Rancu Halal Haram Koyak Rasa Aman

Goresan Pena Dakwah
0


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Beritanusaindo.my.id--OPINI, Seringkali pengusaha memberi nama pada produk yang mereka hasilkan dengan nama yang unik agar mudah diingat. Sah-sah saja, karena itu bagian dari teknik pemasaran. Dengan nama unik, masyarakat jadi tertarik dan mengingatnya terus kemudian menjadi langganan atau konsumen setia. 


Namun menjadi aneh jika seorang muslim, memberi nama pada produknya dengan sesuatu yang identik dengan apa yang diharamkan Allah, seperti tuyul, tuak, bir, serta wine, kemudian lanjut lolos sertifikasi halal. 


Padahal telah terbit Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, juga mengatur soal penamaan produk halal. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, menjelaskan bahwa isu ini lebih kepada penamaan produk, bukan soal kehalalan substansi produknya. 


Mamat meyakinkan masyarakat akan kehalalan produk dengan nama tersebut sebab sudah sesuai SNI 99004:2021 dan Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020, artinya pelaku usaha tidak bisa mengajukan pendaftaran sertifikasi halal apabila nama produknya bertentangan dengan syariat Islam (kompas.com, 1-10-2024).

Baca juga: 

Bahasa Suryani, Sesatnya Mengapa Kian Viral? 


Di sisi lain, Mamat tidak bisa memungkiri bahwa masih ada nama produk yang tidak sesuai SNI 99004:2021 dan Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020, namun mendapatkan sertifikat halal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan di antara ulama terkait penggunaan nama-nama tersebut dalam proses sertifikasi halal. 


Contohnya, produk dengan nama yang mengandung kata 'wine' yang telah mendapat sertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, sementara 53 produk lainnya memperoleh sertifikat halal dari Komite Fatwa Produk Halal. Produk-produk itu telah melalui pemeriksaan dan pengujian dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dengan mayoritas berasal dari LPH LPPOM MUI.


Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, Dzikro, perbedaan pandangan terkait penamaan produk ini hanyalah soal penggunaan istilah, bukan mengenai kehalalan substansi produk. BPJPH pun mengajak semua pihak untuk duduk bersama guna menyamakan persepsi, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.


Hasil penelusuran MUI menunjukkan, produk dengan nama atau merek bir hingga tuyul mendapat sertifikat halal dari BPJS melalui jalur self declare. Adapun, jalur self declare membuat produk bisa mendapatkan sertifikat halal tanpa melalui penetapan kehalalan Komisi Fatwa MUI dan audit dari Lembaga Pemeriksa Halal. Miris!


Kapitalisme Bluder Halal Haram


Sebuah negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, namun dari tahun ke tahun persoalan hanya berputar pada produk halal haram. Rasa aman masyarakat terkoyak, rasa percaya pun menghilang melihat upaya pemerintah yang setengah hati dalam menyelesaikannya. 


Masyarakat di hadapkan pada fakta banyaknya produsen yang masih menghalalkan segala cara dalam mencari untung, sehingga ada ayam tiren, bakso campur daging tikus, cendol dicampur pewarna pakaian, tahu direndam boraks dan lainnya. Soal penamaan makananpun beragam, rawon setan, bakso kuntilanak dan yang terakhir viral wine, biar tapi halal dan makanan dengan nama tuyul. 

Baca juga: 

TPPO, Potret Rusak Sistem Demokrasi


Jelas masyarakat butuh diedukasi, bukan sekadar pemberian nama, namun meraih berkah dan rida Allah lebih utama. Butuh negara dengan fungsi pelayan umat, bukan yang hanya pandai mendorong rakyat untuk produktif meski menabrak rambu-rambu agama. 


Jaminan makanan halal dan thayib juga seharusnya menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Sebab berkaitan dengan ibadah, makanan yang tidak halal dan thayib akan berpengaruh pada kepribadian seseorang sehingga tidak bisa beribadah dengan sempurna. Sayangnya, ketika negara ini menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, hal itu tak akan pernah terwujud. 


Mindset kapitalisme hanya berfokus pada untung dan rugi. Bukan halal haram, sebab landasannya adalah memisahkan agama dari kehidupan. Tak juga butuh toyyib, apa yang praktis, hanya butuh modal sedikit dan booming itu yang akan dilakukan. 


