![]() |
Kecanduan game, sumber: pixabay |
WHO telah menetapkan kecanduan game online atau game disorder ke dalam versi terbaru International Statistical Classification of Diseases (ICD) sebagai penyakit gangguan mental (mental disorder). Dalam versi terbaru ICD-11, WHO menyebut bahwa kecanduan game merupakan _disorders due to addictive behavior_ atau gangguan yang disebabkan oleh kebiasaan atau kecanduan.
American Psychiatric Association (APA) selaku yang mengeluarkan DSM-5 mendefinisikan Internet Gaming Disorder (IGD) dengan keterlibatan terus-menerus dan berulang dengan videogame, sering menyebabkan gangguan yang signifikan dari kegiatan sehari-hari, pekerjaan dan/atau pendidikan. Meskipun Beberapa ahli menyebut definisi tersebut terlihat kabur karena terkait erat dengan definisi gangguan perjudian (gambling disorder).
Paradoksnya, meskipun dianggap sebagai sebuah abnormalitas, game online tetap eksis bahkan makin viral. Laporan The Nielson Company menginformasikan kepada bahwa pasar game meningkat 12% dari tahun ke tahun. Tahun 2020 merupakan tahun ketika pasar game terbentuk akibat dampak nyata pembatasan aktivitas manusia dengan adanya COVID-19. Pada saat itu industri lainnya mengalami penurunan, industri seluler malah mengalami peningkatan 10%. Sekitar 58% permainan game pada 2020 digunakan menggunakan perangkat smartphone.
Menurut Dr Kristiana Siste Kurniasanti dari FK UI seperti dikutip dari ABC.net, di Jakarta, Jumat (14/6/2019) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya pada 2018 lalu menyimpulkan sekitar 14% remaja berstatus pelajar SMP dan SMA di ibukota saja mengalami kecanduan internet. Dua aktivitas di internet yang terbanyak dilakukan adalah bermain media sosial dan bermain game online. Menurutnya data ini termasuk tinggi yah, ini di ibukota saja sekitar 14% anak remaja kecanduan internet berupa bermain di media sosial dan game online. Bahkan jika dibandingkan dengan Korea Selatan saja angka prevalensi adiksi gamenya 12%. Jadi kita kayaknya sudah sama dengan Korea Selatan, padahal negara tersebut termasuk salah satu negara yang tertinggi kecanduan gamenya di dunia.
Game Online Justru Disuburkan
Jumlah gamers di Indonesia sekitar 100 juta dengan pertumbuhan pendapatan Rp 40 triliun, yang terus meningkat. Game online semakin banyak digandrungi karena iming-iming penghasilan yang dihasilkan darinya. Penghasilan dari game online bisa diperoleh dengan permainan biasa ataupun dengan memenangkan kompetisi resmi yang diselenggarakan oleh pihak tertentu.
Alih alih melakukan langkah antisipasi, beberapa pihak justru menganggap game online ini sebagai hal yang positif. Hal mana menjadi ciri khas paradigma kapitalisme, Yakni selama sesuatu menghasilkan cuan, selama itu pula hal itu menjadi hal yang dianggap baik. Di antaranya mereka mengaitkan antara permainan game online dengan penghasilan subjek maupun obyeknya. Disebut sebut bahwa di tataran dunia, pendapatan total mobile gaming mencapai 90 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.300 triliun, tumbuh dari tahun 2019 yang prize pool-nya sebesar 33,3 miliar dollar AS (Rp 499 triliun), sebagian disumbang China yang punya 742 juta gamers.
Di Indonesia dengan 100 juta gamer, Pada 2019 baru mencapai penghasilan 1,33 miliar dolar AS (Rp 20 triliun), lalu mendaki tahun 2020 sebesar 1,76 miliar dolar AS (Rp 26,4 triliun), tahun lalu tembus 1,96 miliar dolar (Rp 29,4 triliun). Sebesar 80 persen dari pendapatan sebesar itu disumbang mobile game. Game berbasis komputer (PC Game) sebesar 17 persen dan game dari konsol paling kecil 3 persen.
Efek Kerusakan Otak
Dampak seseorang yang mengalami kecanduan terhadap video atau permainan berbasis internet (game online) sangat besar. Menurut para ahli, seseorang yang mengalami adiksi, di samping mengalami keluhan secara fisik juga mengalami perubahan struktur dan fungsi otak. Struktur dan fungsi otaknya mengalami perubahan. Jadi, kalau dilihat otaknya pake MRI, ada perubahan di bagian otak pre-frontal cortex.
