Sertifikat Tanah Melalui PTSL Gratis, Benarkah?

Admin Beritanusaindo
0

 

Ilustrasi gambar: Hukum Online

Sistem Islam memiliki aturan yang berbeda dengan sistem saat ini. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki pengaturan yang khas tentang pertanahan. Islam akan mengakui hak milik tanah ketika diperoleh dari jual beli, waris, hibah, pemberian negara kepada rakyat (Iqtha) atau karena menghidupkan tanah mati (Ihya al-Mawat) dengan cara memagari, menanami atau membangun sesuatu di atasnya. 



Oleh Rosita

Penggiat Literasi



Beritanusaindo.my.id - OPINIDalam rangka mewujudkan pelaksanaan kewajibannya, pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), meluncurkan program Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) atau yang biasa disebut dengan sertifikat tanah. Program ini sudah berlangsung dari tahun 2018 dan ditargetkan selesai tahun 2025, dengan tanpa dipungut biaya alias gratis, dengan syarat dan kriteria tertentu.


Meskipun program tersebut tanpa dipungut biaya alias gratis, tetapi masih ada saja curhatan sejumlah warga yang keberatan dengan program tersebut. Salah satunya adalah Solihin (45) warga Kecamatan Cileunyi. Solihin menuturkan pembuatan sertifikat tanah melalui program PTSL yang digembar-gemborkan gratis, ternyata faktanya harus mengeluarkan biaya Rp150 ribu. 


Ketika curhatan warga tersebut dikonfirmasi kepada Camat Cileunyi, Cucu Endang, beliau mengatakan bahwa biaya Rp150 ribu ini sesuai dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri yang telah disosialisasikan oleh desa terhadap masyarakat. Pembebasan biaya hanya berlaku untuk penyuluhan, pemeriksaan tanah, pengumpulan data fisik dan yuridis, pengesahan data yuridis dan fisik, penerbitan SK Hak, penerbitan sertifikat, serta supervisi juga laporan, dan selain dari itu dikenakan biaya. (KejakimpolNews.com, 4/7/2024)


Baca juga: Buruknya Pemerataan Kesehatan Dibalik Wafatnya Dr Helmiyadi


Program PTSL bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan hak atas suatu tanah milik masyarakat secara gratis. Karena selama ini banyak sekali ditemukan permasalahan pertanahan yang ada di tengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah perebutan hak milik lahan, baik secara individu maupun kelompok atau perusahaan.


Dengan tingginya biaya pembuatan sertifikat tanah, maka banyak masyarakat yang memilih menunda mengurus sertifikat tanah dan hanya mencukupkan dengan Akta Jual Beli (AJB) saja. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang saat ini sedang tidak baik-baik saja dengan banyaknya permasalahan yang ada. Seperti terjadinya PHK, banyaknya pengangguran terutama generasi gen Z, bahan pokok yang terus mengalami kenaikan harga, biaya pendidikan yang menjulang tinggi, belum lagi dengan semakin maraknya judi online (judol), Pinjol, dan lain-lain.


Baca juga: Pinjol untuk Pendidikan, Solusikah?


Di tengah-tengah beban hidup yang cukup rumit, masyarakat berharap dengan adanya program PTSL dapat membantu mereka untuk mendapatkan sertifikat tanpa harus mengeluarkan biaya alias gratis, tetapi lagi-lagi masyarakat harus menelan kekecewaan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang menetapkan biaya penerbitan sertifikat PTSL kategori V, Jawa dan Bali sebesar Rp150.000.


Jika tujuan program dari PTSL adalah menjamin setiap hak warga yang memiliki tanah, semestinya dalam melaksanakan tugasnya negara harus benar-benar memberikan kemudahan kepada setiap warga untuk menerima haknya, tanpa harus ada lagi kata syarat atau ketentuan yang berlaku, karena setiap warga itu memiliki hak yang sama. Seperti yang sudah digembar-gemborkan di awal bahwa pembuatan sertifikat tanah melalui program PTSL itu gratis. Sedangkan arti dari kata gratis adalah sesuatu yang tidak memerlukan biaya.


Dengan demikian makna "gratis" dalam program PTSL hanya judul semata karena realitanya rakyat tetap harus mengurus sendiri, biaya sendiri atas apa yang menjadi tanggung jawab negara. Hal ini juga menunjukan bahwa negara seolah berat memberikan hak rakyat secara penuh jika tidak ada keuntungan di dalamnya. Inilah fakta yang terjadi ketika negara menerapkan sistem yang tidak pro rakyat melainkan pro kapital (kapitalisme). Di mana dalam setiap kebijakannya selalu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian secara materi. 


Baca juga: Rumah dalam Jaminan Negara, Islam Mewujudkannya


Sistem Islam memiliki aturan yang berbeda dengan sistem saat ini. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki pengaturan yang khas tentang pertanahan. Islam akan mengakui hak milik tanah ketika diperoleh dari jual beli, waris, hibah, pemberian negara kepada rakyat (Iqtha) atau karena menghidupkan tanah mati (Ihya al-Mawat) dengan cara memagari, menanami atau membangun sesuatu di atasnya. 


Adapun pengertian dari Ihya al-mawat adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun selama kurun waktu minimal 3 tahun, sedangkan menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya, menanami pohon, mendirikan bangunan di atasnya dan lain-lain. Maka imbas dari hak ihya Al-Mawat dan iqtha, negara mengesahkan kepemilikannya tanpa harus menunjukan sertifikat tanah.


 Hal itu berdasarkan sabda Nabi saw.: “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Al-Bukhari)


“Barangsiapa membuat suatu batas atau memagarinya pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad)


Negara yang menerapkan syariat Islam akan benar-benar menjaga hak setiap warganya tanpa memandang bulu apakah dia seorang pejabat atau rakyat jelata. Hal ini telah dicontohkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu, Umar didatangi seorang Yahudi dan mengadu bahwa dia terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, yakni Amr bin Ash dalam rangka memperluas sebuah masjid. Meskipun mendapatkan ganti rugi yang pantas, Yahudi tetap menolak penggusuran tersebut. Saat itu Khalifah Umar hanya memberikan tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan yakni garis horizontal dan vertikal. Itu artinya bahwa setiap pemimpin harus bersikap lurus (adil).


Baca juga: HET Minyak Goreng dan HAP Gula Naik, untuk Kepentingan Siapa?


Selain itu negara yang menerapkan aturan Islam tidak akan memungut biaya dari masyarakat kecuali dharibah, itu juga dikenakan hanya kepada orang-orang muslim yang mampu dan dalam waktu sementara sampai kebutuhan tercukupi. Sebab, pemasukan terbesar negara adalah dari hasil sumber kekayaan alam yang dikelola secara mandiri tanpa melibatkan para pengusaha baik lokal maupun asing. 


Dalam sistem Islam setiap pemimpin negara wajib menerapkan hukum atau semua aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. 


“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (TQS. Al-Maidah ayat 44)


Langkah-langkah di atas hanya bisa diterapkan oleh pemimpin dalam sistem Islam, dan pemimpin inilah yang akan mampu menjaga hak umat termasuk kepemilikan tanah yang diperoleh secara syar’i, maka solusi satu-satunya permasalahan hari ini termasuk pertanahan adalah dengan kembalinya kepada syariat Islam secara kaffah

Wallahu a'lam bish shawab. [Rens]


Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)