![]() |
Ilustrasi: Google |
Dalam logika syariah Islam, menjual data retina, wajah, atau DNA termasuk dalam kategori menjual bagian tubuh yang hukumnya haram karena tidak memenuhi syarat barang yang boleh diperjualbelikan.
Oleh: Fauziyah Ainun
Aktivis Dakwah
Beritakan.my.id - OPINI - Dilansir dari Bekasisatu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara operasi layanan Worldcoin dan WorldID di Indonesia. Langkah ini di ambil setelah beredarnya kabar seorang warga Bekasi Timur menerima bayaran hingga Rp800 ribu usai melakukan pemindaian retina.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kominfo, Alexander Sabar, menegaskan bahwa pembekuan ini bersifat preventif untuk melindungi masyarakat dari potensi penyalahgunaan data pribadi.
Invetigasi Kominfo mengungkap bahwa PT Terang Bulan Abadi, penyelenggara Worldcoin di Indonesia, tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Sementara itu, Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) yang digunakan ternyata milik PT Sandina Abadi Nusantara, sebuah badan hukum yang berbeda.
Diketahui, layanan World App merupakan pintu masuk untuk mendapatkan Worldcoin, dan telah membuka pendaftaran offline di 29 kota di Indonesia, termasuk di Kota Bekasi.
Suatu waktu, lokasi pendaftaran di Kecamatan Bekasi Timur ramai dikunjungi warga, mulai dari remaja hingga lansia. “Katanya dapat uang Rp200 ribu sampai Rp800 ribu. Tapi ternyata harus scan bola mata. Saya kira cuma verifikasi biasa,” kata Andi (32), salah satu warga Kelurahan Margahayu yang mengantre.
Proses pemindaian retina melalui perangkat Orb ini menuai kontroversi bahkan bisa menimbulkan bahaya karena data biometrik pengguna dikumpulkan tanpa penjelasan transparan tentang penggunaannya. Pembekuan ini menjadi peringatan keras bagi perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia tanpa mematuhi aturan perlindungan data.
Kita hidup di era kapitalisme industri yang mengeksploitasi tenaga kerja fisik manusia untuk menghasilkan nilai lebih. Namun dalam kapitalisme digital, bentuk eksploitasi telah bergeser. Data pribadi, termasuk biometrik seperti iris mata dan wajah, menjadi komoditas yang paling berharga. Dalam konteks ini, manusia bukan lagi sekadar pekerja, tetapi telah berubah menjadi sumber data yang dapat di monetisasi.
Dengan cara memberikan imbalan-imbalan kecil dalam bentuk aset kripto, perusahaan global seperti Worldcoin mengkapitalisasi kebutuhan ekonomi masyarakat kecil, khususnya mereka yang tidak paham sepenuhnya mengenai dampak jangka panjang dari penyerahan data biometrik.
Dalam kondisi yang seperti ini, manusia tidak lagi hanya menjadi produsen dan konsumen, tetapi juga menjadi produk itu sendiri. Tubuh manusia dalam bentuk data biometrik, digunakan sebagai “kunci” untuk sistem identitas global. Ini mengarah pada penghilangan batas etika dalam memperlakukan tubuh sebagai objek ekonomi, sesuatu yang oleh banyak ulama dan pemikir etika dipandang berbahaya dan tidak bermoral.
Klaim Worldcoin tentang ingin mewujudkan “inklusi keuangan global” melalui sistem identitas universal patut dipertanyakan. Di lapangan, yang terjadi justru adalah praktik eksploitasi terhadap masyarakat miskin dan mereka yang kurang informasi mengenai konsekuensi privasi dan kedaulatan data. Mereka menjual bagian tubuh (retina) demi imbalan cepat, tanpa memahami siapa yang menyimpan data tersebut, bagaimana data akan digunakan, dan apakah data bisa disalahgunakan.
Praktik ini merupakan contoh nyata dari kapitalisme neoliberal global, di mana negara khususnya negara berkembang, dilemahkan dalam mengontrol wilayah data dan identitas warganya sendiri. Perusahaan-perusahaan asing masuk dengan membawa sistem mereka sendiri, menetapkan aturan main mereka sendiri, dan melakukan ekstraksi nilai dari masyarakat lokal tanpa pengawasan ketat. Di sinilah negara seharusnya hadir, bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelindung kedaulatan digital.
