Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Beredar video yang menampakkan para pencari kerja berebut memindai kode QR untuk bisa masuk melamar pekerjaan. Suasana yang awalnya kondusif berubah menjadi ricuh seiring dengan membludaknya peserta acara. Massa juga tampak saling berteriak dan saling dorong satu sama lain. Bahkan saling lempar dan saling pukul di tengah antrean.
Beberapa tampak ada yang menaiki mobil pemadam di lokasi sembari menunggu antrean masuk. Saking padatnya dan teriknya sinar matahari, sejumlah orang juga dikabarkan pingsan. Kejadian ini terjadi di salah satu halaman gedung universitas saat digelar acara job fair yang digelar Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi, 27 Mei 2025.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Kepala Biro Humas Kemnaker,Sunardi Manampiar Sinaga membantah adanya pendapat jika membludaknya pencari kerja pada job fair tersebut sebagai potret sulitnya mencari pekerjaan. Hal itu lebih kepada tingginya animo masyarakat terhadap lowongan pekerjaan (detik.com, 28-5-2025).
Menurut Sunardi, telah terjadi kenaikan jumlah angkatan kerja yang sudah lulus masa pendidikan yang bersemangat mencari pekerjaan. Tingginya animo juga disebabkan keinginan masyarakat mencoba pekerjaan baru dari pekerjaan yang saat ini dijalankan. Bisa jadi juga ada sebagian masyarakat yang ingin melihat situasi pada job fair. Mereka yang hadir berkonsultasi terkait ketenagakerjaan hingga mencoba peluang kerja sampingan yang tersedia di acara tersebut.
Negara Gagal Menciptakan Lapangan Pekerjaan
Enteng sekali tanggapan pemerintah atas membludaknya para pencari kerja di acara Job Fair. Seolah para pencari kerja itu adalah semut yang mengerumuni madu, bisa jadi mirip. Harapan bisa mendapat pekerjaan itulah madunya. Namun ini tidak bisa kita anggap sepele. Padahal di antara kerumunan itu terdapat fresh graduated sarjana baru wisuda maupun mereka yang menjadi korban PHK.
Mereka adalah orang-orang yang ingin mendapatkan pekerjaan, karena hanya dengan bekerja mereka bisa mendapatkan penghasilan. Meski tak selalu benar, karena jika sudah ditetapkan Allah sebagai rezeki, maka seseorang bisa saja mendapatkan sesuatu tanpa bekerja. Dan itu tidak bisa diterapkan pada fakta Job Fair di atas.
Baca juga:
Konsep Ekoteologi Untuk Masyarakat Seimbang dan Modern
Jelas-jelas, manusia itu entah apapun motifnya, sangat ingin mendapatkan kesempatan terbaik, sebuah pekerjaan, yang sesuai dengan klasifikasi ilmu dan pengalamannya. Berbagai kebutuhan hidup tak bisa dibayar dengan daun, bahkan tak bisa hanya diberi janji. Perut tetap menuntut untuk diisi, listrik dan air tetap harus dibayar, belum lagi harga kebutuhan pokok yang terus naik harga. Membuat hidup semakin susah.
Dengan entengnya, pemerintah mengatakan itu hanya bagian dari animo masyarakat. Inilah bukti negara gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya. Mimpi di siang bolong mengatakan negara siap menuju Indonesia emas 2045, sedangkan rakyatnya masih berjuang sendirian tanpa bantuan nyata dari negara.
Persoalan sempitnya lapangan pekerjaan sebetulnya tidak terjadi begitu saja, melainkan by desain. Sistem hari ini memang akan benar-benar akan menciptakan pengangguran. Banyak yang telah diupayakan pemerintah, mulai dari janji kampanye akan menyediakan 1000 lapangan pekerjaan, program MBG akan menyerap ribuan tenaga kerja, pembangunan pabrik atau industri, KEK ( Kawasan Ekonomi Khusus) akan menyerap tenaga kerja dan lainnya samasekali tidak terealisir.
