![]() |
| Sumber ilustrasi gambar: Liputan6.com |
Sejatinya untuk menurunkan harga tiket pesawat maka pemerintah harus menghilangkan berbagai pungutan yang berkaitan dengan transportasi udara, baik pungutan pajak, asuransi, maupun retribusi bandara dan biaya ‘titipan’ dalam avtur. Pemerintah juga harus melakukan pengelolaan layanan transportasi secara mandiri untuk sebesar-besar kepentingan rakyat. Kemudian, pemerintah secara serius menghilangkan berbagai monopoli harga yang dilakukan korporasi dan pihak penyelenggara serta menindak keras pelakunya.
Oleh Reni Rosmawati
Pegiat Literasi Islam Kaffah
Beritanusaindo.my id - OPINI - Dalam rangka menurunkan harga tiket pesawat domestik yang melambung tinggi dan menciptakan harga tiket yang efisien, pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) penurunan harga tiket. Satgas tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), dan Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya yang terkait dalam hal ini. (Tirto.id, 24/6/2024)
Tak bisa dimungkiri, saat ini pesawat merupakan salah satu moda transportasi yang paling banyak diminati di dunia. Itu dikarenakan, pesawat dipandang jauh lebih efisien, efektif, dan cepat dibandingkan dengan jenis transportasi lainnya. Sayangnya, di Indonesia harga tiket pesawat terus melambung tinggi. Bahkan, menurut Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, harga tiket pesawat di Indonesia tercatat paling mahal di ASEAN dan termahal kedua di dunia. (Tirto.id, 11/7/2024)
Baca juga: Pemuda Mabuk Kecubung, Buah Liberalisasi Perilaku
Akankah Satgas Mampu Menurunkan Harga Tiket Pesawat?
Menurut sejumlah pengamat penerbangan, ada beberapa faktor yang memicu mahalnya harga tiket pesawat di negeri. Antara lain karena pemerintah menyiapkan sejumlah pungutan pada tiket pesawat seperti pajak 11%, iuran wajib asuransi Jasa Raharja, retribusi bandara (PJP2U), juga biaya ‘titipan’ dalam harga avtur. Di mana untuk penerbangan domestik, harga avtur dikenakan tarif PPN 11% dan 0,25% oleh BPH migas. (BBC.com, 17/4/2024)
Di sisi lain, mahalnya harga tiket pesawat juga dipicu oleh pengelolaan layanan transportasi yang diserahkan kepada swasta dan dimonopoli oleh sejumlah korporasi. Sebagaimana diketahui, 96% struktur pasar penerbangan di Indonesia kini hanya didominasi oleh dua grup besar, yakni Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group. (Centreforaviation.com, 15/11/2018)
Baca juga: Sertifikat Tanah Melalui PTSL Gratis, Benarkah?
Adapun pemerintah sendiri, sebenarnya sudah berkali-kali berusaha menurunkan harga tiket pesawat domestik. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah mulai dari meminta diskon kepada maskapai, berencana menambah jumlah pesawat serta maskapai, dan sekarang membentuk satgas. Namun, apakah satgas ini akan mampu mengatasi naiknya harga tiket pesawat, ataukah sebaliknya?
Jika diamati, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan harga tiket belum mampu memberikan pengaruh signifikan. Harga tiket pesawat domestik terus mengalami kenaikan seiring terus bertambahnya waktu.
Bahkan dibentuknya satgas ini diduga kuat hanyalah formalitas saja, yakni untuk meredam gejolak di tengah masyarakat. Sementara di balik itu bisa jadi terjadi deal politik antara pemerintah melalui satgasnya dengan pihak maskapai penerbangan. Apalagi jika dilihat dari tujuan awal dibentuknya satgas, yakni untuk menciptakan harga tiket yang murah dan efisien. Adapun jobdesk dari satgas sendiri adalah melakukan evaluasi biaya operasional pesawat, seperti membedah harga avtur dan berbagai jenis pajak serta bea yang dibebankan pada industri penerbangan, salah satunya bea operasional perawatan pesawat.
Baca juga: Buruknya Pemerataan Kesehatan Dibalik Wafatnya Dr Helmiyadi
Sejatinya, untuk menurunkan harga tiket pesawat maka pemerintah harus menghilangkan berbagai pungutan yang berkaitan dengan transportasi udara, baik pungutan pajak, asuransi, maupun retribusi bandara dan biaya ‘titipan’ dalam avtur. Pemerintah juga harus melakukan pengelolaan layanan transportasi secara mandiri untuk sebesar-besar kepentingan rakyat. Kemudian, pemerintah secara serius menghilangkan berbagai monopoli harga yang dilakukan korporasi dan pihak penyelenggara serta menindak keras pelakunya.
Sayangnya, harapan bahwa pemerintah akan mengambil langkah sebagaimana hal tersebut sepertinya akan menjadi harapan semu. Mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia bahkan menduduki peringkat kedua di dunia, sehingga hal yang mustahil bila negara mampu mengembalikan stabilitas tiket pesawat jika mekanismenya diserahkan pada para kapital dan korporasinya.
Fakta ini mengonfirmasikan betapa lemahnya negara dalam menyelesaikan masalah transportasi publik yang murah dan nyaman. Pembentukan satgas pun makin menguatkan ketidakberdayaan negara dan lembaga terkait dalam menjamin kebutuhan transportasi rakyat.
