Ilustrasi DayDream
Oleh : Tri Silvia
(Pemerhati Masyarakat)
Beritakan.my.id, Opini_ Beras sebagai cikal bakal terbentuknya nasi, telah menjadi sumber makanan pokok masyarakat Indonesia, sedari dulu. Tak lengkap rasanya makan jika tidak disertai nasi, itu seakan menjadi kesepakatan bersama masyarakat. Meskipun segala jenis makanan telah masuk ke dalam mulut, tanpa nasi, semua tidak dianggap dalam kategori makan.
Hal tersebut sejalan dengan keberlimpahan beras sebagai salah satu produk pertanian negeri ini. Tak heran kemudian sebutan negara agraris dan lumbung padi Asia Tenggara, melekat sebagai identitas negeri.
Identitas Bangsa; Negara Agraris dan Lumbung Padi Asia Tenggara
Sebutan negara agraris tersematkan sebab wilayah negeri yang kaya dengan lahan pertanian, dimana masyarakat nya pun cenderung mengandalkan sektor pertanian untuk menjalani kehidupan. Adapun sebutan lumbung padi Asia Tenggara didapat sebab Indonesia dinilai memiliki potensi sebagai penghasil padi terbaik dan penyedia beras utama di Asia Tenggara.
Tidak main-main, kekayaan alam negeri ini memang amat berlimpah. Predikat lumbung padi Asia Tenggara bukanlah isapan jempol belaka. Pasalnya, Indonesia sendiri memiliki beberapa lumbung padi nasional. Yakni, wilayah-wilayah yang menjadi pusat penghasil padi. Karawang salah satu diantaranya. Namun, jika dilihat secara tingkat keprovinsi an, ada 10 wilayah penghasil beras terbanyak berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022.
Wilayah tersebut yakni Jawa Timur, yang berhasil memproduksi 5.500.801,88 ton, Jawa Barat 5.447.806,31 ton, Jawa Tengah 5.380.509,51 ton, Sulawesi Selatan 3.075.859,99 ton, Sumatera Selatan 1.593.597,70 ton, Lampung 1.545.296,21 ton, Sumatera Utara 1.198.045,75 ton, Banten 1.018.653,08 ton, Aceh 869.572,00 ton, dan terakhir Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berhasil memproduksi 827.524,88 ton beras. (Antara, 20/09/2024)
Pencederaan atas Identitas Bangsa
Alih-alih disyukuri nikmat sumber daya yang melimpah, berbagai bencana justru menimpa para petani akibat ulah para pejabat nakal dan kebijakan-kebijakan nyeleneh mereka. Ditambah dengan permainan para pengusaha serakah, yang seringkali membawa kerugian bagi para petani khususnya dan masyarakat secara umum. Jelas-jelas hal ini merupakan bentuk pencederaan identitas kebangsaan.
Hal ini bisa dilihat secara gamblang di tengah-tengah masyarakat. Dimana melambungnya harga beras menjadi hal yang lumrah di tengah masyarakat, terutama di masa-masa menjelang hari raya. Tanpa ada investigasi nyata, kejadian tersebut terus menerus terulang. Membuat masyarakat panik dan merasakan kesulitan yang besar.
Begitupun kebijakan terkait dengan impor. Nilai impor yang terus meningkat, jelas-jelas merugikan para petani. Walaupun kini Presiden tengah mewacanakan zero impor, namun di tahun 2023 Indonesia menjadi negara nomer satu pengimpor beras di dunia. Dengan nilai impor mencapai US$ 1,78 miliar atau sekitar 3,06 juta ton, Indonesia mengungguli Arab Saudi, Filipina dan Amerika Serikat. (Antara, 30/04/2025)
Kini, beras lagi-lagi menjadi objek pesakitan akibat ulah beberapa oknum pengusaha curang. Mereka mengoplos beras premium dengan beras kualitas medium. Menjual ke pasaran dengan harga premium. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka mengurangi takaran beras. Kasus ini pun viral, namun belum juga tuntas terselesaikan.
Kasus Beras Oplosan
Kasus ini pertama kali diketahui lewat investigasi yang dilakukan pihak Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan pada 6—23 Juni 2025. Dalam investigasi tersebut, ditemukan bahwa mayoritas beras di pasaran ternyata bermasalah.
Mulai dari volume yang tidak sesuai, harga yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), belum teregistrasi Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT), juga tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan Permentan 31/2017. Masalah-masalah tersebut ditemukan pada 212 dari 268 merek beras yang di investigasi.
