Pemerintah masih Belum Sepenuh Hati Memperhatikan Kesejahteraan Guru

Lulu nugroho
0


Ilustrasi Pinterest
Oleh Mai Hanum Asmu’i



Beritakan.my.id, Opini_ Anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, menegaskan pentingnya peningkatan kesejahteraan guru sebagai pilar utama dalam reformasi pendidikan nasional. Dalam kunjungan kerja Komisi X ke Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Jambi, ia menyatakan bahwa standar ideal gaji guru di Indonesia seharusnya mencapai Rp25 juta per bulan.

Pernyataan tersebut memunculkan beragam tanggapan. Tak sedikit yang menilai hal itu sebagai pernyataan yang aneh atau berlebihan. Benarkah demikian? Di sisi lain, para guru juga diresahkan oleh kabar pencoretan tunjangan tambahan (tuta) dari APBD Banten dengan dalih efisiensi anggaran. Suara-suara keberatan mulai terdengar, bahkan aksi turun ke jalan pun dipertimbangkan sebagai jalan terakhir ketika aspirasi tak lagi didengar oleh pemilik kepentingan.

Jika membahas kualitas pendidikan suatu bangsa, maka profesi guru merupakan ujung tombak kedua setelah keluarga sebagai dasar pendidikan awal individu. Guru menjadi tumpuan utama dalam menjalankan kurikulum yang telah dirancang dengan cermat. Keberhasilan proses belajar-mengajar sangat bergantung pada cara guru menyampaikan materi, memastikan siswa memahami, dan mampu mengaplikasikannya. Namun, yang sering luput dari perhatian adalah sisi kemanusiaan seorang guru—yang juga merupakan ayah atau ibu dalam keluarga, dengan tanggung jawab besar di rumah.

Politik “Anak Tiri”

Minimnya tunjangan yang diterima guru tidak sebanding dengan beban kerja yang besar dan tuntutan totalitas dalam menjalankan tugas. Terutama guru honorer yang sering diperlakukan tidak adil dibandingkan guru PNS, padahal beban kerjanya hampir serupa. Kesenjangan gaji ini menimbulkan kecemburuan sosial. Maka, tunjangan tambahan yang sempat diberikan merupakan angin segar bagi para guru. Sayangnya, pencabutan tunjangan tersebut memupuskan harapan mereka untuk sekadar menutupi kebutuhan dasar sehari-hari di tengah tingginya harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya.

Perbedaan perlakuan antara guru swasta dan negeri juga menimbulkan pertanyaan besar, apa standar yang digunakan untuk membedakan keduanya? Jika soal kualitas dan kredibilitas, seharusnya negara hadir memberikan standar yang adil dan merata. Negara juga wajib memfasilitasi akses pendidikan tinggi secara setara bagi seluruh warga, tanpa klasifikasi dan diskriminasi. Pendidikan tinggi seharusnya tidak menjadi barang mewah, agar benar-benar terwujud generasi yang unggul.

Ironisnya, di negeri yang kaya sumber daya ini, gaji guru masih tergolong rendah dibanding negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Guru terus berhadapan dengan persoalan klasik kurikulum yang terus berubah mengikuti rezim, praktik korupsi di sektor pendidikan, serta program pencitraan yang bersifat jangka pendek. Dunia pendidikan justru menjadi lahan subur praktik kapitalisme yang menjadikan asas manfaat sebagai tujuan utama, jauh dari harapan luhur pendidikan. Sangat kontras jika dibandingkan dengan bagaimana Islam memuliakan profesi guru dengan pemberian gaji yang sangat layak.

Peradaban Islam: Mercusuar Pendidikan Dunia

Dalam Islam, profesi pendidik menempati posisi yang sangat mulia. Pendidikan dipandang sebagai proses pembentukan kepribadian Islam melalui penguatan akidah sejak dini. Tujuan pendidikan Islam bukan sekadar transfer ilmu, melainkan membentuk pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan nilai-nilai syariat.

