Ilustrasi halal (freeepict)
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Beritakan.my.id, Opini--Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 11 batch produk dari sembilan produk pangan olahan yang mengandung unsur babi (porcine). Kandungan unsur babi dibuktikan melalui pengujian laboratorium untuk parameter uji DNA dan peptida spesifik porcine (republika.co.id, 21-4-2025).
Dari sembilan produk tersebut, terdapat sembilan batch produk dari tujuh produk yang sudah bersertifikat halal, dan dua batch produk dari dua produk yang tidak bersertifikat halal. Founder Indonesia Halal Watch (IHW) KH Ikhsan Abdullah menanggapi kasus ini dengan mengatakan, sudah saatnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yakni UU Nomor 33 Tahun 2014 dan PP Nomor 48 Tahun 2024 ditegakan, low enforcement (penegakan hukum) menjadi sesuatu yang amat penting.
Kiai Ikhsan menyerukan agar hukum halal ditegakkan, jika masih kurang memberikan efek jera, bisa dikomulasikan dengan pasal tindak pidana penipuan sebagaimana yang diatur oleh KUHP. Bisa juga hukum halal dikomulasikan dengan UU Perlindungan Konsumen. Sebab, temuan produk mengandung babi dan bersertifikat halal di pasaran, membuat masyarakat khususnya konsumen muslim tidak nyaman, bahkan hingga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan regulatornya.
Baca juga:
Ormas Preman, Cara Baru Berserikat?
Kepala BPJPH, Babe Haikal Hasan sebelumnya telah mengumumkan temuan ini, setelah adanya pembuktian yang dilakukan melalui uji laboratorium BPOM dan BPJPH. Babe Haikal menegaskan, laboratorium yang dimaksud memiliki tingkat ketelitian tertinggi di Indonesia. Sanksi yang diberikan berupa penarikan produk dari peredaran. Sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
Terhadap produk yang tidak bersertifikat halal, BPJPH memberikan sanksi berupa peringatan instruksi kepada pelaku usaha untuk menarik produk dari peredaran berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan BP Nomor 69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan.
Negeri Muslim Butuhkan Sertifikat Halal, Miris!
Sungguh miris! Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam semestinya tidak membutuhkan sertifikat halal. Sebab, sudah menjadi tanggungjawab negara untuk selalu menyediakan produk-produk pangan yang sudah pasti kehalalannya tanpa butuh sertifikat.
Maka, tentu menjadi kewajiban negara untuk menjamin kehalalan sebuah produk sejak dari hulu hingga hilir. Termasuk jika barang itu masuk ke dalam negeri karena aktifitas impor. Negara harus memastikan negara yang bakal melakukan hubungan dagang dengan Indonesia. Apakah dari negara yang terkatagori muharibban fi'lan ( jelas memerangi Islam dan kaum muslim) atau negara muahid ( yang terikat perjanjian dengan negara kita) sehingga bisa dipastikan, kegiatan impor ini tidak melemahkan negara itu sendiri.
Sayangnya, pada realitasnya, negara kita menerapkan sistem Kapitalisme yang asasnya adalah sekular (pemisahan agama dari kehidupan). Sehingga alih-alih menjamin kehalalan sebuah produk untuk rakyatnya, yang terjadi adalah rekayasa rendahan yang melibatkan oknum, sejak dari kepala hingga bawahannya. Agar sebuah produk lolos halal meski haram.
Baca juga:
Relokasi Gaza Hanya Perparah Penjajahan
Semua demi manfaat materi yang lumayan besar, sehingga melalaikan kewajiban, melanggar sumpah hingga mengotak-atik aturan yang sudah ada. Sangat mengenaskan, sebab rakyatlah jagi korban. Jelas tak bisa ditolerir lagi, jika menyangkut bahayanya produk yang mengandung sesuatu yang haram namun masih saja lolos dari pengawasan. Sedemikian lemahnya negara, maka siapa yang akan melindungi rakyat?
Islam Wujudkan Pangan Halal lagi Tayyib
Allah swt.berfirman yang artinya, "Hai orang-orang beriman, makan dan minumlah yang ada di bumi secara halal dan baik. Janganlah engkau mengikuti cara setan, karena setan adalah musuh yang nyata,” (TQS al-Baqarah:168).
Rasulullah Saw.bersabda, “Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani).
Kedua dalil di atas cukup menjadi landasan berfikir bagi kaum muslimin untuk senantiasa menjaga apapun yang masuk ke tubuhnya adalah sesuatu yang halal. Sebab pengaruhnya sangatlah besar, karena sesuatu itu akan ikut aliran darah memberi energi kepada tubuh. Jika yang masuk sesuatu yang buruk bahkan haram, maka hancurlah segala amalan.
Maka sebagai periayah rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw," Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya".(HR Muslim). Negaralah yang menjamin kehalalan sebuah produk sebelum dikonsumsi rakyat, negara memiliki kewenangan berikut perangkatnya.
Baca juga:
Relokasi Bukan Solusi Hakiki Warga Gaza
Halal tidak diwajibkan sertifikasi, melainkan bagian dari pelayanan publik negara. Sanksi hukum yang diberikan tentulah sangat tegas dan adil, memastikan pelaku jera. Bagaimana dengan non muslim yang memang menghalalkan apa yang diharamkan dalam Islam?
Negara akan mengatur sedemikian rupa agar makanan dan minuman yang halal dalam agama mereka beredar hanya di kalangan mereka saja, haram memperjualbelikannya di pasar umum. Namun secara logika, produk halal tidak akan memberikan pengaruh buruk bagi non muslim, sebab apa yang disyariatkan Allah tentulah baik untuk semua manusia apapun agamanya.
Negara juga akan menyediakan berbagai lapangan pekerjaan yang sesuai dengan ketrampilan dan pengetahuan individu rakyat. Sehingga para suami atau ayah mampu memberi nafkah secara makruf tanpa harus berusaha payah melakukan muamalah haram, bahkan bekerja pada usaha yang haram.
Negara menjamin kebutuhan dasar rakyat, seperti sandang ,pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan tanpa sepeser pun meminta pada rakyat, hingga tidak memungut pajak sepanjang tahun sebagaimana dalam sistem hari ini. Pendapatan negara tersimpan di Baitulmal, dimana sumbernya berasal dari hasil mengelola kekayaan milik umum dan negara. Allah memberi tantangan kepada manusia, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS al-Maidah :50). Wallahualam bissawab. [ry].