Adapun persentase pelanggaran nya disampaikan bahwa 85,56% beras premium yang diuji tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan; 59,78% melebihi HET; 21,66% memiliki berat tidak sesuai dengan yang tertera pada kemasan. Selain itu pada beras medium tercatat bahwa 88,24% beras tidak memenuhi standar mutu SNI; 95,12% melebihi HET; dan 9,38% memiliki berat tidak sesuai dengan yang tercantum pada kemasan.
Akibat praktik kecurangan tersebut, tidak tanggung-tanggung, konsumen dalam hal ini masyarakat mengalami kerugian fatal hingga Rp 99 triliun per tahun. Adapun rincian kerugiannya, Rp 34,21 triliun per tahun bagi konsumen beras premium dan Rp 65,14 triliun per tahun bagi para konsumen beras medium.
Dari hasil pemeriksaan Bareskrim Polri, ada sepuluh perusahaan besar produsen beras yang diduga melakukan penipuan, yaitu Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, PT Sentosa Utama Lestari/Japfa Group, PT Unifood Candi Indonesia, PT Buyung Poetra Sembada Tbk., PT Bintang Terang Lestari Abadi, PT Subur Jaya Indotama, CV Bumi Jaya Sejati, dan PT Jaya Utama Santikah (IDNTimes, 15-7-2025).
Standar Beras Premium dan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP); Solusikah?
Kasus beras oplosan masih bergulir hingga saat ini. Banyak perusahaan-perusahaan nakal yang jelas tidak tersentuh dalam penyelidikan. Hal ini tentunya harus menjadi tanda tanya tersendiri bagi masyarakat. Ada apa dengan hukum kita saat ini? Mengapa perusahaan-perusahaan yang jelas melanggar, nyatanya tak tersentuh sama sekali?
Untuk diketahui bersama, sebenarnya Indonesia dari jauh-jauh hari sudah memiliki standar kualitas beras. Disebutkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023, bahwa kualifikasi untuk beras premium yakni memiliki butir patah maksimal 15%, kadar air maksimal 14%, derajat sosoh minimal 95%, butir menir maksimal 0,5%, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah/hitam) maksimal 1%, butir gabah dan benda lain harus nihil.
Adapun dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020, beras premium non organik dan organik harus mempunyai komponen mutu. Diantaranya butir patah maksimal 14,50%; butir kepala minimal 85%; butir menir maksimal 0,50%; butir merah/putih/hitam maksimal 0,50%; butir rusak maksimal 0,50%; butir kapur maksimal 0,50%; benda asing maksimal 0,01%, dan butir gabah maksimal 1,00 per 100 gram. (BPN/NFA, 23/07/2025)
Dengan standar yang telah ditetapkan, seharusnya tidak ada kasus semacam ini di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sampai membuat kerugian yang hampir mencapai Rp 100 juta. Hal tersebut mengundang pertanyaan publik tentang bagaimana kontrol pemerintah atas barang-barang yang tersedia di pasaran. Dan sejauh apa tanggung jawab pemerintah atas keselamatan dan perlindungan konsumen di negeri ini.
Sebab sedetail pengaturan mutu kualitas beras itu saja, ternyata banyak dilanggar para produsen. Belum lagi lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang ada ternyata juga tidak bisa memberikan pengaturan yang tegas untuk para pelaku.
Adapun terkait SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), ini merupakan sebuah program resmi yang diluncurkan oleh Pemerintah guna menjaga daya beli masyarakat, mengendalikan inflasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Program ini diluncurkan dalam bentuk distribusi beras SPHP ke tengah-tengah masyarakat, melalui skema yang telah ditetapkan. Beras SPHP ini akan disediakan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Dimana harga tersebut akan disesuaikan dengan zona wilayah nya masing-masing, yakni Zona 1: Rp12.500/kg, Zona 2: Rp13.100/kg, dan Zona 3: Rp13.500/kg.
Adapun distribusi Beras SPHP akan dilakukan melalui pedagang pengecer mitra Perum Bulog di pasar rakyat, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, kantor/outlet BUMN (Perum Bulog), outlet pangan binaan dan Gerakan Pangan Murah, ID FOOD, PT Perkebunan Nusantara, PT Pos Indonesia, dan Pupuk Indonesia Holding Company sebagai pengecer, serta instansi pemerintahan.
Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi dalam peluncuran program Beras SPHP ini menyatakan, bahwa keberhasilan program akan sangat bergantung pada komitmen dan kepatuhan para penyalur di lapangan. Sebab pendistribusian beras ini memiliki aturan dan petunjuk teknis yang harus diperhatikan dan dijalani.
Di antaranya bahwa seluruh pengecer wajib terverifikasi melalui aplikasi Klik SPHP, batas maksimal pengambilan masing-masing pun dibatasi maksimal seberat dua ton. Adapun untuk konsumen, pembelian dibatasi maksimal 2 kemasan (10 kg) dan tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan kembali.
Komitmen terhadap aturan pendistribusian ini dilakukan guna menghindari adanya oknum-oknum yang melakukan kecurangan dengan mengoplos ataupun mengurangi timbangan dari ukuran yang seharusnya. Apakah ini sebuah solusi? Bisakah Beras SPHP menyelesaikan masalah terkait beras oplosan yang ramai diperbincangkan?
Akar Masalah Beras Oplosan
Beras SPHP nyatanya bukan solusi sebenarnya dari kasus beras oplosan ini. Pasalnya, program Beras SPHP dan beras oplosan tidak memiliki keterikatan sama sekali. Apakah ketika masyarakat beralih ke Beras SPHP lantas beras oplosan ini menghilang? Jelas tidak. Justru Beras SPHP ini, memicu kerugian yang lebih besar untuk para pedagang. Pasalnya tanpa Beras SPHP saja, banyak para pedagang yang mengeluhkan merosotnya jumlah pembelian beras di gerai-gerai mereka. Apalagi dengan kemunculan Beras SPHP seperti sekarang.
Ibarat menaruh garam di kulit yang luka. Bukannya meredakan atau menghilangkan. Kemunculan Beras SPHP ini justru membuat masalah baru yang jauh semakin rumit.
Belum lagi terkait komitmen dan aturan yang diberlakukan. Apakah pemerintah yakin jika tidak ada masyarakat yang berpikiran untuk mengoplos atau memperjualbelikan beras yang sudah diberi? Data penerimanya saja masih berantakan, lantas apa yang diharapkan dengan drama-drama semacam ini.
Lantas apa solusi sebenarnya dari permasalahan beras oplosan ini? Jawabannya, harus dikembalikan pada akar masalah itu sendiri. Masalah yang ada sebenarnya bukan berakar dari kurangnya pasokan beras, ataupun mutu beras yang tidak baik. Melainkan, banyaknya oknum yang melakukan kecurangan dalam praktik pengemasan dan pendistribusian.
Tindakan tegas jelas harus dikenakan dalam konteks tersebut. Produsen-produsen yang terbukti melakukan kecurangan harus dihukum berat, dengan hukuman yang membuat jera para pelakunya. Bukan hanya dengan hukum kurungan yang tidak seberapa lama, atau denda yang jumlah nya bahkan kurang dari total kerugian masyarakat. Melainkan hukuman yang menjerakan, yang membuat orang lain tidak akan melakukan hal serupa.
Selain hukuman yang tegas, kita pun harus menganalisa motif dari tindakan para pelaku. Apa yang menyebabkan mereka melakukan hal yang demikian?
Ternyata selain karena regulasi atau sanksi yang lemah, ada pula mindset dan kesempatan yang membuat orang-orang termotivasi melakukan kecurangan. Terkait dengan mindset atau dasar pemikiran, dalam sistem kapitalis yang selalu mendewa-dewakan manfaat dan keuntungan, kasus beras oplosan ini jelas sangat menguntungkan. Mereka rela mengambil resiko jeratan hukum yang tidak seberapa dibanding meninggalkan opsi keuntungan yang berlimpah.
Pasalnya sanksi ditetapkan Pemerintahan nyatanya terlalu ringan bagi para pelaku. Disebutkan pada Pasal 8 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ancaman bagi para pelaku kecurangan adalah penjara lima tahun dan denda maksimal hingga Rp 2 miliar. Hukuman ini jelas tidak sebanding dari kerugian warga yang mencapai Rp 99 triliun. (Kompas, 27/07/2025)
Selain mindset, kesempatan untuk melakukan kecurangan pun sangat terbuka lebar di negeri ini. Dengan sistem liberal kapitalis, para pengusaha bisa bebas melenggang luas tanpa batasan yang jelas. Bahkan jika ada regulasi-regulasi yang menyusahkan, maka mereka akan dengan mudah menyuap penguasa untuk mengubahnya.
