Agar Tak Ada Lagi Remaja yang Menangis Diam-Diam: Menghapus Perundungan dari Hidup Mereka

Lulu nugroho
0


Ilustrasi Pinterest
Oleh Nadisah Khairiyah



Beritakan.my.id, Opini_ Ada sesuatu yang membuat dada kita sesak saat membaca berita tentang anak-anak yang menjadi korban perundungan.
Seolah kita bisa membayangkan wajah mereka. ketakutan mereka dan sunyi yang mereka simpan sendirian.

Angka-angka dari KPAI sepanjang 2024–2025 bukan sekadar statistik.
Itu adalah cerita tentang:
anak yang pulang dengan bibir pecah, anak yang menahan tangis di kamar, anak yang mendadak murung, bahkan ada yang kehilangan harapan hidupnya. Dan hati kita sebagai orang tua, pendidik dan sesama manusia ikut retak.

Realitas di sekolah pun tak lebih ringan.
Lebih dari seperempat siswa Indonesia pernah mengalami bullying.Fisik, verbal, hingga cyberbullying yang naik lebih dari 100% hanya dalam tiga bulan. Mirisnya, kadang kasus ini ditutup-tutupi demi “nama baik sekolah”.
Padahal satu ejekan saja sudah cukup untuk mengguncangkan hati seorang anak—cukup untuk menggetarkan Arasy-Nya.

Mengapa anak-anak kita mudah tersakiti hari ini?
Karena dunia mereka sedang bising. Rumah kehilangan percakapan hangat. Ayah dan ibu pulang dengan lelah yang tak sempat diurai. Anak lebih banyak ditemani layar daripada pelukan.
Di luar rumah, mereka masuk ke ruang pertemanan yang kompetitif.
Tak lucu → tersisih.
Tak keren → ditinggalkan.
Tak kuat → jadi sasaran.
Di media sosial, ejekan jadi hiburan. Kekerasan jadi konten. Kita perlahan hidup di zaman ketika menyakiti dianggap “biasa”. Maka wajar jika empati menipis,dan luka anak-anak semakin dalam.
Islam: Mengembalikan Kemanusiaan Kita
Islam tidak membiarkan satu jiwa pun diremehkan.

Allah berfirman:
Janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain.” (TQS al-Hujurat: 11)

Sederhana, tapi sangat dalam.
Merendahkan orang lain itu haram.
Bukan sekadar “tidak baik”. Bukan hanya “tidak sopan”. Tapi haram. Karena Allah tahu satu ejekan kecil saja dapat merusak hati seorang anak.  
  
Rasulullah memuliakan manusia tanpa melihat rupa, fisik status atau keturunan. Jika akhlak ini hidup di rumah, sekolah atau masyarakat, maka bullying akan padam dengan sendirinya.


Tiga Ruang yang harus Kita Perbaiki Bersama

1. Rumah yang memeluk, bukan menghakimi
Allah berfirman:
Peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (TQS at-Tahrim: 6)
Perintah ini adalah panggilan lembut:
Jaga hati anakmu. Peluk ia sebelum dunia menyakitinya.
Anak yang mendapatkan cinta di rumah, tidak akan menumbuhkan kekerasan pada orang lain.

2. Sekolah sebagai pembentuk Syakhshiyyah Islamiyyah
Sekolah adalah miniatur kehidupan.
Di sana anak belajar bersosialisasi, mengelola konflik, memahami diri, dan menghadapi tekanan.
Pendidikan Islam bukan sekadar mengajarkan adab—tetapi juga menumbuhkan kecerdasan emosi.
Banyak bullying lahir dari emosi yang tidak terkelola:
anak cepat tersinggung, anak butuh pengakuan,
anak ingin dianggap hebat, anak menyimpan luka dari rumah, anak merasa terancam.
Islam menyembuhkan dari akarnya.

Kecerdasan Emosi dalam Perspektif Islam:

a. Menyadarkan nilai diri di hadapan Allah
Saat anak tahu bahwa kemuliaan bukan pada wajah, body, popularitas, atau barang branded
melainkan pada takwa
ia tidak perlu merendahkan orang lain untuk merasa berharga. Ini fondasi stabilitas emosinya.

b. Mengajarkan kontrol diri (mujahadah an-nafs)
Rasulullah ï·º bersabda:
“Bukanlah orang kuat itu yang menang bergulat, tetapi yang mampu menahan marah.”
Kontrol emosi adalah akhlak besar.
Sekolah Islami membiasakan anak mengenali emosinya, menenangkan diri, dan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.

c. Melatih empati dan kepedulian
Empati adalah obat terbaik untuk bullying.
Anak yang penuh empati tidak akan tega menyakiti, mempermalukan, atau merendahkan temannya.

Lingkungan Sekolah yang Menumbuhkan Emosi Sehat:

Sekolah berbasis nilai Islam otomatis membentuk emosi anak:
• guru menjadi teladan ketenangan dan kasih sayang,
• pergaulan dipantau agar tak ada “predator sosial”,
• konflik diselesaikan dengan dialog,
• budaya meminta maaf dan memaafkan hidup,
• akhlak menjadi suasana, bukan teori.
Anak-anak pun belajar bahwa kebaikan bukan kelemahan,
justru kekuatan.

3. Negara yang benar-benar melindungi jiwa

Dalam Islam, jiwa manusia sangat mahal.
Janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan.” (TQS al-Isra’: 33)
Bullying yang menyebabkan depresi, trauma, atau kematian adalah kezaliman besar.
Negara wajib mengatur media, mengawasi sekolah, membangun kurikulum Islam, dan menindak pelaku dengan adil.


Akar Masalah: Ketika Dunia Dijalankan Tanpa Allah

Kapitalisme-sekularisme menghasilkan generasi yang berlomba menjadi “yang paling kuat”.
Popularitas, fisik, kekayaan menjadi standar hidup.
Tak heran yang lemah dihina, yang berbeda ditertawakan, yang rapuh menjadi sasaran.

Padahal Allah berfirman:
Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (TQS al-Hujurat: 13)
Islam datang untuk memulihkan martabat manusia.


Saatnya Umat Berani Berubah

Anak-anak butuh: rumah yang memeluk, sekolah yang memanusiakan, dan negara yang melindungi.
Semua itu hanya mungkin terwujud dengan syariah yang diterapkan secara kaffah.
Sistem yang menjaga jiwa, menuntun pergaulan, mengarahkan media, dan menumbuhkan akhlak.
Sistem yang membuat anak tumbuh kuat tanpa harus menyakiti, tumbuh percaya diri tanpa harus merendahkan, tumbuh menjadi generasi yang mulia.


Mari Kita Mulai dari Hari ini

Bullying bukan fenomena kecil.
Ia adalah luka sosial yang harus kita sembuhkan bersama. Jika kita ingin anak-anak hidup di dunia yang aman, kembalilah kepada aturan Allah.
Karena hanya dengan syariah-Nya, kita bisa mencetak generasi yang terlindungi, tumbuh, dan bersinar. Semoga Allah menjaga anak-anak kita.
Semoga Allah kuatkan kita untuk melindungi mereka dengan cara yang benar.

Hikmah
Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah di antara mereka dan bertakwalah kepada Allah agar kalian dirahmati.” (TQS al-Hujurat: 10)
Ùˆ الله اعلم بالصواب 

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)