![]() |
Ilustrasi: Mental Health Issue. Sumber: iStock |
Oleh : Nur Karimah Syah Putri
Bunuh diri belakangan ini dianggap sebagai solusi keluar dari permasalahan hidup. Jika dahulu kita mengenal Korea Selatan dan Jepang sebagai negara yang memiliki angka bunuh diri tinggi, kini Indonesia mulai mengikuti jejak kelam perihal kasus bunuh diri.
Data Pusat Informasi Kriminal Indonesia (Pusiknas) Polri, mencatat terdapat 451 kasus bunuh diri pada periode Januari sampai Mei 2023. Jika dirata-rata, setidaknya ada tiga orang bunuh diri setiap harinya. Bahkan kecenderungan menyakiti diri dan mencoba bunuh diri di kalangan remaja juga meningkat. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, sepanjang 2023 terdapat 17 kasus anak bunuh diri.
Secara nasional, Provinsi Bali menduduki peringkat pertama angka bunuh diri. Data Pusat Informasi Kriminal Indonesia (Pusiknas) Polri menyebut laporan kasus bunuh diri di Bali sepanjang 2023 angkanya mencapai 135 kasus. Daerah Istimewa Yogyakarta menempati peringkat kedua jumlah tingkat kasus bunuh diri, dengan angka suicide rate sebesar 1,58.
Contohnya pada Maret 2023, di Bantul, Yogyakarta, seorang pria ditemukan tewas tergantung di langit-langit Mushola. Kemudian di Tanah Datar, Sumatra Utara. Seorang pemuda berusia 18 tahun nekat gantung diri lantaran minta dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya yang secara ekonomi belum mampu memenuhinya. Juli 2023 seorang guru di Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut,melakukan bunuh diri karena diduga mengalami persoalan keluarga.
Kasus-kasus diatas merupakan fakta miris bahwa bunuh diri menjadi tren dan solusi instan dalam menyelesaikan persoalan hidup. Mengapa tren bunuh diri ini kian meningkat?
Menanggapi hal ini, pemerintah Provinsi Bali mengajak masyarakat berperan dalam menurunkan angka bunuh diri. Salah satunya mengedukasi keluarga agar meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota keluarga. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Polres Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Mereka mengumpulkan tokoh-tokoh agama dan instansi terkait untuk melakukan koordinasi tehadap fenomena bunuh diri yang meningkat di wilayah tersebut.
Mungkin masih bisa kita katakan hal ini adalah masalah individu, jika kasus bunuh diri terjadi hanya satu atau dua kali. Namun, angka kasus ini bukan lagi satuan tetapi sudah ratusan kasus, hal ini bukan lagi sekadar fenomena biasa. Peningkatan angka bunuh diri sungguh menggambarkan betapa buruk dan lemahnya mental masyarakat yang terbentuk.
Lalu mengapa bisa terjadi mental yang lemah?. Ini karena pandangan hidup sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Dampaknya, masyarakat mengalami krisis keimanan serta krisis identitas sebagai seorang hamba yang membuat mereka mudah goyah, mementingkan nafsu sesaat, mudah tersulut emosi, hingga pikiran kalut.
Tidak hanya itu, tren bunuh diri juga dipengaruhi faktor lainnya, yaitu pengaruh ideologi kapitalisme yang memandang visi kehidupan secara materialistis. Standar kebahagiaan diukur dengan kepemilikan materi semata.
Jelas, lemahnya mental akibat krisis iman yang membuat seseorang juga lemah dalam beribadah. Kehidupan yang serba materialistis dan kapitalistik membuat daya pikir lemah menjadikan seseorang lebih memilih jalan instan ketimbang mencari jalan keluar dari masalah. Di sisi lain, sistem pendidikan sekuler gagal membentuk karakter dan kepribadian yang kuat.
Sedangkan fungsi negara dalam Islam adalah melayani dan mengurusi kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Salah satunya yaitu menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan ini diselenggarakan untuk membentuk kepribadian Islam pada diri generasi. Sistem pendidikan Islam akan mewujudkan generasi yang mempunyai pola pikir dan pola sikap yang sesuai tuntunan Islam. Dengan pola ini, generasi akan terdorong menjadi problem solver dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Allahua'lam.
_Editor: Vindy Maramis_