#PrayForSumatra: Ketika Negeri Dibakar Para Oligarki

Admin Beritanusaindo
0

 


Sistem kapitalisme-liberal telah menempatkan alam sebagai komoditas, bukan amanah. Hutan dijual, lahan diekspor, dan keselamatan rakyat dikorbankan demi angka pertumbuhan.


Oleh: Ummu Bisyarah 

Pegiat Literasi


Beritakan.my.id- OPINI - #PrayForSumatra kembali menggema di jagat maya. Namun di balik doa dan simpati itu, menyembul kenyataan pahit. Sumatra kembali terbakar, dan negara lagi-lagi gagal bersikap sigap. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bukan hal baru. Setiap tahun asap menyelimuti langit Sumatra, sekolah diliburkan, paru-paru rakyat dipaksa menghisap racun, dan kehidupan terganggu. Namun, mengapa ini terus berulang? Apakah pemerintah memang tidak mampu, atau memang tidak sungguh-sungguh peduli?


Data terbaru dari BMKG mencatat lonjakan titik api di Sumatra yang sangat signifikan: dari 94 titik menjadi 1.208 titik hanya dalam dua minggu pada bulan Juli 2025 (channelnewsasia.com 27/07). Provinsi Riau menjadi wilayah terparah dengan 586 titik panas, diikuti oleh Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, dan Sumsel (indonesiasentinel.com 26/07). Di Sumatera Barat sendiri, kawasan wisata perbukitan Lembah Harau dilaporkan terbakar hebat pada 21 Juli, menghanguskan puluhan hektare lahan dan membuat warga panik (youtube.com 21/07). Api menjalar cepat karena musim kering dan medan yang sulit dijangkau.


Lebih parah lagi, 30 hektare lahan mineral di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumbar, juga dilaporkan hangus terbakar. Pemerintah melalui BPBD mengerahkan personel untuk pemadaman, namun investigasi awal mengindikasikan ada unsur kesengajaan dalam pembakaran untuk membuka lahan (katadata.co.id 30/07).


Peristiwa ini bukan bencana alam murni, tapi bencana buatan manusia—buah dari pembiaran, lemahnya penegakan hukum, dan mentalitas bisnis yang menghalalkan pembukaan lahan dengan api. Ironisnya, pemerintah baru bergerak ketika asap sudah sampai ke kota dan viral di media sosial. Lalu digelarlah konferensi pers, helikopter penyiram air diterbangkan, dan seolah semua terkendali. Tapi kita tahu, ini akan terulang lagi.


Lebih menyakitkan, penyebab kebakaran sebagian besar diketahui, yakni pembukaan lahan ilegal oleh perusahaan atau masyarakat. Namun, siapa yang diproses hukum? Siapa yang divonis berat? Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Perusahaan besar kerap lolos, sementara peladang kecil yang jadi kambing hitam. Pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab, BPBD kekurangan sumber daya, dan rakyat dibiarkan sesak napas secara harfiah maupun sosial.


Akar masalah


Sistem kapitalisme-liberal telah menempatkan alam sebagai komoditas, bukan amanah. Hutan dijual, lahan diekspor, dan keselamatan rakyat dikorbankan demi angka pertumbuhan. Dalam logika pasar bebas, pembakaran lahan itu efisien, murah dan cepat. Negara bukannya mengatur, justru menjadi fasilitator kepentingan korporasi dengan berbagai izin konsesi dan investasi yang longgar.


Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kebakaran tahunan ini. Kita harus berhenti menjadikan "doa" sebagai solusi utama dari masalah struktural. Doa itu penting, tapi tak akan mampu memadamkan api keserakahan dan kelalaian. Dibutuhkan keberanian politik, ketegasan hukum, dan (di atas segalanya) perubahan paradigma bahwa alam bukan milik investor, melainkan amanah yang harus dijaga bersama.


Jika negara terus tunduk pada kepentingan korporasi, dan hukum hanya menjadi pajangan, maka #PrayForSumatra hanya akan jadi litani tahunan. Tangisan rakyat Sumatra akan terus tenggelam dalam kabut asap dan kepura-puraan. Dan kita semua, diam-diam ikut bersalah.


Islam dan Solusi yang Sistemik


Masalah karhutla ini tidak bisa diselesaikan dengan solusi tambal sulam atau pendekatan teknis semata. Dibutuhkan solusi yang sistemik dan ideologis, dan Islam menawarkan hal itu. Dalam sistem Islam, alam bukanlah komoditas bebas eksploitasi, melainkan amanah dari Allah yang harus dikelola dengan tanggung jawab penuh, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia." (QS. Ar-Rum: 41)


Dalam Khalifah, hutan dan sumber daya alam tergolong milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum), yang haram diprivatisasi oleh individu maupun korporasi. Negara wajib mengelola langsung, bukan menyerahkan kepada investor atau swasta. Tidak akan ada korporasi raksasa yang bisa seenaknya membuka lahan dengan api karena seluruh izin dan pengelolaan berada di tangan negara, di bawah hukum syariah, bukan hukum pesanan.


Islam juga menetapkan hukuman tegas terhadap perusakan lingkungan. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang merusak tanah milik umum atau merugikan tetangganya, maka ia menanggung dosa dan ganti rugi.” Dalam Islam, pembakar hutan yang menyebabkan kerusakan besar akan dijatuhi ta'zir berat oleh Qadhi (hakim syar’i), yang dapat mencakup penjara, denda besar, bahkan hukuman fisik yang mendidik dan menimbulkan efek jera.


Selain itu, Islam memerintahkan negara untuk menjaga rakyat dari bahaya sebelum terjadi. Khalifah wajib menyediakan perangkat mitigasi bencana, tenaga ahli, dan infrastruktur pemantauan secara optimal, bukan sekadar “tanggap darurat” setelah kebakaran meluas. Bahkan para khalifah dahulu mencontohkan pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan, sebagaimana ditulis dalam kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid, bahwa lahan-lahan umum dijaga ketat oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat.


Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kebakaran tahunan ini. Kita harus berhenti menjadikan "doa" sebagai solusi utama dari masalah struktural. Doa itu penting, tapi tak akan mampu memadamkan api keserakahan dan kelalaian sistemik. Dibutuhkan keberanian politik, ketegasan hukum, dan di atas segalanya, perubahan sistem menuju tata kelola berbasis syariah Islam yang adil dan bertanggung jawab. Wallahualambishowwab.

Editor: Rens


Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)