Pemerintah tak bisa berbuat banyak, sebab konsep Kapitalisme adalah meminimalisir peran negara. Di undanglah investor untuk mengelola berbagai sumber daya alam dengan alasan kerjasama internasional, dan keterbukaan pasar. Kekayaannya terus dikeruk padahal setelah tambang itu tidak lagi beroperasi karena depositnya habis diangkut ke luar negeri, meninggalkan tak hanya lubang menganga, tapi juga rusaknya ekosistem, bencana bertubi-tubi, ancaman kesehatan masyarakat yang kian buruk. Rakyat pun kehilangan mata pencaharian. Sekaligus inilah yang mendorong arus urbanisasi, padahal di kota mencari pekerjaan layak bak unta masuk lubang jarum.
Kapitalisme tidak mengenal adanya kepemilikan individu, kepemilikan negara dan umum. Semua bisa dikuasai asal memiliki modal dan bisa berpengaruh kepada kekuasaan. Seringnya malah menjadi penyandang dana pada sistem politiknya yaitu Demokrasi. Rakyat bukan lagi dianggap pihak yang berkuasa sesungguhnya. Tak jarang proyek asing itu adalah padat karya. Jika tidak begitu sebuah perusahaan kalah di pasar bebas karena kebijakan pemerintah yang membuka keran impor tanpa menguatkan terlebih dahulu industri dalam negerinya. Dampaknya gelombang PHK susul menyusul.
Belum lagi dengan sulitnya masyarakat mengakses pendidikan. Selain sekolah baik pasti mahal, kurikulumnya pun disusun hanya untuk match and link dengan pasar kerja, tapi bukan koseptor melainkan pekerja rendah terampil dan terdidik. Buruh di negara sendiri, sementara pemilik usaha adalah orang berwarga negara asing.
Baca Juga:
Balada Pencari Nafkah Demi Hidup Sejahtera
Padahal pendidikan adalah kunci perluasan lapangan pekerjaan, jika saja setiap orang mampu menerapkan ilmu yang dipelajarinya maka akan ada banyak tercipta lapangan pekerjaan selain negara sendiri yang membuka lapangan pekerjaan seluas mungkin untuk rakyatnya.
Hal ini tak bisa tercapai jika Kapitalisme masih mengangkangi kedaulatan negara. Penguasanya lebih condong kepada sistem buatan manusia kafir pula. Maka selama itu kita tak akan mendapatkan kesejahteraan.
Islam Solusi Sejahtera Rakyat
Inilah dampaknya jika sebuah sistem aturan tidak mengenal halal haram karena berbasis sekular atau memisahkan agama dari kehidupan. Perlu ada perubahan, yaitu kembali pada pengaturan Islam.
Khilafah, dalam hal ini adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin akan menetapkan apa yang menjadi kepemilikan umum dan negara, akan dikelola secara mandiri oleh negara. Yang pastinya akan membuka banyak lapangan pekerjaan yang luas. Tanpa mengambil utang berbasis riba hingga tidak mengenakan pajak kepada rakyatnya.
Kebutuhan pokok rakyat dipenuhi oleh negara tanpa ada pembedaan baik kaya ataupun miskin yaitu yang terkait sandang, pangan pangan, kesehatan, pendidikan dan kesehatan. Sehingga mereka yang bekerja, hanya berkewajiban menafkahi keluarganya tanpa khawatir ada gangguan, bayar listrik, air, dan lainnya.
Tentu negara butuh dana untuk itu yaitu berasal dari Baitulmal. Ada 12 jenis pos pendapatan yang kemudian disimpan di Baitulmal, yakni dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus), pungutan dari tanah yang berstatus kharaj, jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di Negara Islam),
Harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur, harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak, khumus barang temuan dan barang tambang, harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris, harta orang-orang murtad, dharibah (harta yang diambil dari kaum kaya saat kas negara kosong), dan harta zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).
Baca Juga:
Halal Haram Terdistrak Kapitalisasi
Maka dari itu, sejarah mencatat betapa Khilafah memiliki pusat pendidikan terbaik, militer terbaik dan setiap warganya mendapati dirinya dalam keadaan cukup. Pekerjaan mudah dan luas. Tak ada pemandangan yang berjubel seolah berebut hidup. Maka, alasan apalagi yang kita berikan kepada Allah hanya karena kita yang tak mau mengadakan perubahan. Wallahualam bissawab. [ry].