![]() |
Oleh Reni Rosmawati
Pengamat Kebijakan Publik dan Tim Media Beritanusaindo
“Ya Allah, barang siapa yang mengurus urusan umatku lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan barang siapa yang mengurus urusan umatku lalu dia mengasihi mereka maka kasihilah dia.” (HR. Muslim)
Beritanusaindo.my.id - OPINI - Belum lama ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah memperpanjang kembali relaksasi harga acuan pemerintah (HAP) untuk gula konsumsi dari harga Rp15.500 per kilogram menjadi Rp17.500 per kilogram hingga waktu yang tidak ditentukan. Menurut Kepala Bapanas, Arif Prasetyo Adi, HAP ini akan diperpanjang hingga terbit Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) baru terkait HAP gula konsumsi. Namun, Perbadan sendiri belum pasti kapan akan diterbitkan karena masih dilakukan harmonisasi antar kementerian/lembaga. (Tirto.id, 30/06/2024)
Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa pihaknya mengusulkan relaksasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng ‘MinyaKita’ naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter. Adapun alasan usulan relaksasi ini karena HET Rp14.000 dianggap tidak sesuai dengan biaya produksi yang terus berubah. (AntaraNews, 28/06/2024)
Baca juga: Marak Anak Durhaka, Pertanda Apa?
Untuk Kepentingan Siapa
Minyak dan gula adalah bagian dari sembako yang merupakan kebutuhan pokok rakyat. Sayangnya, negara membuat rakyat makin sulit mengakses bahan pokok tersebut. Sungguh memilukan, apalagi hal ini terjadi di tengah kesulitan ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat akibat maraknya PHK massal serta pengangguran di mana-mana.
Tentu, kenaikan HET ‘MinyaKita’ dan relaksasi harga gula akan akan semakin menambah beban rakyat terutama para pedagang kecil. Dengan harga sebelumnya saja, tidak semua rakyat bisa memenuhi kebutuhan minyak dan gula, para pedagang kecil tergopoh-gopoh mengeluarkan modal untuk usaha. Apalagi setelah dinaikkan harganya, rakyat akan semakin kesulitan dan terbebani. Sayangnya, hal ini seolah tidak menjadi pertimbangan pemerintah. Kebijakan menaikkan HET ‘MinyaKita’ dan relaksasi harga gula terus dilakukan. Sehingga adanya HET juga nyatanya tidak berguna, karena selama relaksasi terus dilakukan, maka akan membuat HET tak ada artinya.
Baca juga: AIDS Penyakit Berbahaya, Butuh Solusi yang Paripurna
Apabila diteliti, kebijakan pemerintah menaikkan HET ‘MinyaKita’ dan relaksasi harga gula memunculkan dugaan ada kepentingan pihak-pihak tertentu yang dibela pemerintah. Dalam hal ini tiada lain adalah para pengusaha. Alasan menaikkan HET ‘MinyaKita’ karena biaya produksi terus mengalami perubahan menjadi bukti akan hal ini.
Di sisi lain, ini juga adalah pertanda ketidakseriusan pemerintah memperbaiki ketahanan pangan secara nasional. Karena jika pemerintah serius menangani ketahan pangan, maka akan melakukan opsi lain selain menaikkan harga. Seperti menggalakkan swasembada pangan dengan membuka perluasan lahan pertanian baru yang didukung sarana dan prasarana produksi memadai bagi para petani tebu dan sawit lokal, memberi modal, menyediakan bibit unggul, pupuk, dan lainnya. Juga menyokong dan memberikan modal kepada pabrik-pabrik lokal dalam negeri untuk berproduksi. Serta menghentikan berbagai kebijakan impor. Sayangnya sampai hari ini hal demikian belum dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah lebih memilih menaikan harga, bahkan mengeluarkan kebijakan impor dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Watak Rezim Kapitalisme Sekuler
Inilah watak kepemimpinan sistem kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini para pemilik modallah yang mampu menguasai dan mengendalikan hajat hidup orang banyak, seperti minyak goreng dan gula yang merupakan kebutuhan pokok rakyat. Alhasil rakyatlah yang menjadi korbannya. Sementara penguasa yang semestinya bertindak sebagai penanggung jawab urusan rakyat, justru hadir memuluskan kepentingan para kapital melalui berbagai kebijakan dan UU. Itu dikarenakan dalam sistem kapitalisme sekuler negara dan penguasa kehilangan fungsinya sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Sebaliknya, dalam sistem ini negara dan penguasa lemah dan tunduk pada kepentingan para kapital. Pasalnya akidah sekuler meniscayakan agama jauh dari kehidupan, sehingga ketakwaan para penguasa tergerus dan lupa bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Maka tak heran, jika setiap kebijakan yang dilahirkannya tak ada satupun yang berpihak pada rakyat.
