Tanah Terlantar Diambil Negara, Kebijakan Serampangan ala Kapitalisme

Lulu nugroho
0
Ilustrasi Osman Torun (Pinterest)
Oleh : Nita Nur Elipah
(Penulis lepas) 



Beritakan.my.id, Opini _ Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara.  Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. (Kompas.com, 18 Juli 2025)

“Tanah-tanah telantar itu jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara, terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak, nah itu akan diidentifikasi oleh negara,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, Rabu (16/7/2025).

Harison menjelaskan bahwa seluruh tanah dengan hak sesuai hukum pertanahan di Indonesia bisa menjadi objek tanah telantar.  Ini meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), dan Hak Pakai.

Adanya kebijakan pemerintah ini membuat publik bertanya-tanya, apakah pemerintah memang sudah siap mengelola tanah terlantar tersebut? Ataukah hanya kebijakan serampangan yang terkesan terburu-buru? 

Sebelum membuat kebijakan seharusnya pemerintah juga memikirkan terkait anggaran yang diperlukan dalam pengelolaanya. Apakah pemerintah memang mampu ataukah tidak. Jadi jika ada kebijakan-kebijakan yang seharusnya sebelum ditujukan masyarakat, tunjukkan dulu bahwa negara itu mampu mengelola. Bukan hanya sekedar mengambil alih.

Akar Permasalahan

Saat membuat kebijakan diatas, pemerintah memang dinilai belum memiliki kerangka rencana yang jelas mengenai pemanfaatan lahan-lahan terlantar tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Pengamat Tata Kelola dan Transportasi ,Yayat Supriatna, 
“Kalau bisnis itu harus clear and clean kalau dikelola oleh negara. Dan kalaupun diolah oleh negara, itu harus jelas dulu siapa yang mengelola dan punya modal berapa.”
(Jumat,18/7/2025).

Dia juga bilang saat ini tanah-tanah milik negara saja tak mampu dikelola dengan baik. Ia mencontohkan lahan pemerintah yang ada di pinggir-pinggir sungai, taman, ditempati oleh masyarakat dan hingga saat ini negara melakukan pembiaran. 

“Bahkan tanah-tanah aset lembaga pemerintah tidak dibangun oleh mereka bertahun-tahun dan terlantar. Contohnya tanah BMKG di Tangerang yang diduduki preman.” sebut Yayat. 

Ini menunjukkan bukti bahwa negara memang serampangan dalam membuat kebijakan terkait tanah terlantar. Dan tidak siap bahkan tidak serius menyelesaikan persoalan ini. 

Apalagi dengan fakta bahwa sudah terlalu banyak hutang untuk mengelola proyek-proyek yang ada. Juga tidak mampu untuk mempertahankan keberlanjutannya. Jangan sampai negara justru menambah masalah. 

Jika kita cermati, sesungguhnya semua kondisi ini dikembalikan pada satu sebab mendasar, yakni penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. 

Karena dalam sistem Kapitalisme, tanah dijadikan sebagai komoditas, bukan amanah publik. Apalagi faktanya tanah dalam skema HGU dan HGB lebih banyak dikuasai korporasi besar, sementara rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang. 

Negara justru menjadi fasilitator kepentingan pemodal, bukan pelindung hak rakyat. Penarikan tanah telantar bahkan bisa jadi menjadi celah pemanfaatan tanah untuk oligarki. 

Sungguh sangat nyata spirit kapitalisme yang mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, meskipun rakyat yang akhirnya menjadi korban. Yang terjadi adalah kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. 

Di saat yang sama, banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru dibiarkan terbengkalai. Pemerintah pun tidak memiliki rencana yang jelas untuk memanfaatkan lahan terlantar itu.  

Sehingga dapat memicu penyalahgunaan atau pengelolaan tidak tepat sasaran. Bahkan rakyat yang menjadi korban, sementara pengusaha mendapat kemudahan. Pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. 

Padahal, tanah adalah sumber kehidupan. Tapi Kapitalisme menjadikan semua hal, termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor. Maka, selama sistem Kapitalisme masih diterapkan, selama itu pula rakyat yang dirugikan, dan para pemilik modal lah yang mendapatkan keuntungan. 