Inilah konsekuensi logis dari diterapkannya sistem kapitalisme neoliberal. Penerapan sistem kapitalisme neoliberal telah melahirkan penguasa dan negara yang gagal menjamin kebutuhan rakyat. Baik sandang, papan, pangan, maupun kebutuhan vital lainnya seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan juga transportasi. Itu disebabkan asas sistem kapitalisme yakni sekularisme telah meniscayakan aturan agama jauh dari kehidupan. Di sisi lain, tujuan yang harus diraih dalam sistem ini adalah sesuatu yang bersifat materi.
Sementara hubungan rakyat dan negara bak penjual dan pembeli. Yang akhirnya menghilangkan fungsi negara sebagai pelayan dan pengurus seluruh urusan rakyat. Kondisi inilah yang menyebabkan rakyat terus menanggung beban dari beragam kebijakan zalim yang hampir merata di semua sektor, termasuk transportasi.
Sungguh, selama sistem kapitalisme sekuler masih diterapkan dan negara tak memfungsikan perannya sebagai pengurus, satgas khusus sekalipun tak akan mampu menyelesaikan masalah mahalnya tiket pesawat. Harga tiket pesawat murah dan efisien hanya angan-angan.
Islam Menjamin Transportasi Rakyat
Dalam pandangan Islam, negara dan penguasa wajib melayani seluruh kebutuhan rakyatnya di segala aspek, termasuk transportasi. Transportasi dalam sudut pandang Islam merupakan kebutuhan publik yang negara harus bertanggung jawab atasnya.
Rasulullah saw. bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pelayan rakyat. Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Adanya transportasi dalam Islam semata-mata untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Apalagi insfratruktur transportasi merupakan harta milik umum dan salah satu unsur penting penunjang kehidupan masyarakat. Karena itu, negara tidak boleh membiarkan transportasi dan segala sarana prasarana penunjangnya dimonopoli, dieksploitasi, apalagi dijadikan sebagai ajang bisnis/meraup keuntungan bagi sebagian orang (oligarki). Yang ada, negara wajib mengelola transportasi secara mandiri, tanpa campur tangan swasta. Namun, tentunya negara tidak boleh mengambil keuntungan darinya. Jikapun terpaksa harus ada pungutan, maka tidak boleh memberatkan dan yang pasti hasil pungutan tersebut akan kembali kepada rakyat berupa pemenuhan kebutuhan lainnya.
Negara pun wajib membangun infrastruktur sarana dan prasarana penunjang transportasi, baik di darat, laut, maupun udara. Untuk transportasi udara, maka negara wajib membangun bandara dan maskapai penerbangan, menyediakan pesawat terbang yang cukup dan layak, serta mengembangkan inovasi dan teknologi industri pesawat terbang oleh orang-orang yang kapabel di bidangnya. Sehingga pengelolaannya dapat efektif dan efisien. Terlebih dengan dukungan penerapan sistem ekonomi Islam dan sistem lainnya secara menyeluruh/kafah dan komprehensif yang pastinya akan mampu menciptakan seluruh kebaikan.
Baca juga: Pinjol untuk Pendidikan, Solusikah?
Jika Islam diterapkan secara sempurna dalam sistem kehidupan, maka negara akan benar-benar menjalankan fungsinya sebagai raa’ain. Ia akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanannya, menyediakan transportasi yang mudah diakses, murah, bahkan bisa jadi gratis untuk rakyatnya. Apalagi negara dalam Islam memiliki sumber pemasukan yang banyak bersumber dari fa'i, ghanimah, kharaj, jizyah, dan seluruh harta kepemilikan umum, yang pastinya mampu memberikan layanan gratis bagi rakyat. Bukan seperti sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai pemasukan negara dan alat untuk memalak rakyat.
Terukir dalam sejarah, selama 13 abad sistem Islam diterapkan, betapa pelayanan terbaik diberikan kepada rakyat secara totalitas dalam segala aspek. Dalam hal transportasi, Khalifah Abdul Hamid ll pernah membangun rel Kereta Api Hejaz yang membentang dari Istanbul hingga ke Makkah melewati Yerusalem. Tujuan pembangunan ini untuk memudahkan rakyat dan jamaah haji melakukan perjalanan. Rel kereta ini dilengkapi sejumlah fasilitas seperti toilet umum, makanan, dan penginapan.
Baca juga: Rumah dalam Jaminan Negara, Islam Mewujudkannya
Sungguh, tidak ada sistem apapun di dunia ini yang mampu menandingi kehebatan Islam dalam mengurusi rakyatnya. Hal ini diakui oleh cendekiawan Barat Will Durant. Dalam bukunya The Story of Civilization, ia menuliskan betapa Islam mampu mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi rakyatnya. Peradaban Islam sejak tahun 700-1200 M berada di puncak kejayaannya terutama di bidang keilmuan dan sains. Ilmu kedokteran, kimia, fisika, geologi, biologi, dan botani berkembang pesat sepanjang Islam diterapkan. Bahkan para ilmuan Islam kala itu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut ke negara-negara luar dan para pendatang yang ingin belajar di dalam daulah. Sementara Barat dan Eropa pada saat itu berada dalam kesuraman peradaban..
Karena itu, adakah alasan bagi kita menolak sistem Islam yang kehadirannya tidak saja mampu mengayomi umat, menyejahterakan mereka, tetapi juga terwujud peradaban gemilang melalui generasi islami? Wallahu a'lam bi ash-shawwab. [Rens]
