Kapitalisme Gagal Menjamin Makanan Bergizi, Islam Hadir sebagai Solusi

Admin Beritanusaindo
0

 

Ilustrasi: Tribunnews 


Insiden keracunan MBG semestinya tidak terjadi, apalagi jika mengingat MBG adalah program unggulan pemerintah. Di mana salah satu tujuannya untuk mengentaskan kemiskinan dan stunting yang saat ini tengah menjadi isu krusial di tanah air. 



Oleh Reni Rosmawati 

Pegiat Literasi Islam Kafah 




Beritakan.my.id - OPINI - Insiden keracunan massal setelah menyantap makanan bergizi gratis kembali terjadi. Dilansir oleh cnnindonesia (14/05/2025), sebanyak 223 siswa di Bogor keracunan massal setelah mengonsumsi makanan bergizi gratis (MBG). Berdasarkan data terbaru, kasus ini berasal dari 8 sekolah dari mulai TK hingga SMA. Dari 223 siswa tersebut 35 menjalani rawat inap, 49 rawat jalan, dan 129 mengalami keluhan ringan. Dugaan sementara, penyebab keracunan adalah makanan yang sudah basi dan kurang higienis. Sementara berdasarkan catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), insiden ini menambah daftar Kejadian Luar Biasa (KLB) MBG, di mana sejak Januari 2025 ada 17 KLB yang terindikasi di sepuluh provinsi.


Menanggapi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan program MGB nantinya akan mendapat proteksi asuransi demi menjamin keselamatan pengelola dan penerima MBG. Asuransi diklaim penting sebagai mitigasi untuk menekan risiko kecelakaan kerja dan keracunan. Kini proposal asuransi tersebut tengah disusun oleh AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia) dan AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia). (Finansial.bisnis.com, 11/05/2025)


Namun rencana ini mengundang kontradiktif di masyarakat hingga timbul spekulasi adanya motif tertentu di balik program asuransi MBG, yakni untuk membuka pasar baru bagi industri asuransi swasta. Ini sebagaimana yang disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar. Timbul juga menjelaskan bahwa asuransi tidak sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. Di sisi lain pemerintah juga memiliki program jaminan kesehatan nasional JKN/BPJS yang juga harus dimaksimalkan. (Suara.com, 14/5/2025)


Untuk diketahui, MGB adalah program unggulan pemerintah. Demi terwujudnya program tersebut anggaran negara di sektor lain dipangkas. Bahkan, meskipun timbul gesekan di tengah publik pemerintah tetap bersikukuh mempertahankannya. Ini karena tujuan awal dibentuknya MBG untuk menurunkan prevalensi stunting dan malnutrisi, agar kualitas hidup anak dan ibu hamil meningkat. Selain itu, program tersebut diharapkan dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional, membuka lapangan kerja, serta mengurangi kemiskinan. 


MGB Program Unggulan, Kenapa Memakan Korban?


Insiden keracunan MBG semestinya tidak terjadi, apalagi jika mengingat MBG adalah program unggulan pemerintah. Di mana salah satu tujuannya untuk mengentaskan kemiskinan dan stunting yang saat ini tengah menjadi isu krusial di tanah air. 


Berdasarkan laporan Tempo (10/01/2025), prevalensi stunting di tahun 2025 masih tinggi mencapai 21,5%. Sementara menurut laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis pada April 2025, sebanyak 60,3% atau 171,8 juta jiwa masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Inilah yang melatarbelakangi pemerintah membentuk program MBG. Agar dapat memenuhi gizi anak dan ibu hamil sehingga terhindar dari stunting. Di samping itu juga supaya bisa memajukan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan sebab MBG melibatkan banyak pihak yang berpartisipasi di dalamnya seperti dapur sehat/SPPG yang keberadaannya dinilai akan menyerap banyak tenaga kerja. 


Padahal program ini jelas tak akan mampu menyelesaikan masalah stunting dan kemiskinan ekstrem. Apalagi faktanya, MBG bukan untuk kepentingan rakyat tapi segelintir orang yang memanfaatkan kemiskinan rakyat. Dari sisi menu, higienitas, anggaran, dan distribusi hampir semuanya bermasalah. Menunya tidak disukai anak-anak, tidak higienis, bahkan basi hingga menyebabkan keracunan. Begitupun dari segi anggaran, pemerintah kebingungan mencari dana tambahan hingga ada beberapa pengelola MBG tidak dibayar. Belum lagi distribusinya tidak merata karena nyatanya tidak semua rakyat/siswa menerima MBG. 


Sejatinya, stunting dan kemiskinan ekstrem bukanlah masalah yang akan selesai dengan pemberian MBG. Karena keduanya adalah imbas dari ekonomi yang buruk akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Kondisi ekonomi yang buruk menjadikan para orang tua tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar dan nutrisi anaknya sedari dalam kandungan. Jangankan dapat membeli makanan sehat, protein, suplemen, dan memeriksakan kandungan, bisa bertahan hidup saja sudah untung. Apalagi di tengah kehidupan yang serba sulit dan mahal hari ini. Ditambah lagi pekerjaan sukar dicari.