Solusi Tuntas

Berbeda dengan sistem hukum lahan di negeri ini yang membiarkan pemilik modal bisa menguasai lahan seluas apa pun, syariat Islam Islam mengatur kepemilikan lahan dengan sangat adil dan terperinci. Setiap warga berhak untuk memiliki lahan, baik dengan membelinya maupun melalui pemberian, seperti hadiah, hibah, dan warisan. Islam juga membolehkan negara membagikan tanah kepada warganya secara cuma-cuma.

Sedangkan berkaitan dengan tanah tidak bertuan, syariat Islam menetapkan bahwa warga bisa memilikinya dengan cara mengelolanya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” 
(HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Namun jika tanah itu milik individu dan tidak lagi digunakan maka ia boleh meminjamkannya kepada siapapun yang mau mengelola nya. Namun tidak boleh untuk menyewakannya. 

dari Jabir bin Abdullah ra., Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَزْرَعَهَا وَعَجَزَ عَنْهَا، فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، وَلَا يُؤَاجِرْهَا إيَّاهُ

Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia tanami. Jika ia tidak mampu menanami tanahnya, hendaklah ia pinjamkan kepada saudara muslim lainnya. Jangan ia menyewakan tanahnya kepada saudaranya itu.” (HR. Muslim) 

Dari hadist diatas bahwa siapa saja yang memiliki tanah hendaklah ia tanami, dengan benih dan bahan-bahan berasal dari dirinya. Ini juga termasuk mempekerjakan orang untuk menanami dan merawat tanaman itu, tentu dengan upah yang jelas melalui akad ijarah.

Jika tidak ia tanami sendiri, hendaklah dipinjamkan kepada orang lain. Artinya, ia mengizinkan orang lain untuk menanami tanahnya dan seluruh hasilnya untuk orang itu. 

Namun hadits tersebut bukan makna perintah, melainkan sebuah teguran. Maknanya, biarlah ia tetap pertahankan, tidak ditanami. Jika berlangsung seperti itu selama tiga tahun berturut-turut, ia bisa kehilangan kepemilikan atas tanah itu.

Negara dapat mengambil tanahnya dan menyerahkan tanah itu kepada orang yang mampu menanaminya. Yakni hendaknya ia tinggalkan supaya dapat ditanami oleh orang lain yang mampu menanaminya.

Negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai individu/swasta tanpa batas. Negara akan mengelola tanah-tanah milik negara untuk proyek strategis yang menyentuh kebutuhan rakyat seperti permukiman, pertanian, infrastruktur umum. 

Ketika negara memang membutuhkan lahan untuk kemaslahatan kaum muslim, negara akan berdialog dengan rakyatnya, kemudian membuat kesepakatan dengan mereka. Jika sudah ada ridha dari rakyat, bisa dilakukan penggantian yang bisa menjamin kehidupan rakyat selanjutnya dan tidak akan merugikan rakyat. Jika masih ada yang belum setuju, tidak boleh dipaksakan, tetapi penguasa dapat terus mengupayakan dengan cara yang baik. 

Dalam Islam, penguasa adalah gembala bagi rakyatnya. “Imam itu adalah laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” 
(HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad).

Selain itu, negara adalah perisai bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam atau khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, baginya terdapat pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Oleh karenanya, penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan memastikan setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Juga akan memastikan terpenuhinya semua hak dan kebutuhan setiap individu rakyatnya. 

Masya Allah, sungguh hanya syari'at Islam yang mampu menjadi solusi tuntas bagi setiap permasalahan yang dialami rakyat dengan aturan-aturannya yang sempurna dan lengkap, termasuk pengaturan tentang kepemilikan tanah. 

Ketika syari'at Islam diterapkan, penguasa dan aparatnya akan bertindak adil, tidak ada satu pihak pun yang dirugikan. Maka sudah saatnya untuk kembali kepada syari'at Islam yang kaffah dalam naungan Khilafah. 

Wallahu a'lam bishshawab.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)