Ilustrasi Odalys (Pinterest)
Oleh: N. Vera Khairunnisa
Beritakan.my.id, Opini_ Sungguh mencabik nurani! Bayi-bayi mungil tak berdosa menjadi korban perdagangan manusia. Mereka dijual layaknya barang dagangan. Beberapa bahkan diperdagangkan hingga ke luar negeri seperti Singapura, dengan harga yang menyayat hati: Rp16 juta per bayi. Kasus ini terungkap melibatkan sindikat perdagangan manusia lintas negara, dan bahkan menyeret oknum pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
(Sumber: Kompas.id, Beritasatu, KemenPPPA, Media Indonesia, 18–24 Juli 2025)
Yang lebih memilukan, sebagian pelakunya adalah orang tua kandung. Mereka sudah merencanakan menjual anak sejak masih dalam kandungan. Bagaimana bisa sosok yang seharusnya paling menyayangi dan melindungi, justru tega menjual darah dagingnya sendiri?
Padahal normalnya, orang tua tak akan pernah rela menukar anaknya dengan uang, berapa pun nilainya. Sebab bagi mereka, anak adalah anugerah, amanah, sekaligus investasi akhirat. Bila berhasil mendidik anak menjadi shalih, maka anak itulah penolongnya kelak. Sebaliknya, jika anak ditelantarkan hingga jauh dari agama, maka orang tuanyalah yang paling berdosa.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kemiskinan, TPPO, dan Hilangnya Fitrah Keibuan
Fenomena ibu menjual bayinya sendiri bukan sekadar kisah tragis individu yang terhimpit ekonomi, tetapi cerminan dari kerusakan sistemik yang bersumber dari kebijakan ekonomi kapitalistik yang menelantarkan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.
Hal ini kita bisa lihat dari beberapa aspek berikut:
Pertama, kemiskinan adalah buah dari sistem ekonomi kapitalisme yang hanya berpihak pada pemilik modal
Data BPS (2024) mencatat sekitar 25,8 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan, sementara angka kemiskinan ekstrem juga masih tinggi, terutama di wilayah timur Indonesia. Sistem kapitalisme membuat distribusi kekayaan tidak merata: kekayaan 1% orang terkaya setara dengan 50% rakyat miskin.
Fakta bahwa ibu kandung bisa tergoda untuk menjual darah dagingnya sendiri, menandakan derasnya tekanan hidup akibat ketiadaan jaminan ekonomi—tak ada subsidi memadai untuk kebutuhan dasar, tak ada sandaran negara dalam situasi krisis rumah tangga.
Kedua, kebijakan ekonomi neoliberalisme justru memperparah penderitaan rakyat kecil
Alih-alih memberikan perlindungan, negara justru menjalankan kebijakan ekonomi neoliberal yang membuka kran investasi dan privatisasi sektor-sektor vital.
Contoh kebijakan yang memiskinkan rakyat antara lain: UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang mempermudah PHK dan mengurangi hak-hak buruh, terutama perempuan. Privatisasi layanan kesehatan dan pendidikan, membuat akses rakyat terhadap layanan dasar makin mahal. Pencabutan subsidi BBM dan listrik, yang menyebabkan harga kebutuhan hidup melambung. Pendekatan proyek infrastruktur tanpa keadilan ekonomi, sehingga pembangunan tidak menyentuh rakyat kecil, hanya menguntungkan pengusaha besar.
Berbagai kebijakan tersebut di atas menjadikan perempuan dari kelas bawah sangat rentan dieksploitasi, termasuk menjadi korban perdagangan orang. Mereka tidak punya pilihan hidup layak. Inilah mengapa menjual anak bukan semata karena tidak punya hati, tetapi karena tidak ada jaminan kehidupan dari negara.
Ketiga, lemahnya kontrol negara terhadap kejahatan perdagangan orang menunjukkan hilangnya tanggung jawab sistemik
Banyak kasus TPPO justru melibatkan oknum aparat dan institusi. Menurut Data KemenPPPA (2023), mayoritas korban TPPO adalah perempuan dan anak-anak, dan penegakan hukumnya sangat lemah.
