![]() |
Berulangnya kasus TPPO menunjukkan bahwa negara kapitalis sekuler telah gagal melakukan perlindungan terhadap rakyatnya.
Oleh Irma Faryanti
Pegiat Literasi
Beritanusaindo.my.id - OPINI - Setidaknya 11 orang warga Kabupaten Sukabumi dikabarkan mengalami penyekapan di Myanmar. Hal ini diungkapkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mereka diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Jejen Nurjanah selaku ketua menyatakan bahwa awalnya ada 6 orang yang melapor, lalu bertambah lagi dua menjadi 8.
Diungkap Jejen, mulanya, mereka dijanjikan pekerjaan sebagai admin atau pelayan investasi berbentuk mata uang Kripto di Thailand dengan gaji Rp 35 juta per bulan, namun kemudian dibawa ke Myawaddy, Myanmar dan dipekerjakan sebagai pelaku penipuan (scammer) daring. Mereka diberangkatkan bulan Mei dan Juni dengan menggunakan visa kunjungan. Dari 11 orang korban, delapan diantaranya telah melapor dan tercatat datanya di Kemenlu. Sementara tiga lainnya masih ditelusuri identitasnya. Mereka berasal dari Desa Kebonpedes, Jambenenggang, Cipurut dan Cireunghas. (antaranews.com, 11 September 2024)
Seperti yang kita ketahui bersama, Myanmar adalah negara konflik, maka keselamatan korban pun sangat terancam, oleh karenanya pihak keluarga yang belum melapor diharapkan segera melakukannya agar segera ditindaklanjuti. Jejen juga menyatakan bahwa mereka tidak hanya disekap, tapi juga disiksa dan tidak diberi makan dan minum kecuali makanan bekas, sisa dari pihak yang melakukan penyekapan.
Parahnya lagi, jaringan TPPO itu meminta tebusan sebesar Rp50 juta per orang, jadi totalnya 550 juta rupiah, untuk mempercepat pembebasan korban. Jejen pun telah menyampaikan hal itu kepada pihak keluarga. Besarnya biaya penebusan tersebut sebagai pengganti denda dan penyeberangan 11 orang korban dari Thailand ke Myanmar. SBMI pun telah berkoordinasi dengan Kementerian luar negeri terkait tebusan. Namun pihak Kemenlu menilainya sebagai bentuk pemerasan.
Baca juga: Tawuran Remaja Kian Meningkat, Butuh Solusi Hakiki
Kejadian ini bukan kali pertama di Indonesia. Dugaan adanya keterlibatan pihak aparat terus menguat. Hal itu ditegaskan oleh anggota I DPR dari fraksi partai Golkar, Dave Laksono. Menurutnya sindikat ini harus dibongkar hingga ke akar. Pemerintah harus melakukan edukasi dan pembelajaran kepada WNI yang menjadi korban.
Klise, perekonomian menjadi alasan utama dari keberangkatan mereka mengadu nasib di luar negeri. Susahnya mencari kerja di tanah air, ditambah iming-iming gaji besar membuat mereka tergiur dan berpikir pendek. Dorongan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, karena di negerinya sendiri kondisi ekonomi semakin tidak menentu. Jangankan lapangan pekerjaan, PHK justru terjadi di mana-mana. Sementara biaya hidup semakin tidak murah, baik harga kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Itu sebab bekerja di negara orang pun menjadi pilihan, walau harus mengabaikan keselamatan.
Maka, terjadinya peristiwa ini bukan sepenuhnya salah masyarakat. Mereka hanya berusaha bertahan di tengah sistem hidup yang kian carut-marut. Negara yang seharusnya memberi pengayoman, nyatanya abai akan tugasnya karena tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui penyediaan lapangan pekerjaan. Mereka dibiarkan bertarung sendiri di tengah sulitnya kehidupan.
Baca juga:Ancaman Moderasi bagi Generasi
Inilah realita hidup dalam naungan aturan kapitalis sekuler. Rakyat tidak lagi diutamakan karena penguasa sibuk melayani kepentingan para pemilik modal. Hubungan keduanya tidak lebih sebatas penjual dan pembeli, siapa yang kuat secara materi maka ia akan tetap bertahan di negeri ini. Jika ingin penghidupan layak, ia harus berusaha keras mencukupinya walau nyawa taruhannya. Alih-alih diayomi, masyarakat justru harus mati-matian mengupayakan kebutuhan agar masih bisa hidup di masa depan.
Oleh karena itu, untuk kasus TPPO ini seharusnya negara menjadi garda terdepan dalam melindungi. Mereka harus menyelamatkan dan mengembalikan para korban agar bisa kembali ke tanah air. Namun sayangnya pemerintah tidak serius menanganinya. Jangankan untuk masalah ini, urusan dalam negeri yang kian runyam pun mereka cenderung berlepas tangan.
Berulangnya kasus TPPO menunjukkan bahwa negara kapitalis sekuler telah gagal melakukan perlindungan terhadap rakyatnya. Berbeda dengan Islam, penguasa akan menanganinya sesuai syariat Allah yaitu dengan penerapan politik luar negeri. Ia akan bertanggung jawab penuh atas urusan warga negaranya karena kedudukannya sebagai pemimpin meniscayakan itu semua. Sebagai pelindung/perisai bagi umatnya. Rasulullah saw. bersabda dalam HR. Muslim:
“Sesungguhnya imam/khalifah adalah orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, dan jika ia memerintahkan selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.”
Politik luar negeri Islam tegak di atas asas pemikiran yang tetap yaitu penyebarluasan hukum Allah ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Terkait lalu lintas imigrasi, syariat membagi individu yang masuk wilayah hanya tiga kelompok, yaitu: warga negara setempat (baik muslim maupun kafir zimi), kafir muahid (mereka yang terikat perjanjian) dan kafir harbi (yang tidak terikat perjanjian).
Baca juga: Bangun Rumah Sendiri Kena Pajak
Untuk muslim dan kafir zimi mereka boleh keluar masuk tanpa paspor, untuk muahid diperlukan kesesuaian dengan isi naskah perjanjian yang disepakati. Sementara kafir harbi tidak boleh memasuki kecuali dengan izin khusus. Selain masalah politik luar negeri, negara yang berasaskan Islam juga akan menerapkan sistem ekonomi yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak harus bersusah payah mengadu nasib di negeri orang karena kebutuhannya telah terpenuhi.
Negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat baik primer, sekunder maupun tersier dengan dana yang diperoleh dari pengelolaan SDA baik tambang migas, minerba, menghidupkan tanah mati dan lain sebagainya. Tidak akan sekalipun penguasa memberi celah bagi swasta untuk mengelola dan mengeruk kekayaan alam milik kaum muslim, juga tidak akan dibiarkan terjadinya pengembangan harta secara haram, sehingga yang beredar di tengah masyarakat hanya yang halal dan berkah saja.
Peluang berulangnya kasus TPPO pun akan bisa dicegah mengingat sanksi yang diberlakukan negara akan memberi efek jera. Karena fungsinya sebagai zawajir (pencegah) agar orang lain yang bukan pelanggar tercegah dari melakukan hal yang sama. Juga sebagai jawabir (penebus) yang akan menebus dosa pelaku di akhirat kelak.
Namun semua itu hanya bisa dilaksanakan ketika syariat dilaksanakan secara sempurna dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam, kehadirannya menjadi janji Allah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Wallahu alam Bissawab. [Rens]
Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
