Ilustrasi pencari kerja ( Freeepik)
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Beritakan.my.id, Opini--Sejak dua pekan terakhir, masyarakat ramai hadir di Balai Kota Jakarta untuk melamar pekerjaan sebagai petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) atau pasukan oranye. Meski belum ada pengumuman resmi terkait mekanisme perekrutannya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta tetap menerima lamaran tersebut (republika.co.id, 2-5-2025).
Gubernur Jakarta Pramono Anung mengakui, pihaknya memang membuka rekrutmen untuk 1.100 petugas PPSU pada 2025. Namun, hingga saat ini sudah sekitar 7.000 orang yang melamar untuk pekerjaan dengan status penyedia jasa lainnya perorangan (PJLP) itu. Ia mengakui, antusias masyarakat untuk melamar menjadi petugas PPSU sangat tinggi. Menurut dia, hal itu menandakan bahwa masih banyak masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.
Meskipun demikian, Pramono memastikan proses perekrutan akan berlangsung secara transparan. Ia tidak ingin adanya anggapan mereka yang diterima karena adanya relasi "orang dalam". Pemprov Jakarta membuka rekrutmen untuk petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) tingkat kelurahan. Jumlah petugas yang akan direkrut adalah sebanyak 1.652 orang. Namun, untuk tahun ini, rekrutmen baru akan dilakukan untuk 1.100 orang. Sementara sisanya, akan dilakukan awal 2026.
Susahnya Wujudkan Sejahtera
Bekerja adalah salah satu cara mendapatkan penghasilan untuk memberi nafkah keluarga dan orang yang berada dalam tanggungjawab kepala rumah tangga atau pria yang sudah baligh. Dengan terpenuhinya nafkah, maka sebuah keluarga mampu memenuhi segala kebutuhan pokoknya.
Baca juga:
Halal Haram Terdistrak Kapitalisasi
Sayangnya, di negeri ini begitu susah mendapatkan pekerjaan. Salah satunya terkait kesenjangan keterampilan dan ketidaksesuaian (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan yang diterima dengan kebutuhan industri, terbatasnya akses terhadap pelatihan kejuruan, dan melambatnya perekonomian yang diperburuk oleh pandemi COVID-19.
Ada juga karena banyaknya syarat yang dibutuhkan untuk satu lowongan, hingga batas tidak masuk akal. Belum lagi adanya jaringan orang dalam, nepotisme, kolusi, suap, karena bagi-bagi jabatan untuk para timses atau partai dan lainnya. Yang jelas, fresh graduate dari berbagai universitas atau pun sekolah vokasi setiap tahunnya semakin banyak yang menganggur. Ijasah tidak berguna.
Tak heran banyak yang mengambil peluang kerja di luar negeri. Dengan risiko yang tidak main-main, dari sekadar berpisah dengan pasangan atau keluarga, ancaman terjebak tindakan perdagangan orang hingga ancaman kehilangan nyawa di negeri orang.
Diketahui, gaji seorang petugas PPSU adalah setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta. Sementara UMP Jakarta tahun 2025 sebesar Rp5.396.761. Jelas sebuah janji masa depan yang menggiurkan, meski jenis pekerjaannya tak mentereng atau bergengsi tapi gaji tetap setiap bulan diterima sudah pasti. Meski boleh dibilang nominal itu hanyalah untuk bertahan hidup dengan ukuran minimalis.
Apalagi jika dibandingkan dengan data orang miskin menurut bank dunia dan BPS, jelas tak ada yang bisa dikatakan sejahtera. Sebab, meski sudah dijamin mendapatkan gaji bulanan, namun biaya hidup lainnya tidak ada jaminan bakal murah. Kesehatan dan pendidikan merupakan beberapa contoh kebutuhan pokok yang berharga mahal. Belum ditambah dengan pungutan pajak. Lengkap sudah penderitaan para pekerja di negeri ini.
