Perang Dingin China VS Uni Eropa, Akankah China Jadi Adidaya Baru?

Mehmet Fadli
0

Perang dingin China vs Uni Eropa, sumber: suaraekonomi

Dilansir oleh CNBC pada14/06/2024 lalu, Uni Eropa (UE) resmi menabuh genderang perang baru dengan China. Blok tersebut menaikkan tarif mobil listrik yang diimpor dari China. Dalam aturan baru yang diketok Rabu waktu setempat, UE memutuskan menentapkan tambahan tarif antara 17,4% dan 38,1% ke mobil listrik China. Ini diluar bea masuk yang sudah ada sebelumnya sebesar 10%.


Kebijakan Eropa ini sebenarnya mengikuti sikap protektif Amerika Serikat (AS) yang lebih dulu terjadi. Para pejabat Barat khawatir bahwa lapangan kerja dan industri-industri penting yang strategis akan terhapus oleh impor murah dari China.


Mengutip CNN International, Eropa kini bak dalam dilema karena harus mencapai keseimbangan antara melindungi industrinya dan mewujudkan komitmen terhadap perekonomian ramah lingkungan, mencakup larangan penjualan mobil berbahan bakar bensin dan diesel baru mulai tahun 2035.


Keputusan yang memanaskan suasana tersebut menyusul penyelidikan aktivitas Komisi Eropa, badan eksekutif UE, yang meluncurkan penyelidikan khusus pada Oktober 2023. Penyelidikan tersebut bertujuan untuk menentukan apakah harga kendaraan listrik China terlalu rendah karena subsidi sehingga merugikan produsen mobil Eropa. Komisi mengatakan penyelidikannya untuk sementara menyimpulkan bahwa industri kendaraan listrik di China "mendapat keuntungan" dari subsidi yang tidak adil, yang menyebabkan ancaman kerugian ekonomi.


Efek dan Respon China


Manuver Uni Eropa tersebut memicu respon keras China. Pasalnya bagi Beijing, UE merupakan pasar yang penting dan berkembang bagi industri otomotifnya. Dalam aturan baru yang diketok Rabu waktu setempat, UE memutuskan menentapkan tambahan tarif antara 17,4% dan 38,1% ke mobil listrik China. Ini diluar bea masuk yang sudah ada sebelumnya sebesar 10%.


Dalam hitungan tertinggi, tingkat keseluruhan maksimal yang harus dibayar bisa mendekati 50%. Hal ini menyebabkan China meradang.


Tarif kendaraan listrik baru ini kemungkinan akan membuat negosiasi keras antara China dan UE. Dalam pernyataan Rabu pagi sebelum keputusan Eropa, China sudah mengancam akan memberikan balasan.


Juru bicara kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengungkapkan bahwa manuver UE tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan aturan perdagangan internasional, melemahkan kerja sama ekonomi dan perdagangan China-UE serta stabilitas produksi mobil global dan rantai pasokan. Lin Jian melanjutkan bahwa China akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk secara tegas menjaga hak dan kepentingan sahnya. 


Diketahui setidaknya tarif baru itu sudah terdampak ke tiga perusahaan kendaraan listrik besar. Yakni BYD, yang bersaing dengan Tesla untuk posisi sebagai penjual baterai EV terbesar di dunia, Geely dan SAIC. BYD dikenai bea tambahan terendah yakni 17,1%. Sementara Geely, pemilik Volvo asal Swedia, 20% dan SAIC dikenai tarif tertinggi 38,1%.


Eropa merupakan tujuan utama ekspor kendaraan listrik China. Menurut Rhodium Group tahun lalu, nilai impor mobil listrik UE dari China mencapai US$11,5 miliar atau sekitar Rp 187 triliun (Rp 16.282/1 US$), naik dari hanya US$1,6 miliar pada tahun 2020,


Risiko bagi internal Eropa juga muncul. Produsen mobil Eropa sendiri sudah banyak yang memproduksi mobil di China dan kemudian menjualnya kembali ke Eropa, yang diyakini lebih mahal ke konsumen karena tarif yang tinggi. Selain itu, produsen mobil Jerman sangat juga bergantung pada China dalam penjualannya. Pembalasan dari Beijing dapat membuat "hidup mereka lebih sulit". 