"Kejahatan perdagangan orang bukan lagi kejahatan biasa, tapi kejahatan terorganisir lintas negara, yang tak akan bisa diberantas hanya dengan slogan dan tindakan parsial."
(Komnas Perempuan, 2024)
Keempat, hilangnya fitrah keibuan adalah buah dari sekularisasi kehidupan
Dalam sistem sekuler, agama dijauhkan dari kehidupan. Akibatnya, nilai kemuliaan anak dan kehormatan perempuan tak lagi sakral. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai penjaga kehidupan dan generasi, tapi sebagai alat ekonomi.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Ijtima’i fil Islam menegaskan:
"Perempuan dalam Islam adalah ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Ia adalah madrasah pertama bagi generasi. Ketika peran ini dilecehkan atau dipangkas karena sistem yang menindas, maka generasi akan rusak."
Inilah yang kita saksikan hari ini. Kapitalisme telah menjadikan perempuan sebagai komoditas tenaga kerja murah dan anak sebagai beban ekonomi, bukan amanah Ilahi.
Solusi Islam: Perlindungan Hakiki bagi Anak
Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia tidak hanya melarang kejahatan, tapi juga membangun sistem yang mencegah akar kejahatan. Perlindungan terhadap anak adalah bagian dari sistem sosial, ekonomi, hukum, dan politik dalam Islam.
Berikut ini solusi Islam yang sistemik dalam melindungi anak:
Pertama, menjaga nasab dan kehormatan perempuan
Islam melarang zina dan mengatur sistem pernikahan yang sah untuk menjaga keturunan (nasab). Anak yang lahir dalam sistem ini mendapatkan perlindungan sejak awal.
Imam Al-Ghazali berkata:
"Menjaga nasab adalah salah satu dari lima maqashid syariah (tujuan utama syariat). Jika nasab rusak, maka runtuhlah kehormatan keluarga dan masyarakat."
Kedua, menjamin kebutuhan dasar rakyat melalui negara
Islam menetapkan bahwa negara adalah penanggung jawab utama atas kesejahteraan rakyat. Negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap individu.
Rasulullah ï·º bersabda:
"Imam (pemimpin negara) adalah penggembala, dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa "kewajiban negara adalah memenuhi kebutuhan umat, termasuk fakir miskin, janda, dan anak-anak, agar mereka tidak bergantung pada manusia."
Ketiga, membangun sistem pendidikan berbasis akidah Islam
Pendidikan Islam menanamkan ketakwaan, tanggung jawab, dan kepekaan sosial sejak dini, baik pada individu maupun keluarga dan masyarakat.
QS. At-Tahrim: 6
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
Keempat, menguatkan masyarakat sebagai kontrol sosial (hisbah)
Masyarakat Islam tidak cuek. Mereka diperintahkan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar agar kejahatan dicegah sebelum terjadi.
Rasulullah ï·º bersabda:
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya..."
(HR. Muslim)
Kelima, mewajibkan aparat negara tunduk pada hukum syariah
Aparat dalam negara Islam dibina dengan akidah dan syariah. Mereka tidak bisa sewenang-wenang atau berkhianat terhadap rakyat, karena ada sistem pengawasan dan hukuman yang adil.
Keenam, menegakkan sanksi tegas dan menjerakan
Islam memiliki sistem sanksi (hudud dan ta’zir) yang mencegah kejahatan dan memberi efek jera. Pelaku TPPO akan dihukum sesuai tingkat pelanggaran dan kerusakannya terhadap masyarakat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Hukum syariat yang ditegakkan dengan benar, lebih besar manfaatnya dalam menjaga keamanan dan keadilan dibanding seribu ceramah atau nasihat."
Selama sistem kapitalisme sekuler terus bercokol, kemiskinan, perdagangan orang, dan hilangnya fitrah keibuan akan terus berulang. Sudah saatnya kita kembali kepada Islam sebagai sistem hidup yang utuh, yang memuliakan perempuan, menjaga anak-anak, dan memberikan keadilan sejati bagi seluruh umat manusia.
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit..."
(QS. Thaha: 124)

