Kohabitasi Berujung Mutilasi: Dampak Tragis Liberalisasi Pergaulan Sosial

Lulu nugroho
0


Ilustrasi Pinterest
Oleh: N. Vera Khairunnisa



Beritakan.my.id,Opini_ Kasus mutilasi sadis di Mojokerto–Surabaya baru-baru ini mengguncang publik. Potongan tubuh seorang wanita muda ditemukan berserakan, sebagian di Mojokerto dan ratusan potongan lainnya disimpan di kamar kos pelaku di Surabaya. Setelah ditelusuri, pelaku ternyata adalah pacarnya sendiri. Alasannya tampak sepele: kesal karena tidak dibukakan pintu kos, serta tekanan ekonomi akibat tuntutan korban.  (kompas. com, 8/9/2025) 

Tragedi ini bukan sekadar kriminalitas individual, tetapi potret buram gaya hidup generasi muda yang kian terjebak dalam tren kohabitasi—tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Fenomena yang dulu dianggap aib, kini dinormalisasi dengan dalih cinta, efisiensi biaya, atau “uji coba” sebelum menikah. 

Psikolog Virginia Hanny bahkan menyebutkan, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan sebelum kohabitasi: harus sama-sama rela, menentukan lokasi tinggal, dan menyepakati tujuan bersama. (Validnews, 2025) 

Pandangan seperti ini seolah menempatkan kohabitasi sebagai pilihan hidup yang normal, tanpa sedikit pun menyinggung dampak moral, psikologis, maupun sosialnya. Padahal, kasus tragis mutilasi ini bukanlah insiden pertama. Pacaran dan kohabitasi sudah berkali-kali berujung pada kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. 

Fenomena Kohabitasi di Barat dan Dampaknya 

Tren kohabitasi sebenarnya bukan lahir dari masyarakat Timur, tetapi dari Barat yang sejak lama melepaskan agama dari kehidupan (sekularisme). Data menunjukkan bahwa kohabitasi meningkat drastis di Barat. Di Amerika Serikat, menurut Pew Research Center (2019), 59% orang dewasa berusia 18–44 tahun pernah hidup bersama tanpa menikah, sementara hanya 50% yang menikah. Di Eropa, data Eurostat (2022) menunjukkan lebih dari 40% anak lahir di luar nikah, sebagian besar dari pasangan kohabitasi. Bahkan di Kanada, 21% pasangan pada 2021 adalah kohabitasi, angka yang terus meningkat sejak 1980-an. 

Dampaknya jelas terlihat. Angka perceraian meningkat, anak-anak tumbuh tanpa figur ayah, pelecehan seksual dalam keluarga non-pernikahan kian marak, dan krisis komitmen dalam hubungan menjadi hal yang biasa. Kohabitasi membuat pernikahan dianggap tidak lagi penting, dan hubungan menjadi rapuh karena tidak dilandasi ikatan yang kuat. 

Fenomena ini kini menular ke dunia muslim, termasuk Indonesia. Kohabitasi dipromosikan melalui film, serial, media sosial, hingga artikel psikologi populer. Perlahan, generasi muda muslim mulai melihatnya sebagai “pilihan hidup modern”. Padahal, ini adalah bom waktu yang menghancurkan generasi. 

Pacaran dan Kohabitasi: Jalan Terjal Menuju Kekerasan 

Kasus mutilasi Surabaya hanyalah salah satu dari sekian banyak tragedi akibat pacaran dan kohabitasi. Menurut catatan Komnas Perempuan (2022), kekerasan berbasis pacaran menempati posisi tinggi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Bentuknya beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga ekonomi. 

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga menyebutkan, lebih dari dua ribu kasus kekerasan dalam pacaran dilaporkan dalam setahun terakhir, dan jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih besar karena banyak yang tidak melapor. 

Pacaran memang sering dimulai dengan janji manis. Namun tanpa ikatan tanggung jawab yang jelas, hubungan itu rapuh. Konflik yang muncul—cemburu, masalah ekonomi, atau perbedaan keinginan—sering kali berakhir dengan kekerasan. Dan ketika pacaran berubah menjadi kohabitasi, situasi semakin parah. Konflik rumah tangga dijalani tanpa payung hukum, tanpa komitmen, dan tanpa perlindungan sosial. 