Gangguan pada bagian otak tersebut mengakibatkan orang yang mengalami suatu ketergantungan atau kecanduan kehilangan beberapa kemampuan/fungsi otaknya, antara lain fungsi atensi (memusatkan perhatian terhadap sesuatu hal), fungsi eksekutif (merencanakan dan melakukan tindakan) dan fungsi inhibisi (kemampuan untuk membatasi).
Adanya perubahan otak membuat dirinya sulit mengendalikan perilaku impulsif, seperti menjadi susah menunda keinginan. Biasanya orang yang kecanduan video/game online kehilangan fokus saat mengerjakan sesuatu sehingga berdampak pada prestasi dan produktivitasnya. Emosi yang tidak stabil juga seringkali berdampak buruk pada hubungan relasinya. Sehingga sebagian besar para pecandu video/game online menunjukkan sikap yang anti-sosial.
Solusi Fundamental dengan Paradigma Islam
Berbeda dengan kapitalisme, Islam mengatur perilaku meskipun perilaku yang hanya berimbas pada diri sendiri. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
"Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari).
Meskipun demikian, Islam juga mengatur perilaku terhadap diri sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Tidak boleh menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang lain”. (HR Ibnu Majah).
Dalam hadits Arba’in karya Imam An-Nawawi, dibahas mengenai keislaman seseorang yang baik. Indikatornya adalah meninggalkan apa yang tak bermanfaat atau berguna baginya. Sabda Rasulullah:
“Di antara yang termasuk bagusnya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tak berguna (bermanfaat) baginya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat yang bernama Abu Hurairah atau Abdurrahman bin Shakhrin. Sahabat mulia yang paling banyak meriwayatkan hadits. Perawi haditsnya adalah Tirmidizi, Ahmad, Ibnu Majah, Malik, Ibnu Hibban dan masih banyak yang lainnya. Secara hukum hadits ini shahih dan bisa diamalkan.
Dari dalil di atas, jelas bahwa game online yang menyebabkan kecanduan adalah sebuah bahaya yang wajib dijauhi oleh generasi muda dengan semakin dekat dengan Islam. Dengan kata lain dengan menjadi insan bertakwa.
Negara Adalah Kunci
Dalam Islam, negara merupakan salah satu pilar kebaikan individu. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks kecanduan game, Negara lah yang bertanggung jawab melakukan serangkaian aktivitas skala besar yang meminimalisir kerusakan akibat game online. Negara menerapkan sistem pendidikan yang mencetak individu berkepribadian mulia. Negara dalam perspektif Islam memfokuskan pendidikan untuk membaguskan akhlak dan ilmu, bukan mencetak individu kapitalistik yang menjadi pekerjaan dalam dunia ekonomi seperti paradigma negara sekarang. Negara lalu menerapkan sistem sosial yang sehat dan jauh dari akses terhadap game yang berlebihan.
Dari sisi hukum, negara dalam perspektif Islam memiliki pandangan yang khas mengenai baik buruknya sebuah perbuatan. Terkadang Hukum positif menunggu efek negatif baru sesuatu itu disebut buruk. Sedangkan dalam Islam sesuatu yang jelas bertentangan dengan dalil pastilah buruk. Bahkan ada kaidah fiqih masyhur _Adh-Dharar yuzalu_ yang bermakna segala bahaya harus dihilangkan. Dengan demikian negara akan menerapkan hukuman yang ketat dalam hal game online dari hukum hingga hilir.
Negara dalam paradigma Islam juga akan menyaring sumber penghasilan yang sehat bagi dirinya dan warga negara nya agar sesuai syariah dan tidak memiliki ekses negatif. Penghasilan dari game online yang menyebabkan kecanduan akan dihapuskan. _Toh_, negara masih memiliki banyak sumber pendapatan melimpah jika dikelola dengan baik dan adil.
Sayangnya, negara yang serius melakukan hal tersebut hanyalah negara yang mengadopsi Islam sebagai ideologinya. Sebagaimana yang dilaksanakan pada masa Khulafaur Rasyidin dan generasi setelahnya dalam sistem Khilafah. Negara yang seperti ini tidak akan menyerahkan nasib kerusakan generasi kepada industri game online demi meraup keuntungan yang tiada seberapa. []
Penulis: dr. Salman Fhar (Mufakkirun Siyasiyyun Community)
Editor: Mehmet Fadli