Alhasil, akar masalah sebenarnya dari kasus beras oplosan ini adalah diterapkannya sistem Kapitalisme liberal dalam sistem pemerintahan dan ekonomi, yang kemudian diimplementasikan secara luas di kehidupan masyarakat. Bukan sekedar cacat seleksi atau bahkan kelangkaan.
Islam dan Khilafah Solusi Hakiki
Sistem Islam mengandung berbagai macam peraturan yang mampu menjaga manusia dari berbagai macam kerusakan di segala aspek kehidupan, baik dalam hal akidah dan pemahaman umat, jiwa, interaksi masyarakat (muamalat), sistem sosial, pendidikan, ekonomi, kesehatan, bahkan yang menyangkut sistem politik pemerintahan.
Sungguh Islam agama yang syummul (mencakup seluruh aspek kehidupan) dan wajib diterapkan secara kaffah (menyeluruh). Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan dalam QS. Al-baqarah: 208,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٢٠٨
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu."
Alhasil, segala permasalahan yang ada sebenarnya bisa kita temukan solusinya di dalam Islam. Namun sayangnya, tidak adanya institusi yang mempersatukan umat, ditambah dengan terus bercokolnya pemikiran-pemikiran kapitalisme di tengah masyarakat berhasil membuat umat bingung dan enggan menggunakan solusi hakiki yang berasal dari agamanya sendiri.
Terkait dengan beras oplosan, Islam jelas mengharamkan umatnya untuk melakukan kecurangan dalam timbangan. Sebagaimana yang disampaikan dalam Qs. Al-Muthaffifin: 1-3,
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ ١ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ ٢ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ ٣
"Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang). (Mereka adalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi."
Begitupun praktik kecurangan dengan mencampurkan beras baik dan buruk. lslam menyebut praktik ini sebagai tadlis (penipuan). Tadlis haram hukumnya di dalam Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits,
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ، قَال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، وَلَا يَحِلُّ المُسْلِمٍ إِنْ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ أَنْ لَا يُبَيِّنَهُ لَه
"Dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhaniyyi, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang Muslim, jika dia menjual kepada saudaranya sesuatu yang di dalamnya ada aib (cacat), untuk tidak menjelaskan kecacatannya itu kepada sudaranya tersebut."” (HR al-Baihaqi dan al-Hakim).
Keduanya merupakan tindakan yang diharamkan, Khalifah berhak menetapkan takzir kepada mereka. Hukuman yang ditetapkan khalifah merupakan hukuman yang tegas dan bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku ataupun orang lain yang berniat melakukan tindakan serupa. Hal ini akan diimplementasikan secara tepat melalui pengaturan yang dilakukan oleh Qadhi Hisbah.
Islam mengharamkan negara mematok harga barang atau jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Apalagi sampai turun ke jalanan dan pasar-pasar untuk berjualan komoditas kebutuhan dengan harga yang lebih rendah. Hal tersebut merupakan praktik tasy’ir (pematokan harga) yang Allah larang. Sebagaimana hadits yang artinya,
“Harga melonjak pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, andai saja Anda mematok harga.’ Beliau bersabda, ‘Sungguh Allah-lah Yang Menciptakan, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Memberi Rezeki, dan Yang Menetapkan Harga. Aku sungguh berharap menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun yang menuntutku dengan kezaliman yang aku lakukan kepada dia dalam hal darah dan tidak pula harta.’”(HR Ahmad).
Di dalam Islam, negara dalam hal ini penguasa bertugas sebagai pengurus urusan rakyat (raa'in). Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah saw,
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Para penguasa inilah yang kemudian bertanggungjawab secara penuh untuk memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Salah satunya kebutuhan akan pangan atau makanan. Sebagaimana hadits berikut ini,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR Tirmidzi).
Sungguh, khilafah adalah solusi utama dari masalah beras oplosan ini. Maka dari itu, menyegerakan kebangkitannya adalah sesuatu yang harus selalu kita upayakan. Semoga masa itu bisa segera hadir ke permukaan, agar perlindungan dan kesejahteraan bisa terwujud secara maksimal. Benarlah firman Allah Ta'ala
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ٩٦
"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi... " (QS. Al-A'raf : 96)
Wallahu A'lam bish Shawab