Akibatnya, banyak penyakit bermunculan di tengah masyarakat, dari yang ringan hingga yang berat. Ironinya itu tidak terjadi pada kelas atas, yang mampu menyediakan makanan tak hanya empat sehat lima sempurna namun jauh dari jangkauan. Baik dari sisi harga maupun kualitas. 


Islam Jaminan Rasa Aman Terhadap Makanan


Sungguh, jika kita melihat pada sejarah kejayaan kaum Muslim. Banyak sekali kita mendapatkan ragam makanan yang diramu oleh ahlinya, menggunakan bahan berkualitas dan jelas menunjukkan perhatian yang sangat pada kebutuhan utama manusia, makan dan minum. 


Alasan lainnya mengapa kita harus kembali pada pengaturan Islam, hanya Islam yang mampu tegas memberikan sanksi pada pelanggaran penggunaan bahan makanan dan minuman yang tidak halal dan thayib. Saat minuman keras ( hasil fermentasi anggur, kurma dan aneka biji-bijian) menjadi kultur budaya yang kuat di masyarakat Arab Jahiliyah, bahkan hingga masuk dalam bait-baik syair, mampu diubah ketika dakwah Islam semakin meluas. 


Dalam buku Food Culture and Health in Pre- Modern Muslim Societies yang diedit David Waines, terungkap bahwa ekspansi wilayah membuat Muslim mengadopsi bahan makanan dan produksinya dari wilayah baru itu. Namun, standar yang diatur Islam mengenai makanan tetap dipertahankan. 


Terjadinya pertukaran budaya, termasuk bahan dan cara pengolahan makanan tetap mampu membuat kaum Muslim berada pada garis apa yang diperintahkan agama. Negara sangat selektif dan sanksi pun sangat adil dijatuhkan jika ada pelanggaran. 


Ibnu Tamiyyah mengungkapkan, Rasulullah tidak hanya melarang meminum minuman keras, tapi juga segala kegiatan yang berkaitan dengan itu, mulai dari menjual buah untuk dijadikan minuman keras, menerima atau memberikannya sebagai hadiah, menjual serta mendistribusikannya (republika.co.id, 14-8-2014). 


Para Khalifah berijtihad terkait sanksi para pelanggar itu, seperti Umar bin Khattab, menyatakan minuman keras dan segala sesuatu yang mengacaukan kesadaran akal adalah terlarang. Ali bin Abi Thalib melakukannya kepada an-Najasyi. Sementara, Abu Bakar Siddiq menghukum 50 cambukan, 40 hukuman utama, dan 10 cambukan tambahan karena mabuk saat Ramadhan.

Baca Juga: 

Merubah Pemahaman Umat agar Sesuai Dengan Islam


Beberapa dalil sangat jelas menunjukkan bahwa makanan harus dijaga dari keharaman, sahabat Sahl ra. berkata, “Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau.” ( Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 2, hlm. 91). Allah Swt berfirman yang artinya: “Wahai manusia! makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi…” (TQS. Al Baqarah:168). 


Jelas tak ada proses self declare, sebagaimana dalam sistem kapitalisme, yang memberi kelonggaran individu atau pelaku usaha melakukan deklarasi mandiri kehalalan produknya tanpa melibatkan prosedur yang ditetapkan undang-undang. Menunjukkan kelemahan negara dalam sistem kapitalisme, karena self declare juga resmi dan berpayung hukum, aroma kapitalisme jelas menguar. Proses yang panjang, rumit, butuh waktu dan tenaga ekstra dirasa sangat menghambat maka dibuatlah undang-undang baru demi sebuah kelonggaran dan keuntungan. 


Dan  peran MUI yang tereduksi dalam menetapkan sertifikasi halal, adalah keniscayaan dalam sistem kapitalisme,  berpayung hukum pula, yaitu Omnibus Law UU Ciptaker, terkait aturan sertifikasi halal yang memberi ruang kepada BPJPH dan memungkinkan pihak lain mendeklarasikan sendiri ( self declare ) bahwa produknya halal. Semua disesuaikan kehendak pelaku bisnis. 


Menjadi kewajiban kita semua untuk mengadakan perubahan, dengan kembali pada aturan Allah SWT. Wallahualam bissawab. [ry].



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)