Oleh Reni Rosmawati
Pegiat Literasi Islam Kafah
Beritakan.my.id - OPINI - Lawatan Presiden Prancis Emmanuel Macron bersama ibu negara pada tanggal 27-29 Mei lalu masih menyisakan cerita tersendiri bagi negeri ini. Dari mulai hangatnya sambutan upacara kenegaraan yang diberikan oleh Presiden Prabowo, hingga tersepakatinya berbagai perjanjian kerjasama di berbagai bidang mulai dari energi, kesehatan, infrastruktur, bahkan budaya. Namun di samping itu semua ada hal yang sangat mengejutkan, Prabowo mengakui tiba-tiba menegaskan akan mengakui kedaulatan Israel asalkan negara penjajah tersebut mau memberikan ruang kepada Palestina untuk merdeka. (Tempo.co, 21/05/2025)
Sambutan untuk Pengusung Islamofobia, Layakkah?
Sudah bukan rahasia jika Prancis merupakan salah satu negara di Eropa yang lekat dengan imperialisme. Prancis pun merupakan negara anti-Islam sama halnya dengan AS dan Inggris. Banyak tindakan Prancis yang membuktikan dirinya anti Islam seperti kartun yang menghina Rasulullah, pelarangan hijab, dan diskriminasi lainnya. Bahkan berdasarkan berita dari laman aa.com.tr (22/11/2024), Prancislah yang selama ini memfasilitasi genosida di Palestina. ‘Prancis Disclose' memuat laporan bahwa 100.000 peluru gatling dikirimkan Prancis untuk digunakan Israel pada perang 7 Oktober 2023.
Karena itu, sebagai negara muslim rasanya tak pantas memberikan sambutan hangat kepada negara imperialis dan pengusung Islamofobia. Apalagi nyatanya kunjungan tersebut mampu mempengaruhi Indonesia agar mengakui kedaulatan penjajah Israel.
Kedatangan Macron tentunya bukan tanpa alasan. Apalagi ia merupakan pemimpin salah satu negara imperialis terbesar di Eropa. Pasti ada misi di balik kedatangannya, supaya ideologi kapitalisme yang diembannya tetap eksis, sehingga negara-negara di dapat senantiasa disetir. Sementara Indonesia merupakan negara berkembang yang masih bergantung pada negara lain. Disamping itu Indonesia juga terpuruk akibat beban hutang yang menumpuk. Ini dijadikan celah oleh Prancis untuk mendominasi ekonomi Indonesia yang selama ini didominasi Cina. Artinya, Prancis ingin menyaingi Cina dalam hal ekonomi.
Sayangnya, kedatangannya Macron malah disambut antusias dan penghormatan luar biasa, dianggap oase bagi masalah Indonesia yang menggunung. Padahal itu adalah strategi Prancis untuk mengukuhkan hegemoninya atas Indonesia. Ironis memang, semestinya pemerintah waspada, terlebih ia merupakan pemimpin negara muslim terbesar di dunia yang mana saat ini umat muslim di Palestina sedang dijajah habis-habisan oleh Zionis yang dibekingi Barat. Sikap tegas dan pembelaanlah yang semestinya ditonjolkan. Bukan bermanis muka, menjalin kerjasama. Apalagi selama ini bukan Indonesia yang diuntungkan dari kerjasama tersebut, karena sebagai negara berkembang belum memenuhi kualifikasi untuk bersaing dengan negara besar.
Sikap manis yang ditunjukkan Presiden Prabowo maupun penguasa negeri muslim lainnya ini adalah akibat cara pandang yang lahir dari akidah sekuler kapitalisme. Paradigma kapitalisme meniscayakan negara kelas 3 seperti Indonesia harus taat pada negara adidaya yang berpengaruh besar dan memiliki modal.
Perlakuan Islam Terhadap Negara Penjajah
Sebagai agama sempurna, Islam menetapkan mana saja negara yang boleh bekerjasama dengan kaum muslim dan mana saja yang tidak. Ini karena Islam hanya memandang negara yang ada di dunia ini meliputi dua, yakni negara Islam dan negara kufur.
Terkait negara kufur ini Islam membaginya menjadi dua yaitu negara kafir harbi fi'lan (yang memusuhi Islam) dan kafir dzimi (negara kafir namun tunduk pada aturan Islam). Dengan kafir dzimi, maka negara boleh menjalin kerjasama namun dalam skala tertentu, tidak boleh menjadikan negara Islam tunduk padanya. Sedangkan dengan kafir harbi fi'lan (seperti AS, Inggris, dan Prancis) maka tidak boleh ada kerjasama apapun dengannya. Ini karena negara-negara tersebut baik secara langsung maupun tidak kerap menampakkan permusuhannya terhadap Islam.
Firman Allah Swt.: “Sungguh Allah telah mengharam kalian berteman dengan orang-orang yang mengusir kalian dari negeri kalian. Siapa saja yang menjadikannya sebagai teman, maka ia termasuk golongan yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 9)
Para khalifah di masa lalu telah memberikan banyak contoh bagaimana bersikap tegas terhadap negara kafir penjajah yang memusuhi Islam. Di antaranya seperti yang dilakukan Khalifah Abdul Hamid ll, beliau pernah geram dan marah besar dengan perbuatan pemerintah Prancis yang memuat surat kabar berisikan pertunjukan teater yang menghina Rasulullah. Beliau menegaskan siap berperang jika penghinaan terhadap Islam terus berlanjut. Bahkan ketika Palestina hendak diminta dan dibeli oleh seorang Yahudi (Theodor Herzl) beliau berada di garda terdepan menjaganya.
Seyogyanya, ini menjadi pedoman setiap muslim, terlebih penguasa dalam menghadapi negara penjajah. Terlebih di saat Palestina terjajah dan mendapatkan dukungan Barat. Sayangnya selama Kapitalisme masih bercokol hal tersebut mustahil terjadi.
Ketegasan penguasa terhadap penjajah hanya dapat terwujud ketika negara ini mau menerapkan aturan Islam secara sempurna dalam semua aspek kehidupan. Dengan begitu maka negara akan kuat dalam segala bidang termasuk dalam konstelasi politik internasional sebagaimana yang pernah diraih negara Islam sejak pasca perang Tabuk di masa Rasulullah hingga era kekhalifahan.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.
Editor: Rens