pemimpin yang tidak takut sanksi internasional. Kita butuh negara yang tidak menjilat penjajah atas nama diplomasi. Kita butuh Daulah Islam yang memandang darah kaum muslimin lebih berharga dari seluruh perjanjian dunia.
Karena satu sajadah bisa diganti. Tapi nyawa seorang muslim tidak.
Saatnya Bangkit, Bukan Menunggu Lapar Berikutnya
Zionis mungkin mengira kelaparan bisa membungkam perlawanan. Tapi sejarah membuktikan: dari tanah yang paling lapar, lahir jiwa yang paling kuat. Mereka lupa bahwa lapar tidak melemahkan kaum muslimin. Beberapa perang besar masa Rasulullaah, terjadi di bulan Ramadan. Bahkan penaklukan Konstantinopel diawali dengan puasa sunnah.
Bayi-bayi Gaza tumbuh tanpa roti, tapi mereka dibesarkan dengan keimanan yang melahirkan keberanian dan kekuatan jiwa. Sementara kita, yang kenyang, kadang masih enggan menyebut musuh sebagai penjajah.
Mari sadari: kelaparan ini bukan takdir, tapi rencana. Dan melawan rencana butuh rencana tandingan bukan sekadar reaksi emosional, tapi gerakan politik yang menghimpun kekuatan umat, menyatukan negeri-negeri kaum muslimin, dan membentuk kembali perisai yang dulu pernah menjadikan musuh gentar: Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah
Karena hanya dengan kekuatan Islam yang sejati, kita bisa menjawab genosida dengan keadilan. Dan menjawab kelaparan, dengan kemenangan.
-