Sementara itu analisis Rhodium Group mengatakan bisa saja muncul penolakan terhadap keputusan Komisi Eropa dari negara anggota sendiri. Bisa saja upaya pemblokiran dilakukan.


"Misalnya, China dapat menaikkan tarif impor kendaraan UE menjadi 25%, dari tarif saat ini sebesar 15%, atau menargetkan ekspor Eropa lainnya seperti anggur dan barang mewah," katanya menjelaskan jurus China yang mungkin mempengaruhi sikap negara Eropa nanti.


China, Raja Baru Ekonomi Dunia


Apa yang dinamakan sebagai perang China dengan UE tersebut meskipun pada awalnya hanya terkait dengan perdagangan kendaraan listrik, namun sejatinya hal tersebut bisa memberikan gambaran perseteruan yang lebih luas dalam perdagangan bebas mereka. Setidaknya sejak tahun 2007 menurut Ichsanuddin Noorsy neraca perdagangan Dunia memang berada di tangan China. Bahkan China mampu mengungguli AS dalam hal produksi barang atau manufaktur. 


China lihai memainkan apa yang dinamakan strategi subsidi saat berdagang dengan UE. Imbasnya, barang barang China selalu lebih murah sekitar 20% dari barang serupa yang diimpor oleh UE dari negara lain seperi AS. 


Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketegangan perdagangan antara Uni Eropa (UE) dan China kemungkinan akan melonjak akibat meningkatnya kemampuan Beijing untuk memproduksi industri strategis dengan harga yang lebih murah.


Manuver yang dilakukan oleh Uni Eropa sebenarnya membawa misi untuk menyeimbangkan neraca perdagangan mereka dengan China sebelum semuanya terlambat. Uni Eropa menilai bahwasanya impor mereka berupa barang barang dari China jauh lebih besar ketimbang expor uni Eropa yang masuk ke China. 


Sebagai buktinya kita bisa amati dari rasio ekspor dan impor IE terhadap China atau sebaliknya. Berdasarkan data da tahun 2023, Tiongkok merupakan mitra terbesar ketiga untuk ekspor barang UE (8,8%). Didahului oleh Amerika Serikat (19,7%) dan Inggris (13,1%) dan diikuti oleh Swiss (7,4%) dan Türkiye (4,4%). Sedangkan dari sisi impornya,China menjadi juara memasukkan barang barangnya ke UE. Pada tahun 2023, Tiongkok merupakan mitra terbesar untuk impor barang UE (20,5%), diikuti oleh Amerika Serikat (13,7%), Inggris (7,2%), Swiss (5,5%) dan Norwegia (4,7%).


Secara angka, nilai rata rata impor UE dari China per tahun sejak 2013 hingga 2023 selalu berada di angka 200-600 juta Euro. Sedangkan nilai expor UE ke China hanya berkisar di angka 100-200 juta Euro. Hasilnya balance neraca perdagangan mereka adalah minus 400 juta Euro di tahun 2021-2023. Hal ini lah yang membuat UE merasa harus segera mengambil langkah-langkah antisipatif. 


China Menuju Penguasa Dunia?


Menurut penulis, apa yang terjadi di Uni Eropa merupakan bagian dari megastrategi China dalam menghadapi negara-negara di Dunia. China memproduksi barang sebanyak-banyaknya dan memaksa negara-negara di Dunia menjadi pasar nya. 


Di Indonesia strategi China sudah berjalan dengan apa yang dinamakan CAFTA. ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara negara anggota ASEAN dengan China yang disebut untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. 


