Mekanisme self declare yang mengizinkan perusahaan mengklaim kehalalan produk mereka sendiri menimbulkan kekhawatiran tentang jaminan kehalalan suatu produk. Apakah mekanisme ini sudah cukup? Bagaimana Islam memandang persoalan ini?
Oleh Anisa Khanza
Pegiat Pena Banua
Beritanusaindo.my.id - OPINI - Setiap manusia memerlukan makanan dan minuman untuk bertahan hidup, baik laki-laki, perempuan, muda, tua, kaya, maupun miskin. Kebutuhan ini tidak bisa diabaikan dan harus dipenuhi setiap hari. Namun, yang akan dipertanyakan oleh Allah SWT adalah apakah makanan yang kita konsumsi berasal dari sumber yang halal, serta apakah makanan tersebut juga halal dan baik untuk tubuh kita. Karena itulah, sebagai seorang muslim, kita perlu memperhatikan dengan serius setiap makanan yang kita konsumsi, karena itu akan memengaruhi tingkat ketakwaan kita kepada Allah Swt..
Baru-baru ini, masyarakat muslim Indonesia dikejutkan dengan temuan produk-produk yang menggunakan nama-nama kontroversial, seperti tuyul, tuak, beer, dan wine. Anehnya, produk-produk dengan nama seperti ini mendapat sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Ketua MUI Bidang Fatwa, Bapak Asrorun, menjelaskan bahwa produk tersebut memang telah mendapatkan sertifikat halal melalui mekanisme self declare, yaitu pernyataan status halal produk oleh pelaku usaha mikro dan kecil, meskipun tetap ada mekanisme yang harus diikuti (Sumber: www.beritasatu.com, 01.10.24)
BPJPH Kementerian Agama menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada kehalalan produknya, melainkan pada penamaannya. Mereka memastikan bahwa produk yang telah mendapatkan sertifikasi halal sudah melalui semua tahapan pengujian. Penamaan produk halal ini juga telah diatur melalui regulasi SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal dan fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal. BPJPH juga menekankan bahwa meskipun ada pro dan kontra terkait penamaan produk, hal ini hanyalah perbedaan pendapat di kalangan ulama (Sumber: kumparan.com, 03.10.24).
Baca juga: https://www.beritanusaindo.my.id/2024/10/serangan-zionis-makin-masif-dan.html
Selain itu, dari sisi industri pariwisata, terdapat dukungan untuk legalisasi penjualan minuman keras (miras). Deddy Pranowo, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menyatakan bahwa minuman beralkohol penting bagi industri pariwisata, terutama untuk melayani wisatawan asing. Namun, beliau menekankan bahwa peredaran minuman keras harus diatur ketat oleh pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan (Sumber: kumparan.com, 03.10.24).
Bukan hanya produsen, tetapi jasa retailer makanan dan minuman seperti supermarket dan minimarket juga diwajibkan melakukan sertifikasi halal, meskipun mereka menjual produk non-halal. Mereka harus memisahkan fasilitas antara produk halal dan non-halal untuk menghindari kontaminasi, menurut Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati (Sumber: kumparan.com, 04.10.24)
Mekanisme self declare yang mengizinkan perusahaan mengklaim kehalalan produk mereka sendiri menimbulkan kekhawatiran tentang jaminan kehalalan suatu produk. Apakah mekanisme ini sudah cukup? Bagaimana Islam memandang persoalan ini?
Baca juga: Toleransi dalam Kapitalisme VS Toleransi dalam Islam
Permasalahan seperti ini bukanlah hal baru dalam sistem kapitalis-sekuler. Nama produk tidak menjadi asas kehalalan, padahal penamaan tersebut kerap kali digunakan untuk produk haram. Hal ini jelas menimbulkan kebingungan bagi konsumen dan dapat membahayakan, karena menyangkut persoalan prinsipil dalam Islam. Namun, di bawah sistem sekuler, negara memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih, tanpa campur tangan yang berarti.
Negara hanya menyediakan layanan sertifikasi halal berbayar, dan produsen yang ingin mendapatkan sertifikat halal harus membayar. Bahkan, jika produk mereka halal, tanpa sertifikat, status kehalalannya bisa dipertanyakan. Hal ini menjadi ladang bisnis, padahal seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Di bawah sistem yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah, negara akan hadir sebagai pelaksana syariat Islam, memastikan rakyatnya dijauhkan dari barang dan perbuatan haram. Kehalalan suatu produk tidak disandarkan pada kepentingan komersial, melainkan pada dalil syariat. Negara bertanggung jawab memastikan kehalalan produk dari produksi hingga distribusi, serta memberikan layanan sertifikasi dengan biaya rendah atau bahkan gratis.
Baca juga: Solusi Paripurna untuk Palestina
Selain itu, negara yang menerapkan syariat Islam akan menugaskan qadhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, hingga pabrik. Mereka bertugas memastikan kehalalan produk serta mencegah kecurangan. Jika ditemukan peredaran barang haram, baik yang dilakukan oleh muslim maupun nonmuslim, negara akan memberlakukan sanksi ta'zir. Namun, nonmuslim diperbolehkan mengonsumsi makanan dan minuman menurut agama mereka, asalkan peredarannya dibatasi hanya di kalangan mereka sendiri. bukan di tempat umum baik toko atau pasar umum
Inilah gambaran penerapan syariat Islam oleh sebuah negara yang akan memberikan ketenangan bagi umat Islam, di mana seluruh aturan kehidupan, termasuk kehalalan produk, dijamin oleh negara.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab. [Rens]
Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
