![]() |
| Sumber Ilustrasi : iStock. |
Oleh : Rika Lestari Sinaga, Amd
Dalam rangka
memperkuat pondasi keluarga dan menekan angka perceraian yang terus meningkat,
Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag) meluncurkan program inovatif bernama “Tepuk Sakinah”. Program
ini menjadi salah satu strategi baru dalam Bimbingan Perkawinan (Bimwin) bagi
calon pengantin. Dengan pendekatan yang sederhana namun efektif, Tepuk Sakinah
menggabungkan unsur edukasi dan partisipasi aktif melalui gerakan tepuk tangan
dan yel-yel yang mudah diingat.
Menurut data Kemenag, angka perceraian di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan tren peningkatan yang cukup signifikan. Faktor-faktor
seperti kurangnya komunikasi, lemahnya komitmen, persoalan ekonomi, serta
minimnya pemahaman tentang dinamika rumah tangga menjadi penyebab retaknya
rumah tangga muda. Karena itu, Kemenag menilai perlunya inovasi dalam
memberikan pemahaman pra-nikah yang tidak sekedar bersifat teoritis, melainkan
juga menyentuh sisi emosional dan mudah dicerna masyarakat.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa program Tepuk Sakinah bukan
sekadar kegiatan seremonial atau hiburan, melainkan strategi serius untuk
memperkuat ketahanan keluarga. Program ini diharapkan menjadi jawaban terhadap
persoalan tingginya angka perceraian, terutama pada pasangan usia muda yang
menikah dalam kondisi kurang matang secara emosional dan pengetahuan rumah
tangga.
Pro-kontra di Masyarakat
Berbagai KUA di seluruh Indonesia telah mulai mengimplementasikan Tepuk
Sakinah dalam Bimwin mereka. Respons peserta umumnya sangat positif. Banyak
yang mengaku metode ini membuat suasana lebih hidup dan mudah dipahami
dibandingkan hanya mendengarkan ceramah panjang.
Seorang peserta Bimwin di KUA Medan mengatakan, “Awalnya saya kira
bimbingan nikah itu hanya ceramah biasa, ternyata ada Tepuk Sakinah yang seru.
Jadi saya bisa ingat lima pilar keluarga sakinah dengan mudah. Rasanya seperti
ikut kegiatan motivasi, bukan kelas yang membosankan.”
Para penghulu dan penyuluh agama juga merasa terbantu. Dengan adanya metode
ini, mereka memiliki alat bantu praktis untuk menyampaikan pesan penting secara
efektif. Banyak KUA yang kemudian menjadikan Tepuk Sakinah sebagai bagian tetap
dari sesi pembukaan atau penutup kegiatan bimbingan.
Namun beberapa pihak menilai yel-yel di KUA itu sekadar gimmick yang tak
menyentuh akar masalah rumah tangga. Sejumlah akademisi, praktisi bimbingan
perkawinan, legislator, dan warganet mengkritik bentuk penyampaian yang terlalu
ringan dan berisiko menjadi simbolisme semata yang tidak mampu menekan masalah
serius seperti konflik ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan masalah
kesehatan mental.
Beberapa legislator dan pengamat publik mengingatkan bahwa penerimaan
public beragam; ada kalangan yang menganggap metode ini “kekanak-kanakan” dan
tidak relevan untuk generasi muda yang mengharapkan pendekatan lebih reflektif
dan berbasis bukti. Kritik ini diperkuat oleh viralnya video-video yang lebih
menonjolkan aspek hiburan ketimbang substansi edukatif, sehingga potensi pesan
inti jadi kabur.
Akar Permasalahan
Kasus perceraian yang kian marak saat ini tentu menjadi pertanyaan yang
besar dikalangan masyarakat. Sehingga pemerintah perlu mengambil langkah besar
untuk mencegah fenomena ini terus terjadi. Namun hendaknya solusi yang
diberikan bukan hanya dari pihak yang bersangkutan saja. Yaitu pihak istri atau
suami. Banyak faktor yang menjadi penyebab melonjaknya kasus perceraian di
tengah masyarakat saat ini.
Menurut data yang berasal dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah
Agung untuk tahun 2024 adalah sebanyak 446.359 kasus perceraian dari 1.478.424
pencatatan nikah. Maka jika dipresentasekan sekitar 32% terjadi perceraian pada
tahun 2024. Penyebab perceraian tertinggi adalah perselisihan/pertengkaran
terus menerus dan faktor ekonomi.
