Saat Pemalak Serukan Taat Pajak

Admin Beritanusaindo
0

 



Tampak jelas adanya perbedaan perlakuan pemerintah antara pengusaha dan masyarakat. Kepada rakyat kecil penagihan pajak dikejar hingga door to door, sementara pada para pelaku usaha kelas kakap justru berlaku lembut dan fleksibel. Inilah ciri khas negara kapitalis. Pajak menjadi senjata negara untuk memalak rakyat.



Oleh Irma Faryanti 

Pegiat Literasi 




Beritanusaindo.my.id - OPINI -Para pengendara harus bersiap dengan kebijakan baru yang telah ditetapkan. Tim pembina Samsat akan mendatangi rumah setiap pemilik kendaraan yang menunggak pajak, untuk mengingatkan mereka agar menunaikan kewajibannya. Beberapa cara pun dipersiapkan Korlantas Polri agar masyarakat patuh membayarnya.


Salah satunya adalah dengan mendatangi rumah pemilik kendaraan, hal itu ditempuh karena tingkat kepatuhan masyarakat dalam melakukan perpanjangan STNK sangat minim. Dari total 165 unit yang terdaftar, tidak sampai separuhnya yang menunaikan pajak. Kakorlantas Polri, Pol Aan Suhanan menyatakan bahwa tindakan ini merupakan pendekatan soft power, selain ditujukan untuk mengingatkan kewajiban membayar juga melakukan pengecekan validitas data. (Oto.detik.com, Kamis, 7 November 2024)


Kewajiban membayar pajak kendaraan telah jelas diatur dalam UU no 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Di mana dijelaskan pada pasal 4 tentang wajib pajak kendaraan bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor. Kendati demikian, masyarakat tetap saja abai menunaikannya. Alasan terbesar keengganan itu adalah karena mahalnya biaya bea balik nama. Karena umumnya mereka membeli bekas. Tidak sedikit yang menunggu adanya momen pemutihan yang wewenangnya ada pada Pemerintah Daerah.


Hal ini nampak kontras dengan kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang justru membebaskan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terhadap mobil listrik impor. Aturan ini diberlakukan sejak 15 Februari 2024 lalu. Besaran yang ditanggung pemerintah pun cukup fantastis, yaitu mencapai 100%, jadi pengusaha mendapatkan tarif bea masuk 0 persen. Ketetapan tersebut berlaku selama Januari hingga Desember. 


Kebijakan itu tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 9 tahun 2024, tentang PPnBM atas impor dan atau penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor listrik berbasis materai roda empat tertentu yang ditanggung pemerintah tahun anggaran 2024. Ketetapan yang cenderung memanjakan para pengusaha juga jelas terasa ketika Menkeu memperpanjang fasilitas tax holiday hingga 31 Desember 2025, dengan dalih untuk menarik lebih banyak investasi asing ke Indonesia. Saat berbagai negara tengah menerapkan pajak minimum global sebesar 15 persen, negeri ini justru membebaskannya.


Dari fakta ini tampak jelas adanya perbedaan perlakuan pemerintah antara pengusaha dan masyarakat. Kepada rakyat kecil penagihan pajak dikejar hingga door to door, sementara pada para pelaku usaha kelas kakap justru berlaku lembut dan fleksibel. Padahal tingkat kemampuannya sangat jauh berbeda. Di mana saat ini rakyat tengah didera kesulitan, mulai dari kebutuhan hidup yang kian melambung tinggi, sementara pekerjaan semakin susah didapat, PHK dimana-mana. Ditambah lagi dengan tuntutan berbagai pembayaran pajak, tentu hal ini semakin memberatkan.


Sementara di sisi lain, para pengusaha justru diberi keringanan pajak. Hal ini jelas sebuah bentuk ketidakadilan, karena mereka terkesan dimanjakan dan diberi perlakuan istimewa. Dengan dalih ramah investasi, para investor tersebut diberi insentif, disinilah keberpihakan itu tampak nyata. Selama ini, sektor pajak menjadi sumber pemasukan negara, realisasinya naik 5,9% (Rp2.155,4 triliun) dari 2022-2023. Namun tidak kunjung berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.


Pungutan pajak ternyata tidak mampu membantu berbagai kesempitan hidup yang dirasakan masyarakat. Biaya pendidikan, kesehatan, transportasi juga kebutuhan pokok, semakin melambung tinggi dan tidak terkendali. Di sisi lain, subsidi justru dikurangi bahkan dihilangkan. Rakyat terlunta-lunta dalam derita, sementara para pejabat dan korporat lah yang menikmati hasilnya. Inilah realita derita dalam naungan kapitalis.


Sebagai negara yang berasaskan kapitalisme, Indonesia menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan untuk membiayai kebutuhan negeri. Dengan potensi kekayaan SDA, seharusnya pemerintah mampu memanfaatkannya, sayangnya hal itu urung dilakukan. Pemerintah justru menyerahkan pengelolaannya pada pihak swasta dengan dividen yang sangat kecil.


Fakta ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dalam negara yang berasaskan Islam. Di mana penguasa didudukkan sebagai ra’in (pengurus) atas urusan rakyat. Rasulullah saw. bersabda dalam HR Bukhari:“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya,”


Dari sisi politik, negara akan menjalankannya sesuai tuntutan syariat. Kebutuhan pokok rakyat berupa pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan akan menjadi prioritas untuk dipenuhi. Sistem ekonomi Islam akan diterapkan baik dalam bidang industri, pertanian dan perdagangan, sehingga membuka lapangan pekerjaan. Maka kepala keluarga sangat memiliki peluang untuk bekerja dan menafkahi keluarganya.


Negara juga akan menyediakan berbagai sarana untuk pendidikan, kesehatan dan keamanan. Semua itu akan diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Begitu pula halnya dengan berbagai fasilitas publik seperti: transportasi, bahan bakar minyak, listrik, gas dan lain sebagainya akan diperoleh rakyat dengan harga murah dan mudah didapatkan. Dengan begitu, terwujudnya kesejahteraan masyarakat pun akan menjadi sesuatu yang niscaya.


Pemenuhan kebutuhan pokok yang dilakukan negara pembiayaannya diambil dari baitulmal yang sumber pemasukannya berasal dari tiga bagian, yaitu: Pertama, fai dan kharaj (yang termasuk juga di dalamnya: ganimah, status tanah, jizyah, dharibah). Kedua, kepemilikan umum (migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, hutan, padang rumput). Ketiga, zakat (uang dan perdagangan, pertanian dan buah-buahan, ternak sapi, unta dan kambing.


Dengan kekayaan alam melimpah yang dimiliki negeri-negeri Islam, dan dikelola sesuai syariat maka akan mendatangkan maslahat bagi umat. Negara dapat memenuhi kebutuhan rakyat tanpa harus bergantung pada pajak. Karena pungutan itu, pun jika diberlakukan hanya dalam kondisi ketika kas baitulmal kosong, dan tidak boleh dilakukan secara terus menerus. Pemungutan itu juga hanya dilakukan pada laki-laki muslim kaya saja, sementara perempuan, anak-anak orang miskin dan non muslim tidak dikenakan atasnya.


Demikianlah pandangan Syariat terkait pajak, bukan untuk memalak terlebih menimbulkan kezaliman. Hanya dalam sebuah sistem Islam semua itu akan terwujud sempurna, sehingga kemuliaan dan keberkahan senantiasa menaungi kaum muslim.

Wallahu alam Bissawab. [Rens]

Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)