Ilustrasi Pinterest
Oleh Nadisah Khairiyah
Beritakan.my.id, Opini_
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam."
(QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini menegaskan bahwa risalah Rasulullah ﷺ adalah bentuk kasih sayang Allah bagi seluruh alam. Perintah dan larangan Allah bukanlah beban, melainkan wujud cinta-Nya yang menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan-Nya.
Ketika Allah melarang merusak bumi, itu bukan sekadar aturan, tapi bentuk penjagaan. Ibarat seorang ibu melarang anaknya bermain api, bukan karena benci, tapi karena cinta. Maka ketika Allah berfirman:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS Ar-Rum: 41)
Ayat ini bukan hanya peringatan, tetapi ajakan untuk kembali pada jalan ketaatan. Kerusakan lingkungan adalah buah dari pelanggaran manusia terhadap hukum-hukum Allah. Alam memiliki keseimbangan yang ditetapkan Sang Pencipta, dan kerusakannya adalah konsekuensi logis dari ketidaksesuaian dengan sistem Ilahi.
Hari ini, kita menyaksikan krisis lingkungan yang mengkhawatirkan: hutan dibabat, laut tercemar, udara dipenuhi racun. Semua ini bukan semata akibat teknis atau kelalaian manusia biasa, melainkan buah dari diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini menyingkirkan wahyu dari pengaturan hidup, menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, bukan ridha Allah ﷻ.
Ketika kebijakan dibangun atas dasar materi dan bukan nilai-nilai wahyu, maka yang terjadi adalah eksploitasi tanpa batas. Alam diperas, rakyat dirugikan, dan krisis ekologis tak terhindarkan. Padahal, Islam memandang alam sebagai amanah, bukan komoditas.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam Muqaddimah ad-Dustur dan Nizhamul Islam, bahwa syariah Islam tidak hanya mengatur ibadah personal, tetapi juga urusan publik termasuk pengelolaan sumber daya alam. Beliau menegaskan:
"Negara wajib menjaga dan mengelola sumber daya alam (milik umum) agar tidak merusak dan agar hasilnya kembali kepada umat secara adil, bukan kepada korporasi."
Inilah wujud cinta Allah yang sering terlupakan: hukum-hukum-Nya dirancang untuk menjaga manusia dan alam tetap dalam keseimbangan. Maka, tidak cukup hanya berkampanye soal green lifestyle atau cinta lingkungan jika sistem perusaknya tetap dibiarkan. Solusi sejati bukanlah tambal sulam kebijakan dunia, melainkan kembali kepada syariat Allah secara kaffah.
Saat tambang merobek bumi, asap meracuni udara, dan limbah menenggelamkan laut, itu semua bukan hanya krisis ekologis, tapi krisis ketaatan. Ini panggilan untuk kembali tunduk kepada hukum Allah ﷻ. Karena mencintai bumi berarti menaati aturan Sang Pencipta.
Maka, mari sadari: merusak alam itu bukan sekadar kesalahan moral atau teknis, tetapi sebuah keharaman. Dan mengelola bumi menurut kehendakNya adalah bentuk cinta sejati kepadaNya. Saatnya kita kembali.
و الله اعلم بالصواب