Menyangkut perihal pernikahan, dalam sistem pemerintahan yang berbasis
kapitalisme sekuler saat ini, perkara nikah adalah urusan pribadi individu
masing-masing. Negara berlepas tangan dan tidak turut andil dalam memberikan
kenyaman dan keamanan dalam perkara nikah tersebut. Jikapun ada perhatian dari
Negara, hanya sebatas teori filosofi pernikahan yang diberikan saat menjelang
pernikahan. Makna nikah itu sendiri pun sering ternodai dengan
aktivitas-aktivitas maksiat dan pergaulan bebas yang terus terjadi. Sehingga,
landasan pernikahan yang terjadi bukan karena perihal ibadah, namun karena
keadaan yang menjadikan pernikahan dengan alasan terpaksa.
Persepsi bahwa nikah urusan pribadi haruslah dibuang jauh-jauh. Karena
berumah tangga dalam bingkai pernikahan juga sangat memerlukan aturan dan
perhatian dari negara. Agar nilai pernikahan tersebut menjadi nilai ibadah yang
mendatangkan ridho Allah SWT. Namun, hal tersebut tidak akan kita dapati jika
kita masih berada di dalam sistem kapitalis sekuler seperti saat ini. Sistem ini
justru menjadi penyebab utama rapuhnya pondasi sebuah pernikahan.
Menikah akibat hamil diluar nikah, menikah karena pemerkosaan, menikah
karena perselingkuhan, dan banyak lagi alasan-alasan menikah yang bukan
berlandaskan ibadah. Sehingga, jika terjadi banyaknya kasus perceraian adalah
sesuatu hal yang pasti adanya.
Pernikahan Dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam (Khilafah), pernikahan (nikah) diposisikan sebagai ibadah dan akad hukum yang sah, bukan sekedar kontrak sosial atau budaya. Landasannya ada di dalam Al-Qur’an ;
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan..” [TQS. An Nur : 32].
Maka, dalam Sistem Islam, hukum-hukum pernikahan
dijalankan secara penuh berdasarkan Syariat Islam, bukan hukum sekuler atau
kompromi adat lokal yang bertentangan dengan Islam.
Tujuan
pernikahan bukan hanya membentuk keluarga Bahagia secara emosional, tetapi juga
bagian dari tatanan sosial Islam. Yang pertama adalah merealisasikan ketenangan
(Sakinah). Kedua, menjaga kehormatan dan keturunan. Ketiga, membentuk
masyarakat yang kuat dan taat syariat. Keempat, menjalankan sunnah Rasulullah
SAW.
Untuk
mendapatkan nilai pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam, maka dibutuhkan
peran Negara. Dalam sistem
Islam, Negara bukan hanya pencatat pernikahan, tetapi pengawal moral dan sosial
keluarga. Peran ini meliputi :
1. Pendidikan pra-nikah berbasis syariah; calon suami-istri diberi bekal ilmu fiqih munakahat (hukum keluarga), tanggung jawab rumah tangga, dan adab berumah tangga. Tidak sekedar “tepuk-tepukan” atau program simbolik, tetapi pendidikan mendalam dan wajib.
2. Penegakan
hukum terhadapan pelanggaran. Perbuatan zina, pergaulan bebas, atau hubungan diluar nikah
ditegakkan hukumnya sesuai dengan sanksi syar’i. Hal ini untuk menjaga agar
pernikahan tetap menjadi satu-satunya jalan sah membentuk keluarga.
3. Penyelesaian
konflik rumah tangga melalui Qodhi Hisbah. Negara menyediakan lembaga peradilan
syariah untuk menyelesaikan konflik keluarga dengan cepat, adil, dan sesuai
hukum Allah, bukan dengan sistem mediasi sekuler yang relativistik.
4. Jaminan
sosial untuk keluarga. Negara Islam wajib memastikan kebutuhan dasar rakyat
terpenuhi; sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan. Ini sangat penting untuk mengurangi perceraian
akibat faktor ekonomi, yang di Indonesia modern sering menjadi penyebab kedua
tertinggi.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam sistem Islam, pernikahan bukan hanya urusan pribadi, tapi pondasi bangunan masyarakat Islam. Dan Negara Islam menjalankan peran aktifnya yaitu mendidik masyarakat dengan hukum Islam, mengawasi pelaksanaan akad sesuai syariat, menegakkan hukum terhadap penyimpangan, menjamin kebutuhan hidup keluarga, serta melindungi nasab dan kehormatan rakyatnya.
Wallahu’alam bishshowwab.
------
Editor : Vindy Maramis
