![]() |
| Ilustrasi Palestina, Pinterest |
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Beritanusaindo.my.id -OPINI - Hujatan bertubi-tubi setelah beredar di media sosial sebuah foto yang memperlihatkan lima tokoh organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia berdiri takzim bersebelahan dengan pemimpin tertinggi Israel. Menjadi pertanyaan besar mereka berdiri di sisi siapa? Mengapa menjadi pecundang lebih diprioritaskan daripada sedikit bersimpati pada apa yang dialami sesama muslim akibat kebiadaban pasukan laknatullah yang pemimpinnya ada dalam satu barisan dalam foto itu?
Mereka yang dianggap intelektual muda sebuah ormas keagamaan terbesar di negara dengan jumlah muslim terbesar pula, diam-diam berkunjung ke Israel yang sedang menjajah dan melakukan genosida terhadap Palestina. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan mereka tidak mewakili organisasi dan PBNU tidak mengetahui agenda tersebut (republika.co.id, 15/7/2024).
Baca juga: Harganas, Keluarga Penentu dan Kunci Kemajuan Negara?
Dalam penjelasan lain, Zainul Maarif ( salah satu intelektual muda yang ada dalam foto viral itu) memposting di akun Instagramnya bahwa benar mereka berkunjung ke Israel menemui Presiden Israel, Isaac Herzog. Postingan itu dengan caption,” Saya bukan demonstran melainkan filsuf-agamawan. Alih-alih demonstrasi di jalanan dan melakukan pemboikotan, saya lebih suka berdiskusi dan mengungkapkan gagasan.”
Mantan Sekjen PBNU periode 2015-2021 sekaligus ketua Islam Nusantara Foundation, Helmy Faishal Zaini menyayangkan adanya pertemuan itu, tak semestinya dilakukan tak pandang apapun motifnya. Sebab hal itu telah mencederai dan melukai hati umat Islam di Indonesia dan dunia.
Apalagi Israel telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dengan melalukan genosida pada puluhan ribu warga Palestina, termasuk perempuan dan anak kecil. Dan sebagai warga NU seharusnya ikut menerapkan hasil keputusan Muktamar ke-13 NU di Menes, Banten tahun 1938, bahwa NU telah menyatakan dukungan atas kemerdekaan dan kedaulatan Palestina sebagai sebuah bangsa yang merdeka (republika.co.id, 16/7/2024).
Nasionalisme Akut Hancurkan Ukhuwah Islamiyah
Bukan sekali dua pengkhianatan terjadi pada mereka yang mengaku Muslim, beriman kepada Allah yang satu dan Muhammad Rasul Allah. Terkhusus peristiwa genosida di Palestina yang sudah berjalan berbulan-bulan, mereka tak risih dengan berita pemboman sadis Israel yang menyerang kamp-kamp pengungsi, rumah sakit, sekolah dan lainnya. Darah para syuhada yang tertumpah tak membuat perih hati mereka. Dan itu nyata, dalam setiap episode kehidupan selalu ada pengkhianat. Memang pahit, tapi angin kebangkitan Islam berembus kian kencang, kemenangan bagi kaum muslim semakin dekat.
Baca juga : Buruknya Pemerataan Kesehatan Dibalik Wafatnya Dr. Helmiyadi
Bersembunyi di balik identitas filsuf keagamaan tak lantas menjadikan ia boleh bertindak semaunya. Sebab, masalah Palestina sangatlah mudah dipahami oleh orang atheis sekalipun bahwa di dalamnya bukan sekadar penjajahan tapi genosida dan terkatagori dalam kejahatan perang, ini pun bukan perang yang adil sebab Israel tak berkutik melawan pasukan militer Hamas dan hanya menekan mereka yang lemah, perempuan dan anak-anak.
Dimana peran PBB? Dan tak cukup negara muslim mengirimkan bantuan makanan, obat-obatan bahkan hingga pasukan perdamaian. Itu hanya pengobatan luka sesaat sementara virus penyebab utama munculnya luka samasekali tak tersentuh.