Karena itu, selama sistem ini masih diadopsi, maka kesejahteraan rakyat hanyalah angan-angan. Sistem kapitalisme tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah kehidupan sampai tuntas. Yang ada hanyalah solusi pragmatis dan tambal sulam yang menciptakan masalah baru.
Islam Solusi Paripurna
Islam hadir ke dunia ini sebagai solusi bagi seluruh problematik kehidupan. Dalam pandangan Islam, negara dan penguasa adalah pengurus dan pelayan rakyat. Ia bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat dan memudahkan hidup rakyat. Baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan.
Sabda Rasulullah saw.: “Pemimpin adalah pengurus rakyat, ia bertanggung atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Baca juga: Tapera, Tiga Persen yang Memberatkan
Sistem Islam menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok rakyat dan menjaga distribusinya sehingga rakyat mudah mengaksesnya dengan harga murah dan terjangkau. Jaminan tersebut dapat terealisasi karena Islam memiliki sumber pemasukan negara yang besar berasal dari fa'i, ghanimah, kharaj, jizyah, dan seluruh SDA.
Sistem Islam pun akan menjaga ketahanan pangan dengan cara memfasilitasi para petani untuk bertani (pupuk, benih, dan lainnya) akan disediakan dengan harga murah dan mudah didapat. Para pengusaha kecil diberikan modal cuma-cuma agar dapat berproduksi dan mengembangkan bisnisnya mengelola hasil bumi dalam negeri.
Sistem Islam pun tidak akan mematok harga pangan. Negara akan selalu mengawasi agar harga pangan di pasar senantiasa stabil dengan mengirimkan pengawas pasar (Qadhi Hisbah). Qadhi Hisbah inilah yang akan menyelesaikan berbagai masalah di pasar seperti kecurangan, penimbunan, rekayasa pasar, dan lainnya yang mengakibatkan harga tak terkendali.
Selanjutnya, negara akan menggunakan baitulmal sebagai penjaga kestabilan harga. Ketika terjadi panen raya dan stok pangan melimpah, negara akan membeli sisa pangan yang dibutuhkan pasar, kemudian menyimpannya di baitulmal. Ketika terjadi paceklik, maka pangan tersebut akan didistribusikan kepada rakyat. Sehingga tidak ada potensi negara menaikkan harga pangan atau bahkan sangat mudah mengambil opsi impor karena alasan stok pangan dalam negeri kurang.
Di sisi lain, negara Islam juga akan menutup seluruh keran impor dan berbagai kerjasama luar negeri yang berpotensi merugikan rakyat dan mengangkangi kedaulatan negara. Negara pun tidak hanya berperan memerhatikan produksi saja, lebih dari itu, negara Islam akan memastikan seluruh kebutuhan pangan sampai ke hadapan masyarakat, individu per individu, secara merata. Sebagaimana menjamin pada kebutuhan asasi lainnya.
Demikian kesempurnaan sistem Islam dalam menyelesaikan masalah pangan. Hal ini bukan hanya omong kosong belaka. Sejarah mencatat selama 13 abad sistem Islam diterapkan dalam kehidupan, kesejahteraan, keamanan, kegemilangan peradabannya nyata adanya. Karena itu, masih adakah alasan bagi kita menolak sistem Islam? Wallahu a'lam bi ash-shawwab.