Ilustrasi GPTsApp
Oleh Nadisah Khairiyah
Beritakan.my.id, Opini_ Bayangkan, di sebuah negeri yang katanya berdiri di atas hukum, keadilan justru sering terasa seperti ilusi.
Rakyat kecil bisa dihukum berat hanya karena kesalahan sepele, sementara para pejabat yang menggerogoti uang negara ratusan triliun bisa melenggang bebas, bahkan disambut karpet merah.
Kita tidak sedang berbicara tentang film fiksi. Ini nyata. Lihat saja kasus demi kasus yang bergulir. Ada yang diampuni oleh Presiden lewat amnesti atau abolisi, ada yang kasusnya dibiarkan menguap begitu saja. Dan anehnya, semua itu resmi menurut hukum yang berlaku.
Di tengah ironi ini, wajar jika banyak orang mulai bertanya: Apakah keadilan benar-benar ada? Ataukah ia hanya slogan manis yang dipajang di dinding pengadilan?
Pertanyaan ini sesungguhnya bukan hanya milik kita hari ini. Sejak dahulu, manusia selalu mencari sumber keadilan yang benar-benar kokoh, yang tidak bisa dibeli, diatur, atau dipelintir demi kepentingan kelompok tertentu.
Jawabannya pernah datang, tegas dan lugas:
"Hak memutuskan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia menerangkan kebenaran, dan Dia sebaik-baik yang memutuskan." (TQS Al-An‘am [6]: 57)
Ayat ini bukan sekadar nasihat, tapi deklarasi bahwa keadilan sejati hanya lahir dari hukum yang bersumber dari wahyu, bukan dari pikiran manusia yang penuh kepentingan.
Luka Keadilan dalam Sistem Sekuler
Kasus terbaru, keputusan Presiden memberi abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, kembali mengusik rasa keadilan publik. Mungkin sebagian bisa memahami alasan membebaskan Thomas Lembong karena dianggap korban kriminalisasi. Namun, amnesti untuk Hasto? Bagi banyak orang, langkah ini terasa bukan sekadar kebijakan hukum melainkan aroma pekat kepentingan politik yang meliputinya.
Sistem sekuler memang memberi presiden kewenangan absolut: memberikan amnesti, abolisi, bahkan remisi bagi siapa saja, termasuk para koruptor. Wewenang ini menempatkan presiden di atas pengadilan, membuka lebar pintu intervensi politik, dan menciptakan ketidakadilan struktural.
Kenyataannya, hukum di negeri ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Untuk rakyat kecil, hukum begitu tegas. Untuk para elit, hukum begitu lentur. Kasus korupsi ratusan triliun di PT Pertamina, misalnya, hingga kini tidak jelas ujungnya bahkan seolah sengaja diabaikan.
Rakyat pun kehilangan kepercayaan. Dan selama hukum dibuat oleh manusia untuk manusia, keadilan akan terus menjadi korban pertama.
Sistem Peradilan Islam: Kokoh, Adil, dan Independen
Islam datang dengan sistem peradilan yang kokoh, adil, dan bebas dari intervensi politik. Ia bersumber dari wahyu Allah, bukan dari kalkulasi kepentingan manusia.
Allah menegaskan:
"Siapa saja yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (TQS al-Maidah [5]: 45)
Imam al-Mawardi menegaskan bahwa dalam Islam, orang kafir tidak boleh menjadi hakim untuk mengadili umat Islam, bahkan mengadili sesama orang kafir sekalipun, karena ia pasti akan memutuskan perkara bukan dengan hukum Allah.
Tidak ada ruang untuk kompromi dalam hukum Allah. Keputusan qâdhi (hakim) bersifat final. Bahkan seorang Khalifah tidak berhak membatalkan keputusan qâdhi yang sudah sesuai syariat. Tidak ada banding, kasasi, atau intervensi penguasa dengan abolisi atau amnesti.
Sistem pembuktian dalam Islam pun ketat dan obyektif. Nabi ï·º bersabda:
"Bukti adalah kewajiban bagi yang menuduh, dan sumpah adalah kewajiban bagi yang dituduh." (HR At-Tirmidzi)
Tidak ada vonis tanpa bukti, tidak ada manipulasi perkara, dan tidak ada orang yang kebal hukum.
Keadilan yang Hidup dalam Sejarah
Sejarah Islam penuh kisah nyata keadilan yang tidak hanya terdengar indah, tapi dirasakan semua orang. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah kalah di pengadilan melawan seorang kafir dzimmi dalam sengketa baju besi, karena bukti yang dibawanya tidak cukup. Ali menerima putusan itu, dan orang kafir itu masuk Islam karena kagum pada keadilan Islam.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. tidak marah saat rakyat mempertanyakan asal-usul jubahnya. Beliau menjelaskan dengan jujur, dan menganggap pengawasan rakyat sebagai hak mereka.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pasukan Islam keluar dari Samarkand setelah hakim memutuskan penaklukan kota itu tidak sesuai prosedur dakwah. Penduduk Samarkand kagum, dan banyak yang masuk Islam.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa dalam Islam, keadilan bukan milik penguasa, tetapi hak setiap manusia, dan tegaknya keadilan mampu menundukkan hati bahkan sebelum menundukkan tubuh.
Keadilan hanya dengan Islam Kaffah
Sistem sekuler akan selalu gagal melahirkan keadilan, karena ia tunduk pada hawa nafsu manusia. Islam satu-satunya yang mampu menegakkan hukum tanpa pilih kasih.
Di dalam Khilafah Islamiyah, tidak ada seorang pun yang kebal hukum. Tidak ada satu pun keputusan pengadilan yang bisa dibatalkan oleh penguasa demi kepentingan politik.
Jika kita benar-benar merindukan keadilan yang kokoh, yang tidak bisa dibeli, dan yang membuat rakyat merasa aman—maka kita harus kembali kepada Islam secara kaffah, termasuk menegakkan sistem peradilan Islam dalam institusi pemerintahan Islam.
"Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (TQS al-Maidah [5]: 8)
Saatnya Kita Menjadi Penegak Keadilan
Keadilan bukanlah hadiah yang akan tiba dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan. Sejarah membuktikan, selama hukum berada di tangan manusia yang penuh kepentingan, rakyat akan terus menjadi korban.
Kita tidak bisa hanya mengeluh setiap kali mendengar berita koruptor bebas atau hukum dipelintir demi penguasa. Kita tidak bisa hanya marah di media sosial, lalu besoknya kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Kita harus mulai bergerak. Minimal, kita membekali diri dengan pemahaman yang benar tentang sistem peradilan Islam, menyampaikannya kepada orang lain, dan bersama-sama menyerukan penegakannya. Sebab, hukum Allah hanya akan tegak jika ada umat yang siap memperjuangkannya.
Jangan tunggu semua orang sadar dulu baru kita bergerak. Perubahan besar selalu dimulai dari sekelompok kecil yang yakin, konsisten, dan tidak lelah menyuarakan kebenaran.
Dan ketika hukum Allah benar-benar ditegakkan, kita akan melihat keadilan bukan sebagai mimpi indah—tapi sebagai kenyataan yang dirasakan semua orang, tanpa memandang suku, agama, atau status sosial.
"Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (TQS Al-Maidah [5]: 8)
Mari kita menjadi bagian dari barisan penegak keadilan itu bukan sekadar penonton sejarah, tapi pembuat sejarah.
و الله اعلم بالصواب
