Dunia yang Berhenti Mendengar: Suara Gaza Masih Terabaikan

Goresan Pena Dakwah
0


Ilustrasi : warga Gaza ( pinterest)

Oleh : Mariatul Kiftiah 

Pegiat Pena Banua


Beritanusaindo.my.id -OPINI --Di tengah gegap gempita berita global, suara Gaza sering kali tenggelam dalam kebisingan. Krisis yang berlangsung selama bertahun-tahun ini bukan hanya sebuah konflik, melainkan realitas harian yang menyakitkan bagi jutaan orang yang terjebak dalam ketidakpastian. Meskipun banyak upaya diplomatik dan kampanye kemanusiaan, dunia seolah berhenti mendengar jeritan dan harapan mereka. 


Dalam bayang-bayang ketidakpedulian ini, kehidupan sehari-hari di Gaza terus berjuang.  Infrastruktur yang hancur, akses terbatas terhadap layanan kesehatan, dan krisis pangan yang mengancam kelangsungan hidup menjadi bagian dari rutinitas yang menyakitkan. Suara anak-anak yang seharusnya dipenuhi tawa kini sering tergantikan oleh teriakan ketakutan dan kesedihan. Meski demikian, warga Gaza tetap mengangkat suara mereka, berusaha menembus kebisuan yang mengelilingi mereka dengan harapan untuk masa depan yang lebih baik. 


Pasukan Israel mengubah "zona kemanusiaan aman" di Jalur Gaza menjadi tumpukan puing-puing dan abu, menyisakan hanya 9,5 persen wilayah yang disebut "zona aman" bagi warga sipil yang mengungsi, kata Pertahanan Sipil Palestina di Gaza.

Baca Juga: 

Mewujudkan Ketahanan Pangan, Antara Harapan dan Kenyataan


Awalnya, zona tersebut meliputi 230 kilometer persegi atau 63 persen dari total wilayah Gaza, termasuk lahan pertanian dan fasilitas komersial, ekonomi, dan layanan yang tersebar di wilayah seluas 120 kilometer persegi.  Ketika serangan militer Israel berlanjut, ukuran zona aman tersebut menyusut drastis.


Otoritas tersebut menjelaskan bahwa pada awal Desember 2023, menyusul serangan Israel ke Khan Younis di Gaza selatan, wilayah kemanusiaan yang ditetapkan telah dikurangi menjadi 140 kilometer persegi, yang mencakup 38,3 persen total wilayah Gaza. (Antara news.com, 25-08-2024).


Penurunan terus-menerus dalam zona aman semakin memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, karena warga sipil kini memiliki ruang yang semakin terbatas untuk melarikan diri dari aksi kekerasan.


Israel terus melancarkan serangan brutal di Jalur Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, meskipun Dewan Keamanan PBB telah menyerukan gencatan senjata segera. Akibat serangan ini, lebih dari 40.200 warga Palestina, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, kehilangan nyawa, dan lebih dari 93 ribu lainnya mengalami luka-luka, menurut laporan dari otoritas kesehatan setempat. 


Israel kini menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional, yang telah memerintahkan penghentian operasi militer di kota Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina berlindung sebelum wilayah tersebut diserang pada 6 Mei.


Krisis di Gaza merupakan sebuah genosida yang menunjukkan akibat keras dari sistem kapitalisme yang telah melahirkan dan mendukung keberadaan Israel. Ironisnya, banyak pemimpin muslim yang tampaknya lebih terfokus pada politik sekuler, bahkan rela menjadi alat bagi musuh Islam, mencerminkan rusaknya kepemimpinan dalam dunia Islam.

Baca juga: 

Sistem Pendidikan Rusak, Bagaimana Nasib Generasi?


Selain itu, krisis ini bukan sekadar masalah kemanusiaan ia juga merupakan perang ideologi yang melibatkan pertarungan antara kapitalisme yang dianggap kufur dan ideologi Islam yang sahih. Israel, yang merasa terlindungi oleh dukungan dari negara adidaya seperti Amerika Serikat, tetap tenang meskipun selalu menjadi target kritik dan kecaman dari masyarakat internasional.


Penerapan ideologi kapitalisme telah membunuh jutaan jiwa diseluruh dunia dengan berbagai cara. Dan ini menjadi bukti sistem dunia hari ini sistem yang jahat, dimana keuntungan sering kali ditempatkan di atas nilai-nilai kemanusiaan. Banyak negara yang mengabaikan kesejahteraan rakyatnya, ketidakadilan sosial, dan eksploitasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi.


Ketidaksetaraan ekonomi yang semakin lebar mengakibatkan banyak orang terjebak dalam kemiskinan, sementara segelintir orang mengumpulkan kekayaan yang tidak proporsional.


Sayangnya, ideologi Islam saat ini hanya diemban oleh individu dan belum diemban oleh negara. Hal ini menyebabkan perlawanan yang terjadi sebagian besar berasal dari para muslim Palestina dan individu yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai Islam.

Baca juga: 

Makan Gratis " Program Tuhan" Serius?


Perang ini bukan sekadar konflik lokal, tetapi merupakan perjuangan melawan sistem negara yang menindas. Oleh karena itu, untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan tegaknya negara berideologi Islam, yaitu khilafah, yang dapat mendorong semangat jihad dan solidaritas di antara umat.


Tegaknya khilafah memerlukan kesadaran kolektif di dalam diri umat Islam, dimana setiap individu menyadari tanggung jawabnya dalam perjuangan ini. Keberadaan kelompok dakwah yang berfokus pada penyebaran ideologi Islam sangat penting dalam membangun kesadaran ini. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta sinergi yang kuat untuk melawan penindasan dan mempromosikan keadilan, bukan hanya di Gaza, tetapi di seluruh dunia Muslim. Wallahualam bissawab. [ry].



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)