Program ini kelihatannya menguntungkan Indonesia dan ASEAN. Setidaknya karena salah satu poin kesepakatan nya adalah penghapusan tarif untuk 94,6% dari semua jalur tarif untuk ekspor asal Indonesia ke China. 


Namun, hal tersebut perlu dikritisi. Karena nilai export Indonesia ke China tidaklah sebanding dengan Impor barang dari China baik kualitas maupun kuantitas. Dari data BKPM menunjukan bahwa sebelum perjanjian ACFTA investasi negara-negara Asean ke Indonesia 18 kali lipat dengan rata-rata 559,83 juta US$ dan 33 kali lipat sesudah perjanjian AC FTA dengan nilai rata-rata 1.169,07 juta US$. Sedangkan rata-rata investasi China ke Indonesia sendiri hanya sebesar 32,43 juta US$ sebelum perjanjian AC FTA dan menjadi rata-rata hanya sebesar 32,57 juta US$ pasca ACFTA. 


Demikian juga persentase investasi China ke Indonesia dibandingkan dengan total investasi dunia ke Indonesia masih kecil, sesudah perjanjian AC FTA hanya rata-rata sebesar 0,006 sedangkan sebelumnya juga rata-rata sebesar 0,006


Hanya Perang _national interest_, Bukan Ideologi


Dalam update AFP, seperti dikuti CNBC Senin (23/6/2024), juru bicara UE mengatakan komisaris perdagangan Eropa Valdis Dombrovskis dan Menteri Perdagangan China Wang Wentao telah melakukan pertemuan. Keduanya berdialog secara jujur dan konstruktif mengenai penyelidikan anti-subsidi UE terhadap kendaraan baterai listrik yang diproduksi di China. Juru bicara UE Olof Gill mengatakan pihaknya menekankan bahwa setiap hasil negosiasi dalam penyelidikannya harus efektif dalam mengatasi subsidi yang merugikan


Masih menurut update AFP, Kementerian Perdagangan China di media sosial X sudah terkesan melunak. Dikatakan bahwa kedua belah pihak setuju untuk memulai konsultasi, ketika panggilan telepon dilakukan para pejabat.


Alhasil, perseteruan China dan Uni Eropa bisa dikatakan terbatas pada aspek ekonomi jangka pendek maupun panjang. Juga terkait national interest masing-masing pihak, bukan ideologi. China juga terkesan tidak memiliki gairah untuk menguasai Dunia secara hakiki, melainkan hanya secara ekonomi. Adapun manufer politik maupun militer hanyalah dalam rangka melindungi manuver ekonomi mereka, bukan untuk menguasai dunia secara riil sebagaimana definisinya. 


Namun, Dunia akan terus menyaksikan hegemoni China yang kian progresif apa kancah perdagangan dan ekonomi global. Namun, tidak akan lebih dari itu. 


Singkatnya, China akan Melakukan manuver yang akomodatif terhadap respon Uni Eropa pada kasus tersebut. China tidak akan tampil terlalu dominan sebagai Raja yang mampu memonopoli perdagangan di Uni Eropa. Dengan demikian, predikat penguasa dunia yang sesungguhnya masih berada dipundak AS. Namun AS akan tetap memasang mata terhadap aktivitas China di Uni Eropa. Keberadaan NATO ikut memperkuat hegemoni AS di Uni Eropa. 


Bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang bisa menandingi AS sebagai Adidaya Dunia saat ini selain munculnya negara berbasis ideologi seperti ini Soviet dalam sejarah nya atau munculnya alternatif lain. Salah satu yang paling potensial adalah bersatunya Dunia Islam kembali dalam naungan Khilafah yang tinggal menunggu waktu. Wallahu a'lam


Penulis: dr. Salman Fhar (Mifakkirun Siyasiyyun Community)


Editor: Mehmet Fadli

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)