![]() |
| Sumber ilustrasi gambar: Tirto.id |
Dalam pandangan Islam, jika mengurus dan melayani seluruh warga bisa terselesaikan dengan kabinet yang ramping, maka tidak perlu mengangkat banyak orang yang nantinya membebani anggaran belanja untuk menggajinya.
Oleh Umi Lia
Member Akademi Menulis Kreatif
Beritanusaindo.my.id - OPINI - Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah "Castro" mengatakan bahwa saat ini negara telah memasuki lame duck period (masa bebek lumpuh) di mana parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemerintah sudah tidak bisa mengambil kebijakan di sisa masa jabatan yang penggantinya sudah ada. Namun DPR RI tetap mengesahkan RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang Kementerian Negara menjadi UU (Undang-Undang) pada rapat Paripurna, Kamis (19/9). Salah satu poinnya adalah mengenai jumlah kementerian yang boleh ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. (cnnIndonesia, 20/9/2024)
Sistem demokrasi yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Jadi pengangkatan para menteri atau penghentiannya menjadi hak khusus presiden. Masalahnya, telah menjadi kebiasaan bagi penguasa yang terpilih untuk bagi-bagi jatah kursi kekuasaan dan proyek pembangunan. Hal ini bisa dipahami mengingat mahalnya modal untuk meraih kekuasaan, karena dukungan menjadi sesuatu yang diperjualbelikan. Tidak ada lagi visi misi atau idealisme yang harus diperjuangkan oleh individu atau partai. Jabatan kekuasaan didukung oleh koalisi partai sehingga posisinya kuat. Di sisi lain parpol juga menganggap dukungannya terhadap pemegang kekuasaan sebagai investasi, bak utang yang harus dibayar.
Meski sudah diklarifikasi, fakta yang menguatkan akan adanya bagi-bagi kursi kekuasaan semakin nyata. Apalagi pemerintahan Prabowo-Gibran didukung oleh partai dan parpol (partai politik) yang bergabung, bahkan nonkoalisi juga ikut merapat. Sehingga tidak ada yang beroposisi dan berkedudukan sebagai pengoreksi pemerintah. Karena itulah para pengamat memprediksi akan terbentuk kementerian gemuk. Yang sebelumnya berjumlah 34 dihapus menjadi "sesuai kebutuhan". Itu semua untuk mengakomodasi dari over coalition ini. Sebelumnya presiden terpilih menyampaikan akan membentuk Zaken Kabinet yaitu kabinet yang diisi oleh para ahli yang profesional. Namun tetap saja mereka yang terpilih menjadi menteri harus direkomendasi oleh pimpinan partai.
Baca juga: Toleransi dalam Kapitalisme VS Toleransi dalam Islam
Hanya saja ada pengamat yang mengatakan bahwa Zaken Kabinet ini mustahil diterapkan pada pemerintahan yang koalisinya over kapasitas. Karena tujuan dukungan lebur ke arah perolehan kedudukan untuk memenuhi syahwat kekuasaan. Dengan begitu penambahan jabatan kementerian akan membuka lebar pos-pos kerusakan.
Hal ini terbukti dari sepuluh tahun kabinet yang dibentuk Jokowi. Nyaris semua pos jabatan dimanfaatkan parpol untuk menarik keuntungan. Sementara urusan kemampuan dan profesionalitas tidak diperhatikan. Maka tidak aneh jika kinerjanya kacau di tiap level karena jabatan tidak dipegang oleh ahlinya. Sehingga setiap tahunnya angka korupsi makin besar. ICW (Indonesian Corruption Watch) melaporkan ada 791 kasus pada tahun 2023, bahkan hampir naik tiga kali lipat dari tahun 2019 yang ada 271. Kerusakan ini bukan hanya pada individu pejabatnya, tapi yang lebih utama adalah akibat sistem yang diterapkan yaitu kapitalis sekuler.
Sistem ini tentu berbeda dengan Islam. Di mana struktur jabatan yang dibentuk harus mempertimbangkan dampaknya pada keterlaksanaan pengelolaan urusan rakyat. Jumlah pejabat yang diangkat harus berbanding lurus dengan kewajiban yang harus ditunaikan negara pada mereka. Jika mengurus dan melayani seluruh warga bisa terselesaikan dengan kabinet yang ramping, maka tidak perlu mengangkat banyak orang yang nantinya membebani anggaran belanja untuk menggajinya. Penguasa mempunyai hak mengangkat orang-orang yang amanah untuk membantunya, dan pengangkatan tersebut bukan untuk balas budi atau bagi-bagi kue kekuasaan.
Baca juga: Solusi Paripurna untuk Palestina
Agar kekuasaan membawa berkah bagi rakyat banyak, Islam memberikan rambu-rambunya. Pertama, mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan, jika tidak akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Kedua, kapasitas dan kapabilitas seseorang harus diperhatikan sebelum diangkat jadi pejabat. Rasulullah saw. berwasiat tentang hal ini dengan sabdanya:
"Jika amanah sudah disia-siakan maka tunggulah Hari Kiamat. Ada orang bertanya, bagaimana amanah itu disia-siakan? Nabi saw. menjawab, jika suatu urusan (amanah) diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat." (HR al-Bukhari)
Ketiga, fungsi jabatan di tangan penguasa adalah untuk mengurus rakyat, bukan mengeksploitasinya demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Mengabaikan urusan masyarakat serta menipunya merupakan kejahatan besar dan ancamannya adalah neraka. Jika pemimpin berkhianat maka yang jadi korban bukan hanya satu atau dua orang, tapi seluruh warga yang dipimpinnya. Maka wajar ancamannya di akhirat sangat mengerikan.
Keempat, amanah mengurus rakyat ini bisa dilakukan dengan penerapan syariah Islam. Karena itulah taklif (tugas) para penguasa adalah untuk menjalankan hukum-hukum Allah Swt. Jika tidak begitu maka tidak akan pernah terwujud pemimpin yang adil dan kesejahteraan pun hanya sekedar angan-angan. Penerapan sistem yang sahih ini akan menjadi bukti keimanan hamba pada Sang Pencipta serta akan membawa keberkahan bagi rakyat. Hal itu merupakan jaminan dari-Nya dan sudah terbukti dalam sejarah panjang peradaban Islam.
Wallahu a'lam bish shawab. [Rens]
Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