Yang perlu kita ketahui, inilah dampak buruk nasionalisme akut. Yang sukses menghancurkan ukhuwah Islamiyyah. Padahal nasionalisme buruk, sempit, lemah sedangkan ukhuwah Islamiyyah kuat, berasas akidah, universal dan pasti diperintahkan Allah azza wa jala. Siapapun yang menerapkannya akan mendapatkan pahala, sedangkan yang memutuskan bahkan menghancurkannya hingga menjadikan kaum muslim terkerat-kerat mendapatkan siksa.
Para intelektual muda ormas keagamaan itu terjebak dalam pendek pikir bahwa kunjungan mereka di dengar dan membawa hasil. Nyatanya, selangkah mereka keluar dari bilik Isaac Herzog, Israel menyerang Kamp Almawasi, Khan Younis. Israel hanya memahami satu kata dan satu bahasa yaitu perang.
Maka, sudah semestinya kita sebagai muslim mewaspadai itu dan samasekali tidak membangun hubungan apapun, Israel adalah kafir harbi fi’lan, yaitu kafir yang secara nyata menunjukkan permusuhan kepada Islam, simbol, pengikut dan terlebih ajarannya. Allah SWT.berfirman, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (TQS. Al Imran: 28).
Menjadikan kafir sebagai teman atau bahkan pemimpin adalah tindakan bodoh sekaligus bunuh diri politik. Bagi Israel Indonesia hanyalah salah satu list negara wajib dijajah, tak hanya karena kekayaan alam Indonesia namun juga karena Islamnya. Lebih penting lagi yaitu ancaman Allah akan melepaskan pertolonganNya, adakah yang lebih menakutkan dari ancaman ini?
Di ayat yang lain Allah SWT. Juga mengingatkan kita,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (TQS. Al Maidah: 51).
Sejatinya sifat kafir sama, namun Allah secara spesifik menyebutkan Nasrani dan Yahudi tentulah ada maksudnya. Tindakan boikot, share kebiadaban Israel, demonstrasi, aksi damai dan lainnya mungkin dianggap sebagian orang yang apatis tak berguna, sama seperti pendapat intektual muda Nahdiyin di atas. Tapi jika dibarengi dengan upaya penyadaran tentang akar persoalan dan solusi hakikinya, tentulah akan beda hasil.
Peringatan kemerdekaan Negara Indonesia yang sudah menyibukkan rakyatnya dengan berbagai agenda “ mengisi kemerdekaan” sejak sebelum Agustus sejatinya menunjukkan para penguasa gagal memunculkan makna hakiki kemerdekaan itu sendiri. Sebab mayoritas muslim hari ini justru terbelenggu dengan dunia, takut mati dan rela dijajah bangsa kafir, hingga kehilangan kedaulatannya sendiri.
Persatuan Umat Hancurkan Israel Laknatullah
Lawan nasionalisme adalah ukhuwah Islamiyyah. Lawan kufur adalah Islam. Pendukung terbesar Israel hari ini adalah Amerika, Inggris, Perancis, beberapa negara eropa dan hampir mayoritas pemimpin negeri muslim, pengemban idiologi kapitalisme yang asasnya sekuler lawannya adalah idiologi Islam. Dimana penerap tunggalnya adalah Daulah Khilafah.
Maka, sebagai seorang muslim kita memiliki kewajiban yang sama, menghimpun kekuatan yang sama, pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama yaitu Islam untuk bisa diterapkan sebagai aturan tunggal bagi seluruh dunia. Daulah Khilafah dengan misi besarnya yaitu dakwah dan jihad satu-satunya yang mampu menghapuskan segala penjajahan di dunia ini.
Maka, bulan Muharram yang identik dengan bulan hijrah hendaknya menjadi momentum hijrahnya hati dan pikiran kita kepada Islam kafah. Yang tak meninggalkan satu aspek pun untuk dipelajari dan diterapkan. Untuk kelak bisa menenggelamkan kebatilan dan mewujudkan keberkahan dari langit dan bumi. Wallahualam bissawab. [ ry]