Fenomena penjualan data biometrik (seperti iris mata dan wajah) kepada perusahaan global seperti Worldcoin/WorldID, yang dalam praktiknya telah menimbulkan banyak kekhawatiran terkait eksploitasi dan ketidakadilan, berikut solusi menurut Islam terkait permasalahan tersebut :
Pertama, Haramnya menjual anggota tubuh atau bagian dari diri untuk kepentingan ekonomi. Dalam Islam, tubuh manusia adalah amanah dari Allah Swt., bukan milik mutlak individu yang dapat diperjualbelikan seenaknya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya tubuhmu milik hak atasmu” (HR. Bukhari)
Hal ini menunjukkan bahwa tubuh manusia harus dijaga dan tidak boleh disalahgunakan, termasuk dalam bentuk memperjualbelikan bagian dari tubuh atau data representasinya (biometrik).
Dalam logika syariah, menjual data retina, wajah, atau DNA termasuk dalam kategori menjual bagian tubuh yang hukumnya haram karena tidak memenuhi syarat barang yang boleh diperjualbelikan, berpotensi membuka jalan bagi kezaliman, eksploitasi, atau kerusakan di masa depan, mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) karena masyarakat tidak tahu bagaimana data itu akan digunakan.
Adapun dalam Kaidah Fiqih: “Segala sesuatu yang membawa kepada keharaman, maka hukumnya juga haram.”
Dengan demikian, menjual data retina demi uang tunai adalah tidak diperbolehkan dalam Islam, karena itu berarti menjual kehormatan dan potensi risiko terhadap diri.
Kedua, Negara wajib hadir dan melindungi warga dari eksploitasi digital. Dalam Islam, negara (Daulah) memiliki kewajiban sebagai penjaga (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi umat.
Rasulullah saw. bersabda: “Imam (pemimpin) adalah penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam permasalahan ini, negara tidak boleh lalai apalagi memberikan celah kepada perusahaan asing untuk mengeksploitasi data rakyat. Negara wajib menolak keras praktik kapitalisasi data tubuh manusia oleh perusahaan teknologi global, melarang praktik penjualan data biometrik oleh individu tanpa kontrol syariah dan hukum negara, membuat undang-undang perlindungan data pribadi berbasis maqashid syariah yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, serta menegakkan sanksi bagi pihak yang memperjualbelikan data secara ilegal.
Kedaulatan digital adalah bagian dari kedaulatan negara yang mana harus dijaga. Jika negara lalai, maka ia telah gagal menjalankan fungsi syar’inya.
Ketiga, edukasi masyarakat tentang hak dan martabat digital. Ini adalah jalan utama dalam menjaga diri dari kebodohan dan kerusakan. Karena itu, edukasi terhadap masyarakat tentang bahaya penjualan data biometrik wajib dilakukan juga oleh Ulama dan DAI dalam khotbah, pengajian atau ceramah, kemudian oleh LPI (Lembaga Pendidikan Islam) dengan memasukkan kurikulum literasi digital Islami, dan yang pasti dibutuhkan peran pemerintah yang menegakkan sistem Islam secara menyeluruh/kafah.
Allah Swt. berfirman: “Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Q.S Az-Zumar: 9)
Edukasi ini penting agar umat tidak tergoda dengan uang receh lalu kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Menetapkan perlindungan biometrik sebagai salah satu tujuan utama syariah (maqashid syariah) adalah hifzh an-nafs (menjaga jiwa). Dalam konteks modern, ini mencakup perlindungan terhadap identitas digital, termasuk biometrik. Jika data ini bocor atau dimanfaatkan untuk kepentingan jahat, maka yang terancam bukan hanya privasi, tetapi juga keselamatan fisik dan spiritual manusia.
Keempat, membangun identitas digital nasional sesuai syariat. Solusi Islam tidak berhenti pada larangan, tapi juga mengarah ke pembangunan alternatif dan teknologi, serta menjaga identitas digital nasional yang dikelola oleh negara dengan prinsip syariah dan transparansi, mengembangkan blockchain halal yang tidak memanfaatkan tubuh manusia sebagai komoditas, mengangkat teknologi muslim dan ulama digital agar umat memiliki panduan yang benar. Perusahaan seperti Worldcoin bisa dicegah bukan dengan protes saja, tapi juga dengan menyediakan sistem tandingan yang tidak melanggar prinsip Islam.
Kesimpulannya adalah sistem Islam mengharamkan menjual data biometrik seperti iris mata demi uang karena melanggar prinsip untuk menjaga martabat manusia dan membuka peluang untuk eksploitasi. Karena ini bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga soal martabat manusia dalam pandangan Islam. Dan Islam hadir untuk menjaga martabat itu di dunia yang kian termodifikasi.
Wallahu a'lam bish shawab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.