Baca juga:
Ormas Preman, Cara Baru Berserikat?
Apakah memang hidup harus sesusah ini? Apakah Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih memang ciptakan dunia untuk sengsara sampai mati? Tentu saja itu adalah pemikiran yang harus dibuang jauh. Akar persoalan dari sulitnya mendapatkan pekerjaan di negeri ini karena negara tidak hadir seratus persen untuk rakyatnya.
Lihat saja lisan para pejabat negara itu, ketika harga cabe mahal maka rakyat diminta menanam sendiri di pot atau kurangi makan pedas. Ketika beras mahal, jangan banyak-banyak makan beras, bisa diganti dengan sumber karbohidrat yang lain. Dan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejatinya untuk perbaikan gizi anak bangsa malah memunculkan persoalan baru, mulai dari beberapa dapur MBG belum dibayar, hingga anak-anak yang keracunan makanan. Presiden tetap mengatakan programnya berhasil, sebab prosentase yang keracunan sangat sedikit dibandingkan yang tidak.
Masih banyak lagi yang lain, dan memang inilah fungsi negara di sistem Kapitalisme hari ini, negara hanya sebagai regulator kebijakan. Negara membatasi perannya sebagai pengurus rakyat, sebaliknya dialihkan kepada swasta atau pihak ketiga. Dengan alasan keterbatasan modal dan tenaga ahli, semua harta kekayaan negeri ini dikelola dengan tanpa batas, eksploitasi besar-besaran bahkan tak segan mengatasnamakan. Proyek Strategis Nasional (PSN) namun hasil akhirnya mangkrak.
Islam Wujudkan Keadilan dan Kesejahteraan
Sudah seharusnya sebagai kaum muslim memiliki kebanggaan terhadap agamanya sendiri, sebab, Islam bukan sekadar agama pengatur ibadah seorang hamba, melainkan mengatur semua aspek kehidupan manusia baik bermasyarakat dan bernegara. Jika Islam diterapkan, maka negara akan satu-satunya pihak yang diwajibkan mengurus rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.," Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya" (HR. Al-Bukhari).
Maka, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, Islam mewajibkan kepada negara untuk menjamin seluruh rakyat bisa bekerja dengan layak sesuai dengan bakat dan minatnya, keilmuan dan lainnya. Jika ada warga yang kesulitan atau uzdur, maka akan diberi bantuan sosial hingga ia bisa mandiri melalui Baitulmal.
Baca juga:
Relokasi Gaza Hanya Perparah Penjajahan
Negara menyediakan rumah murah, pendidikan gratis demikian pula kesehatan dan keamanan. Tak ada beda apakah di kota atau pinggiran kota dan desa. Semua dengan kualitas yang sama dan baik kaya maupun miskin bisa mengakses dengan mudah. Darimana negara memiliki biaya? Tentu dari Baitulmal, dari pos pendapatan umum dan negara. Pendapatan itu dari hasil pengelolaan SDA yang berlimpah. Sehingga setiap orang yang bekerja tidak akan dibebani dengan biaya apapun kecuali hanya memberi nafkah untuk keluarganya secara makruf.
Pajak pun bukan sumber pendapatan negara yang tetap, apalagi utang luar negeri yang berbasis riba. Jika penguasa melalaikan rakyat, bahkan bersikap zalim maka akan ada sanksi tegas yang dijatuhkan oleh Qadi Madzalim. Seorang Khalifah atau muawin atau wali bahkan pejabat di bawahnya tidak kebal hukum, saat mereka lalai bahkan melakukan tindak kriminal maka akan dihukum sebagaimana individu masyarakat.
Hukuman bisa jadi bukan penjara yang faktanya tidak membuat jera, melainkan potong tangan, dibunuh atau di buang tergantung pada besar kecil kesalahan yang sudah ia perbuat. Sudahkan terbayang betapa indahnya berasa dalam naungan Islam atau Khilafah? Wallahualam bissawab. [ry].