Seharusnya penyediaan sarana publik/fasilitas umum seperti terminal, pertimbangan utamanya adalah pelayanan umum bagi rakyat, tanpa mempertimbangkan apakah akan menghasilkan retribusi ataukah tidak.
Narti Hs
Pegiat Literasi
Beritakan.my.id - OPINI - Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan mendorong perekonomian bagi masyarakat, terminal yang ada di daerah Cileunyi Kabupaten Bandung yang sudah lama tidak dipakai, akan diaktifkan kembali.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan Bandung, Acuviarta Kartabi mengatakan bahwa keberadaan Terminal Cileunyi itu sangat penting karena bisa mempercepat mobilitas dan aksesibilitas masyarakat, khususnya di kawasan Bandung Timur. Di samping itu menurutnya, meskipun nilai tambahan retribusi tidak terlalu besar, namun dengan diaktifkannya terminal tersebut, akan mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten. Acu menambahkan hal itu telah menjadi tanggung jawab pemerintah dalam memberikan layanan publik yang optimal. (KetikBandung.co.id, 27/04/25)
Sekilas, pengaktifan kembali Terminal Cileunyi nampak positif dan layak diapresiasi. Karena akan mengefektifkan keluar masuknya kendaraan, agar lebih teratur. Perjalanan pun bisa lebih lancar. Hanya saja, jika alasannya untuk meningkatkan PAD, hal ini membuktikan bahwa pengaktifan kembali terminal bukan semata-mata pelayanan, tetapi motifnya adalah ekonomi.
Seharusnya penyediaan sarana publik/fasilitas umum seperti terminal, pertimbangan utamanya adalah pelayanan umum bagi rakyat, tanpa mempertimbangkan apakah akan menghasilkan retribusi ataukah tidak. Karena jika didasari oleh adanya pendapatan bagi daerah maupun negara, maka sama saja yang dominan adalah bagaimana caranya pemerintahan daerah menambah pemasukan.
Di dalam negara yang menerapkan sistem perekonomian kapitalis, berbagai pungutan pajak termasuk retribusi adalah menjadi pemasukan utama bagi kas negara ataupun daerah. Pemerintah pusat maupun daerah berlomba menarik keuntungan dari rakyatnya. Objek pajak terus diperluas, besarannya pun ditingkatkan. Ada pajak dari sisi penghasilan, pertambahan nilai, bea materai, PBB, Cukai, bea masuk, ekspor, kendaraan bermotor, reklame, retribusi, dan lain-lain.
Dengan banyaknya jenis pajak tersebut, nampak bahwa sistem kapitalisme mengakibatkan aspek ekonomi semakin berbiaya tinggi, harga barang meningkat sebab rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak.
Kapitalisme yang menitikberatkan pada keuntungan, telah menjadikan hubungan negara dengan rakyat seperti penjual dan pembeli. Jika ada pelayanan maka harus ada pembayaran. Tidak dikenal istilah pelayanan tanpa imbalan.
Sangat berbeda dengan sistem Islam, yang memiliki ketentuan bahwa setiap upaya pengembangan sebuah wilayah akan senantiasa disertai penyediaan sarana publik, seperti pasar, sekolah, juga terminal guna memudahkan penduduk setempat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, pendidikan, juga kesehatan. Termasuk penyediaan lapangan kerja terdekat sehingga warga tanpa harus jauh-jauh keluar daerah. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan masyarakat dalam beraktivitas; tanpa harus menghadapi kesulitan.
Negara hadir sebagai peri'ayah atau pengurus yang bertanggung jawab menciptakan berbagai kemudahan bagi seluruh rakyatnya, sebab penguasa dalam sistem Islam mendapatkan amanah sebagai pelayan rakyat.
Secara gamblang Islam melarang berbagai bentuk pungutan yang sifatnya permanen, diambil dari seluruh rakyat seperti pajak atau retribusi. Pungutan yang tidak dibenarkan syariat termasuk aktivitas ghulul.
Allah Swt. berfirman yang artinya: “Dan janganlah sebagian di antara kamu memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang bathil....." (QS. Al-Baqarah [2]: 188)
Dalam sistem perekonomian Islam, dikenal istilah dharibah. Dharibah, merupakan pos pemasukan dari kaum muslim untuk membiayai pelayanan kepentingan masyarakat umum, ketika kas di Baitul mal tidak ada harta. Artinya, pendapatan yang diperoleh dari harta milik umum (kaum Muslim) yang dikelola oleh negara sudah habis. Begitu juga pos-pos pendapatan negara (seperti ghanimah, fai’, kharaj, jizyah, dan sebagainya) sedang kosong karena telah habis didistribusikan. Sedangkan ada tuntutan urgen untuk pembiayaan. Maka, pada kondisi seperti inilah pemerintahan dalam kepemimpinan Islam dibolehkan memungut dari rakyat. Artinya hanya mengambil ketika keadaan darurat saja, serta dibatasi pada kaum Muslim yang mampu saja.
Selama kita hidup di bawah pengaturan kapitalisme, maka selama itu pula berbagai pungutan tidak bisa dihindari. Hanya sistem Islamlah yang mampu menjalankan pemerintahannya tanpa bertumpu kepada pajak. Berbagai pemasukan dan hasil dari pengelolaan SDA milik umum oleh negara menjadikan pemasukan negara berlimpah. Sejarah peradaban Islam mencatat, tanpa pajak negara mampu menggratiskan pendidikan, kesehatan, maupun keamanan.
Wallahu a'lam bis-shawwab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.