Korupsi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

Goresan Pena Dakwah
0


Oleh: Mutiara Islami 

Pegiat Pena Banua


Beritanusaindo.my.id--OPINI, Kejaksaan Agung mengumumkan adanya dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015. Tersangka tersebut adalah mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (TTL), serta Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial CS (Kompas.com, 30-10-2024). 


Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Khusus, Abdul Qohar, menyatakan bahwa impor gula kristal putih seharusnya hanya dilakukan oleh BUMN. Namun, Thomas Lembong malah memberi izin kepada PT AP untuk melakukan impor tersebut. Abdul menyebutkan bahwa impor gula kristal mentah itu dilakukan tanpa adanya rapat koordinasi dengan instansi terkait dan juga tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (BBC News.com, 29-10-2024).


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan bahwa penggunaan fasilitas pesawat jet pribadi oleh Kaesang Pangarep, putra Presiden Ketujuh RI, Joko Widodo, dalam perjalanannya ke Amerika Serikat bukan termasuk gratifikasi. Hal ini dikarenakan Kaesang bukan penyelenggara negara dan telah tinggal terpisah dari orang tuanya (Kompas.com, 1-11-2024). 


Namun, alasan KPK ini dinilai tidak sesuai karena Kaesang dikenal sebagai putra Presiden Jokowi. Pemberian fasilitas untuk Kaesang tampaknya dilakukan karena ia adalah putra presiden, bukan sekadar sebagai individu. Dengan demikian, fasilitas jet pribadi tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, yang termasuk salah satu bentuk korupsi sesuai Pasal 12B dan 12C UU Tipikor. 


Pasal 12B ayat 1 UU Tipikor menyebutkan bahwa gratifikasi tidak hanya berupa barang, tetapi juga bisa berupa fasilitas atau jasa. Keputusan KPK yang membebaskan Kaesang menunjukkan adanya dugaan campur tangan kekuasaan dalam pengusutan kasus tersebut.

Baca juga: 

Malulah Kalian Kepada Allah!


Korupsi masih menjadi masalah serius di negeri ini. Sayangnya, penanganan kasus korupsi dilakukan dengan cara yang berbeda-beda oleh pemerintah. Misalnya, dalam kasus korupsi impor gula dan kasus jet pribadi, terdapat perbedaan sikap dalam penanganannya. 


Pemerintah terkesan tebang pilih, terlihat dari beberapa kasus korupsi yang penyelesaiannya lambat bahkan ada yang tidak pernah selesai meskipun terjadi bertahun-tahun lalu, seperti kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun, kasus Bank Century, Dana BLBI, dan KTP elektronik.


Praktik tebang pilih dalam penanganan korupsi ini lazim terjadi dalam sistem sekuler kapitalis. Dalam sistem ini, kekuasaan cenderung korup karena tidak ada kontrol agama terhadap perilaku manusia saat mereka memegang kekuasaan. 


Agama hanya diizinkan dalam sektor privat seperti akidah, akhlak, dan ibadah, sedangkan dalam sektor publik, termasuk sistem politik negara, agama tidak ikut campur. Akibatnya, kekuasaan menjadi liberal, memungkinkan para pemimpin untuk bertindak semaunya demi mempertahankan kekuasaan, termasuk dalam hal korupsi.


Dalam sistem kapitalisme sekuler, manusia dijadikan sebagai pembuat hukum. Aturan dibuat sesuai keinginan manusia demi kelangsungan kekuasaan, termasuk memberi celah bagi praktik korupsi. Sistem hukum dan penafsiran hukuman ditentukan sesuka hati sehingga rezim berkuasa aman dari jeratan hukum meskipun korup.

Baca juga: 

Nasib Tragis Guru Kini, Hilang Nurani


Sebaliknya, lawan politik bisa dijerat dengan berbagai cara. Akibatnya, dalam sistem ini, kekuasaan tidak tunduk pada hukum, tetapi justru mempermainkannya. Korupsi tidak diberantas secara tuntas, melainkan dipilih-pilih, padahal penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas jika ingin memberantas korupsi tanpa pandang bulu.


Dalam Islam, korupsi adalah tindakan haram dan pelakunya berdosa. Rasulullah SAW. bersabda: "Siapa saja yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan (ghulul)." (HR Abu Dawud). 


Dalam hadits lain, Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang melakukan ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat." (HR At-Tirmidzi). Gratifikasi pun termasuk dalam harta ghulul. Rasulullah bersabda, "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur." (HR Ahmad).


Islam menyelesaikan masalah korupsi tidak hanya pada konsep, tetapi juga secara konkret dengan menutup semua celah korupsi. Secara prinsip, sistem Islam membentuk akidah Islam dalam diri individu melalui pendidikan, halaqah para ulama, dakwah para dai, dan konten di media massa maupun media sosial. Hal ini menciptakan kontrol diri pada umat Islam untuk selalu taat pada syariat dan menjauhi maksiat, termasuk korupsi.


Islam menutup semua celah korupsi, termasuk bagi para aparat. Sistem Islam menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Siapa pun yang bersalah akan dihukum meskipun ia adalah anak seorang khalifah. 

Baca juga: 

Keniscayaan Nasib Malang Buruh Dalam Kapitalisme


Hal ini dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Ketika ia melihat unta milik putranya gemuk karena dipelihara di tempat khusus untuk unta baitulmal, Umar segera memerintahkan agar unta tersebut dijual dan keuntungan dimasukkan ke baitulmal. Ketegasan Umar ini mencegah terjadinya korupsi, baik bagi dirinya maupun keluarganya. Dengan menerapkan sistem Islam, insyaAllah negeri akan terbebas dari korupsi. Wallahu a'lam bish-shawab. [RY].

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)