Dalam hal ini, tentu negara yang wajib bertanggung jawab untuk membuat sistem ekonomi yang baik dan menciptakan lapangan kerja. Sayangnya, kapitalisme yang tengah dijalankan negara hari ini tak akan mampu mewujudkannya. Kapitalisme tak akan mampu menjamin makanan bergizi bagi anak-anak. Ini karena orientasi kepemimpinan kapitalisme bukan untuk mengurus rakyat. Sehingga wajar ketika terjadi keracunan MBG pun pemerintah kelabakan. Hingga akhirnya muncul ide untuk mengasuransikan program MBG dalam rangka mengurangi potensi risiko keracunan bagi penerima MBG sebagaimana yang disampaikan oleh pihak OJK. Yang mana nantinya pihak asuransilah yang akan menanggung resiko jika program tersebut bermasalah. 


Jelas ini keliru. Asuransi semestinya tidak ada jika jaminan pangan dan gizi rakyat ada di tangan negara. Apalagi sebagai swasta tentu pihak asuransi mengharapkan profit dari program MBG, yang nantinya berimbas pada terpangkasna dana MBG yang disalurkan untuk rakyat. Belum diasuransikan saja MBG yang diterima rakyat alakadarnya, tidak dapat memenuhi gizi anak. Apalagi jika diasuransikan.


MBG dalam Pandangan Islam 


Keracunan MBG hingga muncul usulan mengasuransikannya tentu tak akan terjadi jika negara mau menerapkan sistem Islam. Ini karena Islam memosisikan negara sebagai pengurus rakyat. Setiap kebijakannya harus mengacu pada syariat Islam dan semuanya semata-mata demi kemaslahatan rakyat. Apalagi dalam Islam asuransi merupakan hal yang tidak dibolehkan/haram karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) dalam transaksinya. 


Meskipun program MBG tampak baik, namun Islam tidak memandangnya sebagai solusi preventif atas masalah yang terjadi. Jika MBG dalam kapitalisme dipandang sebagai solusi untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan ekonomi, dan menurunkan prevalensi stunting, tidak demikian dengan Islam. Islam menyelesaikan semua masalah dari akarnya. 


Adanya stunting dan gizi buruk adalah akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Karena itu yang akan diselesaikan terlebih dahulu adalah penyebab itu semua yakni kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Maka negara yang menerapkan sistem Islam akan fokus menyelesaikan kedua hal tersebut melalui beberapa cara:


Pertama, negara akan membuka lapangan pekerjaan yang luas dengan gaji yang layak. Negara akan membangun industri alat berat yang berpotensi merekrut banyak pekerja. Negara pun akan memberikan bantuan modal usaha, insentif, dan keterampilan bagi para penanggung nafkah. Sehingga setiap kepala keluarga dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan dirinya dan keluarganya. Negara pun akan memberikan kemudahan bagi rakyat dalam mengaksesnya, seperti harga tanah, rumah, dan pangan yang murah juga merata setiap daerah agar seluruh rakyat dapat mendapatkan makanan bergizi setiap saat. 


Kedua, jika ada warganya yang tidak mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya karena keterbatasan fisik, maka negara akan mencari anggota keluarga yang dapat menggantikan posisinya. Jika tidak ditemukan negara akan mengambil peran tersebut. Negara pun akan mengondisikan lingkungan rakyat yang gemar infak sedekah dan saling tolong menolong. Sehingga jika ada yang kesulitan secara ekonomi akan segera dibantu. 


Ketiga, jika ada tanah yang ditelantarkan selama 3 tahun berturut-turut oleh pemiliknya, maka negara akan mengambil tanah tersebut dan diberikan kepada siapa saja yang bisa menghidupkannya. Sehingga semua rakyat akan produktif dan memiliki mata pencaharian. 


Keempat, negara akan mengelola seluruh SDA secara mandiri dan hasilnya akan didistribusikan kepada rakyat berupa pemenuhan kebutuhan kolektif rakyat seperti layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis. Islam pun memiliki sumber pemasukan yang tetap dari pos jizyah, fa'i, kharaj, ghanimah, dan zakat. Semuanya disimpan di baitulmal, hanya akan dikeluarkan untuk kepentingan rakyat. 


Dengan mekanisme demikian, tentu tak akan ada yang namanya MBG demi menyelesaikan kemiskinan ekstrem yang menyebabkan stunting.  Apalagi muncul ide asuransi yang jelas keharamannya. Sungguh hanya sistem Islamlah yang mampu menjamin makanan bergizi bagi rakyat. Sejarah membuktikan hal ini. Selama 14 abad Islam diterapkan kesejahteraan benar-benar meliputi rakyat. Sebagai contoh di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tidak ada satupun rakyatnya mau menerima zakat saking sejahteranya. 

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.


Editor: Rens



Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.




Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)