![]() |
Arini Faiza |
Terungkapnya berbagai kasus judi semakin membuktikan bahwa sistem yang diterapkan saat ini telah rusak. Tidak adanya hukum yang tegas membuat pelaku judi tidak jera meski sudah sering tertangkap.
Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi
Beritakan.my.id - OPINI - Miris, di tengah kesulitan ekonomi yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia, keberadaan judi online justru semakin merajalela. Ketua Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan bahwa perputaran uangnya di Indonesia mencapai Rp 1.200 triliun pada 2025. Jumlah ini naik sekitar 200 triliun jika dibandingkan dengan tahun 2024.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi lll DPR RI dari fraksi PKB, Hasbiallah Ilyas, menyebut bahwa judol sangat meresahkan, jika terus dibiarkan akan semakin membuat ekonomi rakyat terpuruk. Ia berharap pemerintah bertindak tegas tanpa pandang bulu, baik pemain, maupun aparat yang menjadi backing dan mafia judi daring. Semua pihak yang terkait harus mendapatkan hukuman yang berat jika terbukti telah memfasilitasi bahkan mendukung kejahatan ini. (detikNews.com, 24/04/2025)
Merebaknya judi online di negeri ini sungguh mengundang keprihatinan banyak pihak. Bagaimana tidak, pengguna platform ini sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah yang rentan terhadap berbagai krisis terutama masalah ekonomi. Pada November 2024 pengguna judol di Indonesia berkisar 8,8 juta orang. Dari jumlah ini 97.000 di antaranya adalah anggota TNI/Polri, 1.9 juta pegawai swasta, dan 80.000 adalah anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun.
Bukan hanya itu, yang lebih membuat publik geleng-geleng kepala adalah ternyata mafia judol berasal dari instansi pemerintah yang seharusnya melakukan pemberantasan. Pada November 2024 lalu kepolisian menangkap dua tersangka yang merupakan pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi). Mereka bertugas menampung uang hasil kejahatan.
Berbagai alasan dikemukakan oleh pelaku judol, di antaranya timbul perasaan bahagia ketika berjudi, terutama jika menang. Padahal kemenangan itu sejatinya telah diatur oleh operator agar pemain terus mengeluarkan uangnya, ketika uang sudah keluar semua, maka pemain dipastikan akan kalah. Kesulitan hidup terkadang membuat seseorang gelap mata hingga melakukan segala cara untuk menghasilkan uang dengan mudah, dan berjudi pun seolah menjadi pilihan yang menyolusikan. Apalagi iklan judi online sering muncul hampir disetiap platform media.
Mengingat bahwa pengguna judol sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah, maka tidak bisa dimungkiri bahwa hal ini terkait dengan kesenjangan dan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Yang miskin tetap menderita, dan yang kaya semakin jaya sepertinya bukan hanya kata-kata semata. Penguasa lalai dalam meningkatkan taraf hidup warga kelas bawah, ini terbukti dengan terjadinya inflasi, daya beli rendah, harga kebutuhan pokok melejit, bahkan badai PHK terus melanda para pekerja.
Sebaliknya, para pengusaha swasta baik asing maupun aseng seolah dianakemaskan demi menggenjot investasi. Padahal investasi tidak berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat secara nasional. Sebab, kebijakan pemerintah cenderung menguntungkan para kapital, bukan berpihak pada pekerja. Maka tidak heran jika rakyat merasa dianaktirikan, dibiarkan melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa mempedulikan lagi standar halal-haram, sehingga banyak terlibat judi online.
Sesungguhnya judol merupakan jalan pintas yang berakhir sengsara. Jangankan mendapatkan kebahagiaan karena menang taruhan, justru sebaliknya mereka semakin menderita akibat kehabisan uang. Akhirnya demi memenuhi nafsu berjudi segala cara pun dilakukan untuk mendapatkan suntikan dana, salah satunya mengambil pinjaman online. Setali tiga uang, pinjol pun sama berbahayanya dengan judol, bahkan banyak kasus bunuh diri karena tak bisa membayar utang.
Judol maupun pinjol seperti lingkaran setan, sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Kemajuan teknologi digital seperti pisau bermata dua, di satu sisi memberikan banyak kemudahan informasi, tapi jika disalahgunakan justru bisa menjadi bumerang yang dapat menjerumuskan manusia pada kesengsaraan. Apalagi di era kapitalisme seperti saat ini di mana semua serba boleh, manusia bebas melakukan apa pun tanpa peduli apakah merugikan diri sendiri ataupun orang lain.
Terungkapnya berbagai kasus judi semakin membuktikan bahwa sistem yang diterapkan saat ini telah rusak. Tidak adanya hukum yang tegas membuat pelaku judi tidak jera meski sudah sering tertangkap. Bahkan untuk memenuhi nafsu judol mereka tidak segan melakukan kejahatan seperti mencuri bahkan membunuh.
Sangat berbeda dengan Islam, ideologi ini memiliki seperangkat aturan yang dapat memberantas judol, dan mencegah orang lain melakukan tindakan yang sama. Bahkan judi apapun bentuknya dikategorikan sebagai perbuatan setan. Dan kaum muslim diperintahkan untuk menjauhinya.
Allah Swt. berfirman dalam al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 90 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh akan menutup celah munculnya berbagai transaksi yang diharamkan oleh syariat, termasuk judi apapun bentuknya baik online maupun offline. Menyaring semua konten-konten digital di semua platform agar umat tidak terjerumus pada kemaksiatan. Pemanfaatan teknologi hanya berbasis Islam, sehingga dengan adanya media daring masyarakat semakin cerdas dan menambah keimanan pada Allah Swt.. Generasi yang dihasilkan adalah mereka yang menyibukkan diri dengan ketaatan sehingga tidak terlintas untuk melakukan hal yang haram, seperti berjudi dan lain sebagainya.
Selain itu, pemimpin Islam juga menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku judi, yang bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Sedangkan hukuman bagi tindak pidana perjudian sesuai syariat adalah takzir, yang ditentukan oleh Khalifah.
Para pejabat negara yang diangkat pun dipastikan keimanannya dan ketakwaannya, juga memiliki kemampuan serta keahlian di bidang pekerjaannya. Ketakwaan menjadi syarat utama, sehingga mereka memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah SWT.
Demikianlah gambaran hukum syariat dalam memberantas perjudian, memberikan efek jera bagi pelakunya dan mencegah orang lain untuk berbuat hal yang sama. Namun, sanksi ini hanya dapat diaplikasikan oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, bukan aturan kapitalisme seperti saat ini. Tidakkah kita merindukannya?
Wallahu alam bissawab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.