Oleh: Nashila Mumtazah
Beritanusaindo.my.id--OPINI, Bagai menuai kepahitan di tengah tingginya harapan kesejahteraan, begitulah nasib Warga Negara Indonesia (WNI) yang pergi merantau di Myanmar. Mereka yang tujuannya pergi bekerja untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah malah justru disekap, diperlakukan kasar dan bahkan hanya diberi makan sekali sehari.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi menyebutkan ada 11 warga kabupaten Sukabumi, Jawa Barat diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan disekap di Myanmar. Adapun 11 korban berasal dari Desa Kebonpedes, Jambenenggang, Cipurut dan Cireunghas, Kecamatan Kebonpedes. Sementara itu, mereka diiming-imingi gaji sebesar Rp. 12-13 jt (Antaranews.com, 11-09-2024).
Baca juga:
Merubah Pemahaman Umat Agar Sesuai dengan Islam
Miris rasanya melihat fakta menyedihkan dan memilukan seperti ini menimpa WNI. Namun TPPO bukan hal yang baru terjadi, melainkan sejarah yang terus berulang. Tercatat pada tahun 2020 hingga Juni 2023, SBMI telah mendokumentasikan kasus TPPO sebanyak 1.343 kasus. Sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebanyak 362 kasus.
Sektor pekerjaan lainnya yang mengikuti yaitu dengan modus Online Scam sebanyak 279 kasus, sektor peternakan sebanyak 218 kasus, buruh pabrik sebanyak 193 kasus, Awak Kapal Perikanan (AKP) Migran sebanyak 153 kasus dan diikuti oleh sektor pekerjaan lainnya. Korban-korban TPPO tertinggi dialami oleh laki-laki dengan 882 korban dan perempuan sebanyak 461 korban.
Ini mengindikasikan bahwa TPPO merupakan kasus tragis yang selalu menargetkan rakyat. Banyaknya korban TPPO, itu tidak terlepas dari beberapa faktor diantaranya:Pertama, minimnya peluang kerja.
Mencari pekerjaan di Indonesia sangatlah sulit, terlebih lagi peluang kerja hanya sedikit dan harus memenuhi kriteria tertentu semisal harus good looking, stylish, dan lain-lain. Sehingga jika ada yang tidak memenuhi kriteria, endingnya menjadi pengangguran. Tidak heran Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang, dari sebelumnya pada Februari 2023 yang mencapai 7,99 juta orang. Maka tidak sedikit rakyat yang menginginkan bekerja di luar negeri karena melihat realita bagaimana susahnya mencari pekerjaan di dalam negeri.
Kedua, hilangnya peran negara. Negara yang menganut sistem kapitalisme, hanya menjadi fasilitator bukan menjadi periayah sehingga urusan-urusan keumatan tidak diperdulikan lagi.
Kasus TPPO menunjukkan bahwa negara sekuler kapitalis telah gagal menjadi pelindung dan pengayom bagi rakyatnya. Hal ini sangat berbeda dengan negara khilafah ketika menangani kasus TPPO melalui penerapan politik luar negeri sesuai syariat Islam.
Politik luar negeri daulah Islam adalah hubungannya dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain. Hubungan ini adalah bentuk pemeliharaan urusan-urusan umat di luar negeri. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,“ Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai (junnah), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).
Baca juga:
Bahasa Suryani,Mengapa Sesatnya Kian Viral?
Khilafah juga menerapkan politik ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan jaminan tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok untuk setiap individu rakyat dan memberikan kesempatan untuk dapat memenuhi kebutuhan lain sesuai kemampuannya.
Sehingga rakyat tidak akan mengalami kenyataan pahit terkait dengan pemasukan ekonomi bagi rumah tangga. Warga khilafah tidak perlu bersusah payah bekerja di luar negeri demi memperoleh gaji tinggi. Ini sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan jaminan kesejahteraan bagi rakyat.
Khilafah akan menutup berbagai celah yang memungkinkan terjadinya pengembangan harta secara haram sehingga harta yang masuk ke Baitulmal (kas negara) maupun yang beredar di tengah-tengah masyarakat adalah harta yang halal dan berkah.
Nominal gaji yang diberikan oleh pemerintah kepada para pegawai negara ditetapkan menurut pendapat khubara’ (para ahli) sesuai dengan jenis pekerjaannya agar mereka tidak kekurangan gaji atau harta sampai-sampai harus menjadi orang-orang yang mudah menerima suap, termasuk untuk meloloskan para pelaku TPPO.
Khilafah akan menerapkan sistem sanksi yang tegas dan berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Makna “pencegah” adalah agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama. Sedangkan “penebus” maknanya sanksi tersebut akan dapat menebus dosa pelaku.
Hal ini dalam rangka menutup berbagai peluang munculnya kasus TPPO beserta aparat yang bisa disuap untuk memuluskannya sehingga kasus TPPO tidak akan berulang.Wallahu'alam. [ry].

