Oleh Iis Nurasipah
Therapis dan Pegiat Dakwah
Beritakan.my.id - OPINI - Terminal adalah tempat penunjang transportasi penting untuk memudahkan berbagai urusan baik pribadi, bisnis, maupun industri. Untuk itu keberadaannya harus dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, seperti area tunggu yang nyaman, toilet yang bersih, dan informasi perjalanan yang jelas. Dikelola dengan benar dan sesuai dengan prinsip keadilan, keamanan, dan kenyamanan.
Mengingat manfaatnya, setelah beberapa lama berhenti beroperasi, Terminal Cileunyi rencananya akan diaktifkan kembali. Hal ini diungkapkan pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan Bandung, Acuviarta Kartabi yang biasa di panggil akrab Acu. Dengan tujuan agar mobilitas dan kegiatan masyarakat dapat mendorong perekonomian. Khususnya dapat menjadi salah satu peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bandung.
Acu menerangkan bahwa Terminal Cileunyi mempunyai lokasi yang strategis sebagai sarana transportasi masyarakat sehingga dapat mendukung dalam perkembangan ekonomi, sebab tidak semua orang menggunakan kendaraan pribadi. Serta menjadi jalan pusat akses pendidikan, perekonomian dan lintas antar kota-provinsi. (JabarEkspres.com 08/05/2025)
Seyogyanya usulan mengaktifkan kembali fungsi Terminal Cileunyi adalah untuk kemudahan bagi mobilisasi masyarakat. Namun sangat disayangkan pengaktifan tersebut, apabila alasan utamanya meningkatkan PAD semakin membuktikan bahwa perhatian utamanya adalah bagaimana PAD bisa meningkat. Sedangkan urusan kemudahan bagi rakyat ditempatkan bukan sebagai prioritas.
Setiap daerah didorong untuk meningkatkan PAD dengan alasan sebagai biaya pembangunan untuk daerahnya. Akhirnya para pemimpin daerah harus mampu mengelola potensi yang ada di daerahnya demi meningkatnya PAD.
Indonesia dengan menerapkan sistem kapitalisme telah melahirkan kebijakan ekonomi liberal, di mana rakyat harus ikut serta membiayai pembangunan atau roda pemerintahan melalui berbagai pungutan dari rakyat, seperti berbagai macam pajak termasuk retribusi di berbagai terminal yang dipungut dari sejumlah kendaraan.
Dalam sistem kapitalisme, salah satu andalan utama pemasukan negara yaitu pajak. Meski negeri ini kaya akan SDA (Sumber Daya Alam) yang apabila dikelola dengan baik dan tepat maka dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya, namun karena fungsi penguasa hanya sebatas regulator, pengelolaan SDA diserahkan kepada swasta, asing dan aseng. Alhasil, keuntungan SDA mengalir pada para kapital. Negara tidak berfungsi menjadi pelayan dan pemberi kemudahan bagi rakyat, justru menjadi objek bagi bertambahnya pemasukan daerah ataupun pusat.
Semestinya penyediaan fasilitas umum seperti terminal ditujukan untuk memudahkan kepentingan rakyat dalam melakukan aktivitas, bukan semata-mata karena menguntungkan. Maka wajar negara yang menerapkan kapitalisme adalah negara jibayah atau pemalak. Tak peduli kehidupan rakyat dalam kesusahan, yang penting pemasukan negara ataupun daerah bisa terus meningkat.
Sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam Islam, posisi penguasa adalah peri'ayah atau pengurus bagi seluruh rakyatnya. Infrastruktur dibangun semata-mata untuk tujuan memudahkan aktivitas rakyatnya bukan yang lain.
Biaya pembangunan bukan hasil dari memalak rakyat, sebab negara memiliki sumber pendapatan yang memadai yaitu dari fa'i (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara yang sangat cukup untuk menggratiskan pendidikan, keamanan, serta kesehatan, dan membangun berbagai fasilitas umum.
Dalam kondisi genting maka dharibah yaitu semacam pajak akan dipungut dengan syarat harus memenuhi tiga ketetapan syariat, yaitu: Pertama, hanya dipungut saat kas negara kosong. Apabila masalah kekosongan sudah teratasi, hal itupun harus dihentikan. Kedua, ketika kas baitulmal kosong negara berhak untuk memungut warganya, dengan persyaratan ia adalah muslim. Artinya, tidak diwajibkan bagi nonmuslim. Seorang muslim pun harus dari kalangan orang yang kaya atau mampu sehingga tidak boleh dikenakan pada seluruh rakyat sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Ketiga, serta ada alasan syar’i yang melandasi pemungutan pajak yaitu baitulmal kosong dan hanya itu satu-satunya cara.
Dalam sistem Islam, tidak semuanya kaum muslim dikenakan pungutan, hanya diambil dari yang mampu dan yang kaya. Itu pun dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (makruf). Dan akan menjadi wajib apabila ada kelebihan.
Menentukan kebijakan dalam sistem Islam akan sangat berhati-hati terhadap kemaslahatan rakyat. Rasulullah saw. memperingatkan tentang pemimpin yang menyusahkan atau memberatkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung pemimpin sungguh berat di akhirat atas nasib umatnya yang akan menjadi tanggungjawabnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Maka hanya kembali pada syariat Islam secara Kafah, keadilan, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran serta kebahagiaan akan terwujud nyata.
Wallahu alam bi shawab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.