Jaminan Kesehatan Masyarakat Tanggung Jawab Negara, Bukan Hasil Urunan Rakyat

Admin Beritanusaindo
0

 


Inilah dampak penyelenggaraan sistem kesehatan dalam paradigma kapitalistik. Pelayanan publik yang seharusnya dinikmati rakyat secara gratis justru dijadikan ladang bisnis. Demi mendapatkan layanan yang paripurna masyarakat dipaksa untuk merogoh kantong dalam-dalam alias mahal. Di sisi lain fasilitas seperti ini hanya dapat dinikmati orang-orang kaya saja. 


Oleh Tatiana Riardiyati Sophia 

Aktivis Dakwah Muslimah 


Beritakan.my.id- OPINI - BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan kembali menjadi sorotan. Sebanyak 157 ribu warga di Kabupaten Bandung terancam tidak bisa menggunakan hak layanan kesehatannya akibat penonaktifan kepesertaan mereka sebagai Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK). Ketua DPRD Kabupaten Bandung Hj. Renie Rahayu Fauzi, menegaskan bahwa ini adalah masalah yang perlu  ditindaklanjuti dengan segera agar masyarakat terutama warga miskin dapat kembali menggunakan haknya. (Bedanews, 10 Juli 2025)


Sementara itu Bupati Bandung Dadang Supriatna, telah memberi tugas kepada para jajarannya untuk memberi laporan sekaligus memantau PBI JK warga yang terkena penonaktifan. Beliau juga mewanti-wanti pihak rumah sakit agar tetap melayani pasien, tidak menolaknya dengan alasan apa pun. (Koran Pikiran Rakyat, 10 Juli 2025)


Kesehatan pada dasarnya adalah hak setiap individu masyarakat. Mulai dari bayi, anak-anak, dewasa, tua, muda, semuanya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya terkait kesehatan fisik, jiwa, dan mentalnya. Namun saat ini, bagi sebagian masyarakat kesehatan adalah kebutuhan yang sangat mahal. Disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhinya di antaranya: makanan yang halal, tayib, bergizi, lingkungan yang baik, serta pelayanan kesehatan yang memadai.


Saat ini faktor-faktor di atas kerap diabaikan oleh pemerintah, sehingga fasilitas dan pelayanan kesehatan sering kali menjadi masalah, terutama bagi rakyat miskin pengguna BPJS. Birokrasi yang rumit menyulitkan masyarakat untuk mengakses pengobatan. Orang yang sakit mesti mengunjungi fasilitas kesehatan tingkat pertama terlebih dahulu, seperti  klinik atau puskesmas agar mereka mendapat pertolongan awal. Apabila puskesmas atau klinik tersebut tidak bisa menanganinya maka akan dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.


Belum lagi masalah iuran yang terus merangkak naik dirasa memberatkan bagi sebagian besar penduduk yang berpenghasilan rendah, sehingga pembayaran BPJS tersendat atau bahkan menunggak. Akibatnya masyarakat tidak bisa mendapatkan layanan pengobatan yang dibutuhkannya kecuali setelah membayar tunggakan tersebut. Bahkan dilakukan penonaktifan kepesertaan seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung.


Banyak fakta di lapangan kita temukan, pasien-pasien sekarat yang akhirnya tidak tertolong hanya karena mereka tidak terdaftar sebagai penerima manfaat semisal BPJS. Belum lagi perlakuan berbeda dari tenaga kesehatan dan rumah sakit antara pasien umum dan asuransi kesehatan milik pemerintah dari sisi pelayanan dan fasilitas yang diberikan. 


Sudah menjadi pemandangan yang biasa ketika kita mendapati antrean panjang mengular pasien rawat jalan pengguna BPJS di suatu rumah sakit, sementara untuk pasien umum yang membayar secara mandiri tidak harus demikian. Begitu pula ketersediaan kamar untuk pasien rawat inap dan obat-obatan yang berbeda di antara kelas BPJS dan umum.


Ini tidak lain adalah bentuk diskriminasi layanan kesehatan terhadap masyarakat. Padahal seharusnya mereka mendapat fasilitas dan layanan yang sama, karena pasien pengguna BPJS pun sejatinya membayar iuran, bukan gratis. Tetapi itulah fakta yang terjadi di negeri dengan kekayaan melimpah ini. Pelayanan kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memfasilitasinya malah dibebankan seluruhnya kepada rakyat untuk memenuhinya. 


