Ilustrasi Pinterest
Oleh: N. Vera Khairunnisa
Beritakan.my.id, Opini_ Di tengah sorotan global terhadap invasi brutal Israel ke Jalur Gaza, dunia menyaksikan babak baru dari strategi genosida yang tak kalah kejam: kelaparan sistematis. Ribuan anak-anak Gaza kini tak hanya dibunuh dengan ledakan, tapi juga dengan kelaparan. Blokade total atas makanan, air bersih, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan dijadikan Israel sebagai senjata baru.
Ini bukan sekadar efek samping konflik bersenjata. Ini adalah strategi yang disengaja dan terstruktur, dengan tujuan melemahkan bahkan melenyapkan sebuah bangsa secara perlahan. Menurut laporan PBB awal 2024, lebih dari 500 ribu warga Gaza mengalami kelaparan akut, termasuk bayi-bayi yang wafat karena kekurangan gizi dan susu.
Namun, krisis Gaza bukan hanya soal kemanusiaan. Ia adalah kelanjutan dari proyek kolonial yang telah berlangsung selama puluhan tahun: penjajahan atas tanah kaum Muslimin. Seluruh tanah Palestina sejatinya adalah milik umat Islam, bukan wilayah sengketa antara dua negara sebagaimana terus dipropagandakan oleh kekuatan global. Narasi “konflik dua negara” adalah pengaburan sejarah, yang membingkai penjajahan sebagai perselisihan bilateral yang bisa diselesaikan lewat diplomasi atau pembagian wilayah.
Padahal, Islam telah menjadikan Palestina sebagai bagian dari wilayah kaum Muslimin sejak ditaklukkan secara sah pada masa Khalifah Umar bin Khaththab. Kota suci Al-Quds dan sekitarnya dilindungi oleh sistem Islam, dan menjadi tempat damai bagi umat Islam, Nasrani, dan Yahudi di bawah naungan Khilafah.
Namun semua berubah sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah tahun 1924. Melalui perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour, Inggris dan kekuatan Barat membuka jalan bagi Zionis Yahudi untuk menduduki Palestina.
Sejak 1948, entitas ilegal Israel telah mencaplok lebih dari 85% wilayah historis Palestina. Kini, Jalur Gaza yang hanya seluas 365 km² menjadi sasaran blokade dan serangan, sementara Tepi Barat dilumpuhkan dengan pemukiman ilegal, tembok apartheid, dan pengawasan militer.
Petinggi Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa “Israel harus memiliki kontrol keamanan penuh atas seluruh wilayah di barat Sungai Yordan” yang mencakup Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Pernyataan ini mengonfirmasi bahwa Israel menolak kehadiran negara Palestina merdeka dan menuntut dominasi penuh atas tanah umat Islam .
Di lain pihak, Presiden AS saat ini, Donald Trump, secara terbuka mengakui kelaparan Gaza dan berjanji mendirikan pusat distribusi pangan tanpa hambatan. Namun, ia tetap menolak menyebut situasi ini sebagai genosida, menyebut bahwa Israel berada dalam “konteks perang” dan menyerukan agar bantuan diperbolehkan sampai ke warganya .
Dukungan AS terhadap Israel tidak sekadar retorik. Kebijakan anti-boikot (anti-BDS) juga ditegakkan, yaitu negara bagian yang menerima bantuan federal diwajibkan menolak boikot terhadap Israel. Ini menunjukkan bahwa sistem global mendukung penjajahan, bukan keadilan.
Pertanyaannya: sampai kapan umat Islam terus tertipu dengan solusi dua negara atau gencatan senjata?
Solusi semu ini tidak pernah menghentikan penjajahan. Justru memberi ruang bagi Israel untuk terus menancapkan kuku kolonialismenya. Lebih dari tujuh dekade solusi ini diupayakan, tetapi tidak ada kemerdekaan yang terwujud bagi Palestina. Gencatan senjata hanya memberi jeda bagi Israel untuk menyusun serangan berikutnya.
Dunia internasional telah gagal. PBB dan lembaga-lembaga global lain tidak pernah memberi efek jera bagi Israel. Resolusi mereka lemah, tidak mengikat, dan sering kali diabaikan. Negara-negara Muslim pun tak lebih dari penonton. Bantuan kemanusiaan mereka, seperti beras dan obat-obatan, kerap diblokade di perbatasan, bahkan dibom oleh pasukan Israel. Retorika kutukan dan doa tidak cukup untuk menghentikan genosida.
Sesungguhnya, Allah SWT telah menegaskan:
"Dan jika mereka menyerang kalian, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir."
(QS. Al-Baqarah: 191)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
"Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak yang berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya…'"
(QS. An-Nisa: 75)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penjajahan atas kaum Muslimin wajib ditolak dan diperangi. Maka, bantuan makanan bukanlah solusi utama. Apalagi solusi dua negara.
Solusi satu-satunya yang adil, rasional, dan tuntas adalah pembebasan total Palestina dari penjajahan. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh sebuah institusi yang memiliki kekuatan militer, legitimasi politik, serta keberanian untuk menghadapi kekuatan adidaya dunia. Dalam sejarah Islam, institusi itu bernama Khilafah Islamiyah.
Khilafah bukan utopia. Ia adalah sistem pemerintahan yang pernah memimpin dunia selama lebih dari seribu tahun. Ia membebaskan negeri-negeri, menegakkan keadilan, serta melindungi seluruh umat di bawah naungan Islam. Palestina dahulu dibebaskan oleh Khilafah. Maka, membebaskannya kembali juga hanya mungkin dengan Khilafah.
Ketiadaan Khilafah hari ini adalah kenyataan pahit. Tapi bukan alasan untuk pasrah. Justru inilah momen untuk membangun kembali institusi pemersatu umat yang akan mengakhiri penjajahan atas tanah kaum Muslimin—dengan kekuatan, bukan dengan kompromi.
Jika kita terus mengandalkan solusi tambal sulam, itu ibarat memberi obat pereda pada penyakit kanker. Nyeri mungkin hilang sementara, tapi sel ganas itu tetap tumbuh dan mengancam.
Palestina adalah milik kita, milik umat Islam. Penjajahannya adalah tanggung jawab seluruh kaum Muslimin, bukan hanya rakyat Gaza atau Tepi Barat. Maka membebaskannya adalah kewajiban kolektif.
Bukan hanya dengan doa dan empati, tapi dengan perjuangan nyata yakni membangkitkan kembali institusi yang dulu pernah menjadikan umat ini sebagai satu tubuh, satu kekuatan, dan satu suara di hadapan musuh-musuh Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:
"Imam (Khalifah) adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya."
(HR. Muslim)