Fantasi Sedarah dan Krisis Moral Digital

Goresan Pena Dakwah
0

 

Ilustrasi : Cinta ( pinterest)

Oleh : Zaymah Bubiyah 

Pegiat Pena Banua


Beritakan.my.id, Opini--Bayangkan ketika keluarga, yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan suci, justru dirusak oleh hasrat paling keji. Ketika sedarah menjadi alasan syahwat, dan nafsu menggantikan kasih sayang. Itulah kenyataan mengerikan yang muncul ketika grup Facebook bernama "Fantasi Sedarah" menjadi viral. Ini bukan kisah fiksi atau mitologi gelap Yunani, ini realita yang kita hadapi hari ini, di tanah yang katanya menjunjung tinggi adat, agama, dan moral.


Grup ini, aktif sejak Agustus 2024, mencengangkan publik karena berisi konten fantasi seksual bertema inses.  Anggotanya lebih dari 32.000 orang. Mereka berdiskusi, berbagi cerita, bahkan menyebarkan konten berbau pornografi yang melibatkan anak di bawah umur. Setelah menjadi viral pada Mei 2025, grup ini akhirnya diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Namun pertanyaannya, kenapa bisa selama itu dibiarkan eksis? (Detik.com, 19-5-2025).

Baca juga: 

Job Fair Ricuh, Sarjana hingga Pasca PHK Bertaruh


Lebih dari sekadar konten menjijikkan, ini adalah gejala bahwa sistem digital kita sedang sakit. Bareskrim Polri bergerak dan menetapkan enam tersangka, termasuk para admin dan kontributor aktif. Mereka dijerat UU Pornografi dan ITE, dengan ancaman enam tahun penjara. Namun, apakah cukup menindak pelaku tanpa menyentuh sistem yang melahirkan mereka?


Masalah ini bukan hanya soal pelanggaran moral pribadi. Ini tentang kegagalan kolektif: keluarga yang abai, negara yang lamban, dan masyarakat yang permisif. Dalam sistem sekular dan liberal hari ini, keluarga bukan lagi institusi sakral yang dijaga dengan norma dan agama. Anak-anak tumbuh sebagai angka statistik. Perempuan menjadi objek. Laki-laki dibebaskan dari tanggung jawab. Dan negara? Lebih sibuk mengurus defisit APBN daripada krisis nilai di tengah masyarakat.


Inilah buah busuk dari sistem Kapitalisme-sekulerisme. Ketika Tuhan dicampakkan dari ruang publik, nilai yang tersisa hanyalah “kebebasan” yang tak jarang jadi topeng bagi syahwat. Media sosial pun ikut andil. Algoritma yang lebih mengedepankan engagement daripada etika telah menciptakan ekosistem di mana konten ekstrem justru viral, dan penyimpangan dianggap biasa.


Padahal, Islam sejak awal telah memberikan pagar yang jelas. Allah SWT berfirman yang artinya:“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(TQS. Al-Isra: 32).


Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan...”(TQS. An-Nisa: 23)


Islam tidak hanya mengharamkan zina, tapi juga secara spesifik melarang hubungan seksual dengan mahram—keluarga sedarah. Larangan itu bukan hanya soal dosa, tapi tentang menjaga kemanusiaan. Ketika hubungan darah ternodai oleh nafsu, maka bukan hanya tubuh yang tercemar—tapi seluruh struktur masyarakat.

Baca juga: 

Indonesia Darurat Narkoba, Islam Solusi Nyata


Nabi Muhammad SAW bersabda:“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”(HR. Muslim).


Lantas, di mana tangan negara hari ini? Di mana suara masyarakat? Dan bagaimana hati kita saat tahu bahwa anak-anak di negeri ini bisa melihat grup seperti Fantasi Sedarah hanya dengan membuka Facebook?


Kita hidup di zaman ketika batas antara cinta dan nafsu makin kabur. Konten inses tidak hanya ada di grup gelap, tapi sudah merembes ke industri hiburan global. Situs-situs porno ternama mencantumkan “step family” sebagai salah satu kategori favorit. Anak muda dicekoki sejak remaja, bahkan sebelum mereka tahu makna cinta sesungguhnya. Maka wajar jika akhirnya ada yang tersesat dan menganggap inses sebagai “fantasi yang sah.”


Inilah saatnya kita berbicara tentang solusi. Bukan solusi tambal sulam yang hanya bersifat reaktif dan permukaan, melainkan penyelesaian yang menyentuh akar permasalahan. Solusi yang mampu membentuk kembali arah peradaban kita agar kembali berpijak pada nilai-nilai yang luhur.


Negara harus benar-benar hadir sebagai penjaga moral publik, bukan sekadar pengatur administrasi dan ekonomi. Dalam dunia digital yang semakin liar, sensor media seharusnya tidak hanya menyoroti isu-isu politik, tetapi juga persoalan moral yang jauh lebih krusial. Negara wajib menetapkan regulasi yang ketat terhadap platform digital agar mereka tidak lagi menjadi sarang kebusukan yang dibiarkan tumbuh tanpa kontrol. Lebih dari itu, negara harus mendorong platform-platform tersebut untuk aktif memantau dan melaporkan setiap bentuk penyimpangan yang merusak moral publik, bukan hanya menunggu laporan atau tekanan publik.


Baca juga: 

Fantasi Sedarah Potret Masyarakat yang Sakit


Di sisi lain, pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam membangun generasi yang tangguh secara akidah dan bermartabat dalam bersikap. Pendidikan akidah dan pemahaman seksualitas berbasis Islam harus ditanamkan sejak dini, bukan sekadar melalui ceramah atau pendekatan formal yang membosankan, melainkan lewat kurikulum yang membentuk cara berpikir kritis dan mengakar pada nilai-nilai ilahiah. Anak-anak kita harus dibekali kemampuan untuk memahami mana cinta yang fitri dan mana nafsu yang destruktif.


Peran keluarga pun harus dikembalikan sebagai benteng utama peradaban. Ayah tidak boleh hanya hadir sebagai pencari nafkah yang absen secara emosional dan spiritual. Ia harus menjadi teladan dan pendidik nilai di rumah. Ibu bukan hanya penjaga rumah tangga, tapi penjaga akhlak dan penumbuh empati dalam jiwa anak-anak. Ketika peran ini dijalankan secara sinergis, keluarga tidak akan mudah runtuh hanya karena godaan digital atau gempuran budaya hedonis.


Terakhir, masyarakat harus bangkit dan tidak lagi bersikap apatis terhadap kemungkaran di sekitarnya. Budaya amar makruf nahi munkar harus dihidupkan kembali. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton pasif atau justru ikut menyebarkan kemaksiatan demi popularitas. 


Apa pun yang viral seharusnya dijadikan momen untuk dakwah, bukan sekadar konsumsi hiburan yang kosong makna. Kita tidak boleh diam saat nilai-nilai suci diinjak-injak. Sebab diamnya masyarakat adalah celah bagi kerusakan untuk semakin dalam mengakar.


Islam memandang keluarga sebagai institusi yang sakral. Dalam sistem Islam, keluarga bukan hanya tempat tinggal, tapi pusat peradaban. Setiap anak dilahirkan dalam fitrah, dan negara wajib menjaga agar fitrah itu tidak ternoda oleh sistem yang rusak. Sistem Islam hadir dengan visi holistik: menjadikan akidah sebagai fondasi, syariah sebagai aturan, dan akhlak sebagai budaya. Wallahu a'lam bishawab. [ry].

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)