Inilah dampak penyelenggaraan sistem kesehatan dalam paradigma kapitalistik. Pelayanan publik yang seharusnya dinikmati rakyat secara gratis justru dijadikan ladang bisnis. Demi mendapatkan layanan yang paripurna masyarakat dipaksa untuk merogoh kantong dalam-dalam alias mahal. Di sisi lain fasilitas seperti ini hanya dapat dinikmati orang-orang kaya saja. 


Lalu bagaimana dengan rakyat miskin? Mereka harus puas dengan layanan dan fasilitas apa adanya, bahkan tidak jarang harus bertaruh nyawa selama menanti layanan pengobatan yang dibutuhkan. 


Dengan demikian keberadaan BPJS Kesehatan sejatinya bukanlah sebuah lembaga untuk melayani rakyat, tetapi sebaliknya adalah korporasi yang diciptakan untuk kepentingan bisnis di sektor kesehatan. Maka BPJS menerapkan sejumlah tarif premi dengan kelas-kelas tertentu untuk dibayarkan anggotanya. Namun jika peserta tidak mampu membayar ataupun menunggak, maka dalam jangka waktu tertentu otomatis keanggotaannya akan dinonaktifkan.


Inilah bentuk kelalaian penguasa dalam memenuhi  hak kesehatan rakyatnya. Sistem kapitalisme telah mengubah cara pandang dalam melayani masyarakat. Alih-alih mengurus umat, negara malah abai dan mengedepankan keuntungan semata. Lebih miris lagi, keuntungan ini tidak sebanding dengan pelayanan yang diterima rakyat, sebaliknya justru memperkaya para pejabat yang terkait di dalamnya.


Penguasa yang peduli dengan hak kesehatan rakyatnya hanya ada dalam Islam. Aturan Islam menetapkan bahwa kesehatan adalah salah satu dari tiga hak umat yang wajib dipenuhi oleh penguasa dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh dahulu Rasulullah saw. pernah mendapatkan hadiah dari Raja Muqauqis yaitu seorang tabib, maka tabib ini kemudian dijadikan Rasulullah saw. sebagai dokter/tenaga medis untuk kaum muslim di Madinah pada waktu itu.


Begitu pentingnya urusan kesehatan di dalam Islam, sampai-sampai Rasulullah saw. bersabda:

“Tidak diberikan kepada manusia sesuatu yang lebih bernilai daripada keyakinan. Yaitu kesehatan.” (HR. Ibnu Majah)


Layanan kesehatan di negeri yang menerapkan aturan Islam juga tercatat sebagai pelayanan terbaik dan tidak dipungut biaya sepeser pun. Negara menyediakan dokter-dokter, tenaga medis, dan obat-obatan berkualitas. Selain itu ada pula fasilitas rumah sakit yang nyaman serta peralatan medis yang mumpuni dan canggih. Bahkan pasien yang telah sembuh diperbolehkan pulang dan diberi uang saku sebagai pengganti waktu selama sakit dan tidak bisa bekerja.


Hal tersebut mampu dilakukan oleh penguasa negeri muslim. Sumber daya alamnya dikelola secara mandiri. Dana yang diambil untuk memenuhi semua kebutuhan pelayanan kesehatan dari Baitulmal yang bersumber dari harta kepemilikan umum, yakni sumber daya alam contohnya hasil tambang.


Oleh sebab itu negara tidak akan membebani rakyat dengan biaya kesehatan dan berobat yang mahal, apalagi dengan memungut sejumlah iuran, karena hal yang demikian zalim adanya. Pelayanan kesehatan ini pun dapat dinikmati oleh seluruh kalangan, baik tua muda, kaya atau miskin, semua memiliki hak yang sama. 


Sebab Islam mendudukkan faktor kesehatan umat sebagai prioritas utama. Karena dengan sehat fisik, mental, dan psikis, rakyat mudah beribadah dan produktif dalam setiap aktivitas dan amalnya. Dengan demikian negara akan melahirkan generasi yang kuat raga dan jiwanya serta mampu mengemban amanah menjalankan syariat Islam secara kafah.


Wallahualam bissawab.


Editor: Rens 

Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)