Selain berpotensi menimbulkan kekerasan, pacaran dan kohabitasi membawa dampak buruk lain. Tidak sedikit kasus kehamilan di luar nikah yang berujung pada aborsi ilegal. Banyak pula korban yang mengalami trauma psikologis mendalam akibat kekerasan dan pengkhianatan. Penyakit menular seksual menyebar akibat hubungan bebas, sementara keluarga hancur karena anak-anak lahir tanpa ikatan yang sah. 

Sekularisme Biang Kerok 

Mengapa pacaran dan kohabitasi begitu marak? Jawabannya ada pada ideologi sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam paradigma sekuler-liberal, manusia dianggap bebas melakukan apa saja selama “suka sama suka”. Halal-haram tidak lagi jadi pertimbangan. 

Normalisasi pacaran dan kohabitasi adalah buah racun sekularisme. Media menampilkan pasangan pacaran atau tinggal serumah sebagai sesuatu yang wajar. Negara pun tidak menganggapnya kriminal, kecuali ada korban fisik. Padahal, dalam Islam, zina dan seluruh jalan yang mengantarnya adalah haram mutlak, baik ada korban langsung maupun tidak. 

Islam: Jalan ke Luar dari Liberalisasi Pergaulan 

Islam hadir dengan solusi yang paripurna, bukan sekadar melarang, tetapi juga membangun sistem kehidupan yang menjaga manusia dari kerusakan. Solusi ini bergerak pada tiga level: individu, masyarakat, dan negara. 

Pada level individu, Islam menanamkan ketakwaan sebagai benteng utama. Seorang muslim dididik untuk sadar bahwa hidupnya adalah ibadah. Ia tidak akan mendekati zina, karena Allah sudah mengingatkan: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk(QS. Al-Isra: 32). Dengan kesadaran ini, seorang muslim akan menahan diri dari pacaran, kohabitasi, maupun segala bentuk pergaulan bebas. 

Pada level masyarakat, Islam mewajibkan kontrol sosial melalui amar makruf nahi mungkar. Masyarakat Islami bukanlah masyarakat yang diam ketika melihat pacaran atau kohabitasi, apalagi menganggapnya hal biasa. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim). Dengan budaya saling mengingatkan, masyarakat akan terjaga dari kerusakan. 

Dan pada level negara, peran penguasa sangatlah krusial. Negara tidak boleh netral dalam urusan moral. Sistem pendidikan harus berbasis akidah Islam, menanamkan sejak dini tentang pentingnya menjaga kehormatan dan mulianya ikatan pernikahan. Sistem pergaulan harus sesuai syariat, dengan aturan jelas tentang interaksi laki-laki dan perempuan, melarang khalwat, ikhtilat bebas, serta hubungan tanpa pernikahan. Negara juga harus menegakkan sanksi tegas bagi pelaku zina dan kriminalitas seksual, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Tegakkanlah hukum Allah terhadap kerabatmu dan terhadap orang lain, dan janganlah rasa belas kasihan menghalangimu dalam melaksanakannya” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Islam bahkan menyediakan jalan halal bagi fitrah manusia, yaitu pernikahan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah maka menikahlah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi perisai baginya (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan pernikahan, cinta tersalurkan secara halal, terikat tanggung jawab, dan membawa ketenangan. 

Semua ini hanya mungkin terwujud jika umat Islam sadar bahwa meniru gaya hidup Barat hanya akan membawa kehancuran. Allah memperingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah Kami berikan kenikmatan kepada mereka dari kehidupan dunia, kemudian Kami lalaikan mereka dari Al-Qur’an, dan mereka hanyalah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Kahfi: 28). Maka, kembali kepada Islam kaffah adalah satu-satunya jalan menyelamatkan generasi dari jebakan pacaran, kohabitasi, dan tragedi-tragedi yang lahir darinya. 

Penutup 

Kasus mutilasi di Surabaya hanyalah puncak gunung es dari dampak buruk pacaran dan kohabitasi. Selama masyarakat masih dibius sekularisme dan negara abai terhadap penjagaan moral, tragedi serupa akan terus berulang. 

Islam telah menyediakan solusi sempurna: individu bertakwa, masyarakat peduli, dan negara menerapkan syariat. Dengan sistem inilah generasi muda dapat diselamatkan dari jebakan pergaulan bebas. 

Sudah saatnya umat Islam berhenti mengagumi gaya hidup Barat, lalu kembali membangun peradaban dengan aturan Allah. Hanya Islam yang mampu menuntun manusia kepada kemuliaan, menjaga kehormatan, dan menjamin keselamatan hidup di dunia sekaligus akhirat.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)