Sejarah mencatat kejayaan pendidikan Islam yang luar biasa. Salah satunya adalah Universitas Al-Qarawiyyin, yang didirikan oleh seorang muslimah bernama Fatimah Al-Fihri. Lembaga ini menjadi simbol bagaimana negara dan masyarakat bisa bersinergi dalam mencetak generasi beriman dan berpikiran tajam. Negara dalam sistem Islam memberikan fasilitas terbaik bagi seluruh warga, termasuk pemberian gaji layak bagi para pendidik. Pendidikan berkualitas diberikan kepada laki-laki dan perempuan secara setara. Namun demikian, hukum syariat tetap menjadi pagar, termasuk pembatasan interaksi bebas antara laki-laki dan perempuan dalam institusi pendidikan.

Melihat rekam jejak peradaban Islam dalam membangun sistem pendidikan yang kokoh, maka kondisi guru di Indonesia saat ini mencerminkan lemahnya peran negara. Negara seharusnya hadir menjamin kesejahteraan para guru, menyediakan kurikulum terbaik, dan membebaskan pendidikan dari ketergantungan pada dana asing. Bantuan luar negeri yang dibalut dalam bentuk hibah atau beasiswa seringkali disertai MoU yang memuat muatan budaya asing yang merusak akidah Islam.

Titik Balik Pendidikan

Menjadikan akidah Islam sebagai dasar pendidikan adalah kunci dalam membangun kualitas individu dan bangsa. Dengan sistem pendidikan Islam, akan lahir pemimpin yang adil, pendidik yang ikhlas karena dijamin kesejahteraannya oleh negara, serta masyarakat yang sadar akan pentingnya peran Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Jika Islam hanya diposisikan sebagai agama spiritual semata seperti dalam sistem sekuler saat ini, maka kreativitas dan potensi umat Islam akan mati pelan-pelan.

Pada masa keemasan Islam profesi guru bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa. Melainkan profesi yang diberikan jasa sesuai dengn bobot keilmuan mereka. Pada era kekhalifahan Abasiyyah gaji guru berkisar antara 1000 hingga 4000 dinar atau setara 11,22 hingga 22,44 miliar pertahun jika di konversikan dengan nilai mata uang saat ini. Tak berhenti pada titik tersebut, Khalifah Al Ma’mun mengapresiasi teknologi dan keilmuan bagi siapa saja yang memiliki kemampuan didalamnya dengan mendirikan Bayt Al Hikmah atau rumah kebijaksanaan sebagai pusat keilmuan dan teknologi. Disana lahir tokoh terkemuka seperti Al Khawarizmi, Al Battani dan Al Razi 

Besarnya gaji yang diberikan pada masa Abasiyyah adalah wujud dari pengelolaan sumber pendapatan negara secara tepat. Negara memiliki pos pos pendapatan dari jenis kepemilikan umum seperti hasil tambang, kharaj, jizyah zakat serta fa’i yang hasil pegelolaannya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Mengulang kembali masa kejayaan Islam tentu bukanlah sesuatu yang bersifat utopis, apabila kaum muslim kembali kepada kehidupan dan aturan Islam sebagaimana Rasulullah dan Khalifah setelahnya menjadikan Islam sebagai sumber aturan yang menyeluruh.

Hanya dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah, kehidupan manusia akan berjalan sesuai petunjuk Allah. Dulu, kaum Muslim pernah memimpin dunia dengan keilmuan dan peradaban yang luar biasa, melahirkan para ilmuwan yang menjadi rujukan peradaban modern. Maka, sudah saatnya generasi Muslim bangkit, membangun kembali peradaban Islam, dan membuktikan bahwa Islam adalah sistem kehidupan terbaik.

Sebagaimana firman Allah SWT:

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah."
(QS. Ali Imran: 110)

Sebagai umat terbaik, kita harus siap menjadi penyebar cahaya Islam. Mendidik generasi dengan kepribadian Islam akan menciptakan masyarakat unggul dan pemimpin bersih yang mampu membawa umat menuju kemuliaan hakiki dengan ridha Allah sebagai tujuan tertinggi umat muslim seluruhnya.

Allahu a’lam bishawab.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)